Kisah Isu 'Sweeping' Software di Lawfirm
Fokus

Kisah Isu 'Sweeping' Software di Lawfirm

Sejumlah lawfirm (kantor hukum) di Jakarta dikabarkan mendapat "kunjungan" dari Microsoft, selaku pemilik hak cipta program komputer. Microsoft sendiri datang bukan sebagai calon klien potensial, namun untuk memeriksa apakah sejumlah lawfirm tersebut menggunakan program komputer yang berlisensi untuk menjalankan bisnisnya.

Oleh:
Zae
Bacaan 2 Menit
Kisah Isu '<i>Sweeping</i>' <i>Software</i> di <i>Lawfirm</i>
Hukumonline

 

Minggu lalu, seorang pengacara yang juga pembaