Mahkamah Konstitusi, 58 Tahun yang Lalu
Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi, 58 Tahun yang Lalu

Para perumus Perubahan Keempat UUD 1945 tampaknya ingin membuat hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-58 pada 17 Agustus 2003, menjadi tonggak sejarah baru tanah air ini. Mereka mengabadikan tanggal itu dalam Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Keempat UUD 1945 sebagai hari di mana sebuah mahkamah baru akan lahir. Mahkamah itu tak lain adalah Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Konstitusi, 58 Tahun yang Lalu
Hukumonline
Tapi sebenarnya, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah hampir dibentuk oleh para kita di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada rapat-rapat BPUPKI yang mempersiapkan UUD Indonesia, sempat pula diperdebatkan perlu tidaknya pembentukan pengadilan spesial di luarMahkamah Agung.

"Kecuali itu Paduka Tuan Ketua. Kita dengan terus terang akan mengatakan, bahwa para akhli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat pula bahwa di Austria, di Ceko Slowakia, dan Jerman waktu Weimar bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, Constitutioneel Hof, yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda, saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu".

BPUPKI Lebih Hebat

Oleh Laica, pernyataan dari Prof. Soepomo ditafsirkan sebagai penangguhan pembentukan pengadilan konstitusi, dan bukan penolakan. Demikian disampaikan Laica dalam buku "Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia" yang diterbitkan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).

Argumen dari Prof. Soepomo tersebut tampaknya mengakhiri perdebatan mengenai pembentukan pengadilan konstitusi. Sejarah mencatat bahwa tanggal 15 Juli 1945 merupakan sidang terakhir yang diselenggarakan BPUPKI. Hasil sembilan hari sidang BPUPKI kemudian disahkan sebagai UUD Sementara (UUDS)  oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.

Bagaimanapun, mengingat luasnya wawasan dan tingginya intelektualitas Prof. Yamin, yang disebut Laica sebagai the great lawyer, gagasan pembentukan pengadilan spesial tentu tidak ia lontarkan secara spontan. Malah, dilihat dari risalah persidangan BPUPKI, menurut sejarawan Taufik Abdullah, Prof. Yamin memperlihatkan dirinya sebagai orang yang paling siap tampil sebagai salah seorang perancang UUD.

Menurut Taufik Abdullah di dalam buku "1000 Tahun Nusantara", Prof. Yamin merupakan seorang ahli hukum yang mempelajari perbandingan konstitusi dan sejarawan yang romantik visioner. Sementara, Prof. Soepomo oleh Taufik disebut sebagai "arsitek" rancangan UUD.

Sejarah juga mencatat bahwa gagasan Prof. Yamin soal pengadilan spesial di Indonesia merupakan sebagian dari ide-idenya yang kandas lantaran dirinya tidak masuk menjadi anggota panitia khusus BPUPKI yang merancang UUD. Masih menurut Taufik, ide-ide Prof. Soepomo yang anggota panitia perancang UUD, soal MPR, DPR, DPA, dan negara kesatuan telah diusulkan Prof. Yamin sebelumnya.

Mengenai luasnya penguasaan para founding fathers tentang konstitusi dikuatkan oleh pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Jimly Asshiddiqie. Menurut Jimly, para anggota BPUPKI lebih hebat dibandingkan dengan para penyusun konstitusi sekarang. "Karena mereka rata-rata vested intelektual kelompok yang mempunyai konstitusi negara lain di mejanya," kata Jimly dalam "Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia".

Selain itu, ada usah keras para founding fathers untuk meramu konstitusi negara-negara lain itu secara baik, sehingga UUD kita kental dengan pengaruh Eropa Timur, Amerika, Perancis, dan RRC. Jimly mencontohkan, sistem presidensil diambil dari Amerika, yang aslinya ada kepala negara dan ada kepala pemerintahan. Sedangkan, MPR diambil dari RRC.

MK di 45 negara

Mahkamah Konstitusi merupakan sesuatu fenomena baru, bukan saja bagi Indonesia, namun juga bagi dunia ketatanegaraan di banyak negara. Dari seluruh negara di dunia, Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 negara.

Dari ke-45 negara tersebut, rata-rata memang pernah mengalami krisis konstitusional dan berubah dari otoritaan menjadi demokrasi. Dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk. Jimly mencatat, hanya Filipina lah negara yang baru berubah menjadi negara demokrasi namun tidak memiliki Mahkamah Konstitusi.

Beberapa dari ke-45 negara tersebut dapat disebutkan di sini antara lain Afrika Selatan, Equador, Indonesia, Venezuela, Lithuania, Korea Selatan, Mesir, Croatia, Czech, Jerman, Italia, Thailand, Austria, dan juga Spanyol. Khusus untuk Jerman, Italia, Austria dan Spanyol merupakan pengecualian sebagaimana disebut sebelumnya, yakni dibentuknya Mahkamah Konstitusi di masing-masing negara tersebut tidak terkait dengan krisis konstitusional.

Ke-45 negara tersebut tidak sepenuhnya mengenal satu istilah Mahkamah Konstitusi atau Constitutional Court (Indonesia, Korsel, Lithuania) untuk lembaga yang memiliki fungsi 'judicial review'. Istilah lain untuk Mahkamah Konstitusi atau lembaga yang agak mirip pengertiannya antara lain Counsel Constitutionel (Perancis), Privy Council (Inggris), dan Dewan Konstitusi atau Constitutional Council (Alzajair) yang merupakan pengaruh dari model Counsel Constitutionel-nya Perancis.

Di Konstitusi Korea Selatan, Mahkamah Konstitusi diatur dalam Konstitusinya, yaitu pada Pasal 107 dan dalam Bab VI yang berisi tiga pasal, yaitu Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 113. Pasal 111 ayat (2) menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi terdiri atas 9 orang anggota. Masa jabatan kesembilan anggota Mahkamah Konstitusi itu ditentukan dalam Pasal 112 ayat (1) yaitu 6 tahun dan dapat diangkat kembali sesuai ketentuan Undang-undang.

Ketentuan dalam ayat selanjutnya memberikan larangan kepada para hakim konstitusi untuk terlibat atau melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis atau menjadi anggota dan apalagi pengurus partai politik tertentu. Ayat berikutnya mengatur bahwa hakim konstitusi hanya dapat diberhentikan karena alasan yang bersifat hukum, yaitu karena 'impeachment' atau karena dikenakan pidana penjara atau hukuman yang lebih berat dari pidana penjara.

Lain di Korea Selatan lain pula di Afrika Selatan. Mahkamah Konstitusi dibentuk pertama kali pada 1994 berdasarkan 'Interim Constitution' Tahun 1993. setelah Konstitusi 1996 disahkan, Mahkamah Konstitusi tersebut terus bekerja yaitu mulai persidangannya yang pertama pada Februari 1995. Anggotanya 11 orang, dengan masa tugas 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan kemungkinan penggantian karena pensiun yaitu ketika mencapai usia 70 tahun.

Semua anggota Mahkamah bersifat independen, dengan tugas memegang teguh atau menjalankan hukum dan konstitusi secara adil (impartial) dan tanpa rasa takut, memihak, atau prasangka buruk.

'Modifikasi' berbagai model Mahkamah Konstitusi terjadi bukan hanya karena adanya perbedaan istilah, namun juga disebabkan keragaman sistem hukum yang dianut negara yang bersangkutan. Mahkamah Konstitusi di lingkungan negara-negara yang menganut 'civil law', berlainan dengan konsep di lingkungan 'common law' sepeti di Amerika Serikat.

Titik berat dalam membedakan kedua sistem hukum ini, terkait dengan Mahkamah Konstitusi, adalah pada upaya untuk tidak mencampur-adukan antara fungsi Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Atau lebih khusus lagi, menyangkut eksistensi peradilan tata usaha negara yang hanya dikenal dalam sistem 'civil law' seperti di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi, kini

Mahkamah Konstitusi, berikut tugas dan wewenangnya, pertama kali diperkenalkan pada Perubahan Ketiga UUD 45. Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Keempat UUD 45 seperti dikutip di awal tulisan, yang disahkan pada Sidang Tahunan MPR 9 November 2001. Sebetulnya, pasal ini hadir sebagai jalan keluar untuk mengisi kekosongan hukum sementara Mahkamah Konstitusi belum terbentuk.

Kala itu, Indonesia benar-benar berada di tengah krisis konstitusi yang parah. Khususnya pasca impeachment Abdurahman Wahid dari kursi presiden pada Sidang Istimewa MPR akhir 2001. Mungkin tak perlu ulasan panjang lebar mengenai sengketa (penafsiran) isi konstitusi antara Presiden Wahid di satu sisi, dan parlemen (MPR/DPR) di sisi yang lain yang berujung pada impeachment.

Sejumlah pakar yang menjadi staf ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR kemudian mengatakan bahwa perlu ada masa peralihan sementara Mahkamah Konstitusi belum terbentuk.

Terdapat dua pemikiran yang berkembang saat itu yaitu mereka yang menginginkan pelaksana sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi dipegang oleh Mahkamah Agung (MA), sedang yang lain menghendaki oleh MPR. Hal demikian wajar saja mengingat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sangat luas dan strategis.

Sesuai Pasal 24C UUD 45, Mahkamah Konstitusi memiliki lima kewenangan yaitu menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review/materieele toetsengrecht), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa hasil pemilu, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden/wakil presiden

Akhirnya, pada Sidang Tahunan MPR 10 Agustus 2002 disahkan Amandemen Keempat UUD 1945 yang dalam Pasal III Aturan Peralihan diatur bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA.

Kemudian, pada 16 Oktober 2002 Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menandatangani Peraturan MA (Perma) No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Dalam Perma tersebut, MA sudah mulai menyusun hukum acara Mahkamah Konstitusi.

Di saat yang sama, DPR tengah menyusun RUU tentang Mahkamah Konstitusi yang dimotori oleh Ketua Badan Legislasi DPR Zain Badjeber. Zain mengatakan proses penyusunan RUU Mahkamah Konstitusi sudah mulai dirintis Baleg sejak Perubahan Ketiga UUD 45 disahkan. Namun, ia mengakui penyusunan RUU sempat terhenti menjelang dikeluarkannya Perma No.2/2002.

RUU Mahkamah Konstitusi kemudian diajukan ke pimpinan DPR pada 15 November 2002 sebagai usul inisiatif Baleg. Pada tanggal 23 Januari 2003 rapat paripurna DPR menerima usul inisiatif ini menjadi usul DPR. Namun, usul DPR ini terpendam di DPR sampai 13 Mei 2003 dan kemudian baru dibentuk Pansus DPR. ternyata, meski sudah terbentuk pansus RUU-nya sendiri belum dikirim ke pemerintah.

Akhirnya, tanggal 18 Mei Presiden mengirim surat amanat presiden (Ampres) menunjuk Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung untuk membahas RUU Mahkamah Konstitusi bersama pansus. Hal yang menarik, menurut Zain, isi Ampres tersebut tidak lazim. Pasalnya, di dalam surat itu presiden memberikan catatan panjang lebar mengenai RUU yang akan dibahas.

"Saya ada kesalahan pengertian dari staf Presiden, sehingga kayaknya ada sesuatu yang begitu rupa diwaspadai. Sementara kami bergerak hanya berdasarkan perintah pasal 24C ayat 6 (UUD, red) untuk mengatur pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara dan yang lainnya tentang MK," kepada hukumonline.

Hakim konstitusi

Singkat cerita, RUU Mahkamah Konstitusi diselesaikan pada 6 Agustus setelah melalui masa pembahasan yang cukup singkat. Sepekan kemudian, tepatnya 13 Agustus, Presiden menandatangani UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada 16 Agustus, Presiden mengambil sumpah sembilan orang hakim konstitusi yang telah ditunjuk oleh DPR, MA dan Presiden.

Kesembilan hakim konstitusi itu adalah Prof. Jimly Asshiddiqie, Achmad Rustandi, I Dewa Gede Palguna, Prof. H.A.S. Natabaya, Prof. Muktie Fadjar, Dr. Haryono, Prof. Laica Marzuki, Sudarsono, dan Muarar Siahaan. Tiga nama pertama diusulkan DPR, tiga nama berikutnya diusulkan Presiden, dan tiga yang terakhir oleh MA.

Jimly Asshidiqie, dikenal sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. Namun Jimly, yang diusulkan oleh banyak fraksi ini juga dikenal aktif di The Habibie Center. Saat ini ia menjabat sebagai Chairman of The Affiliate Center. Sejak dulu, Jimly memang dikenal dekat dengan mantan presiden RI itu.

Sedangkan Achmad Roestandi, purnawirawan Letjen ini merupakan anggota Majelis Pakar Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Roestandi pernah pula menjabat sebagai anggota MPR. Adapun I Dewa Gede Palguna merupakan Wakil Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan di MPR dan diusulkan oleh Fraksi PDIP. 

Sementara diantara tiga nama yang diusulkan presiden, terdapat satu nama yang bukan merupakan usulan dari tim seleksi yang ditunjuk oleh presiden dan juga bukan merupakan usulan dari masyarakat. Haryono, anggota MPR utusan daerah Jawa Timur, merupakan calon yang dipilih sendiri oleh Presiden. Haryono tadinya merupakan salah satu calon yang diusulkan oleh DPR. Namun oleh Fraksi PDIP, Haryono diminta mundur dari pencalonan karena akan dicalonkan oleh Presiden.

Dari komposisi hakim konstitusi ini, wajar jika timbul pertanyaan, apakah para hakim konstitusi itu sudah merepresentasikan para ahli yang mampu melakukan tugas hakim konstitusi seperti diinginkan oleh Prof. Soepomo. Ataukah, para hakim tersebut hanya merepresentasikan kekuatan politik yang ada di tiga lembaga pengusul.

Bagaimanapun, hakim konstitusi telah terpilih, kita berharap mudah-mudahan mereka tidak akan pernah melupakan sumpah dan janji yang mereka untuk memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.

founding fathers 

Dalam salah satu rapat BPUPKI, Prof. M. Yamin pernah menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Prof. Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsengrecht (uji materil) terhadap UU.

Namun, gagasan itu disanggah oleh anggota BPUPKI yang lain Prof. Soepomo. Dalam rapat besar BPUPKI pada 15 Juli 1945 ia mengatakan bahwa pembentukan sebuah pengadilan spesial yang khusus menangani konstitusi belumlah diperlukan. Alasannya, menurut Prof. Soepomo, Indonesia belum memiliki banyak ahli yang dapat mengisi jabatan itu.

Untuk mengetahui apa dan bagaimana argumen Prof. Soepomo menanggapi gagasan dibentuknya pengadilan spesial yang diusulkan Prof. Yamin, berikut kami kutipkan pernyataan selengkapnya sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Laica Marzuki:

Halaman Selanjutnya:
Tags: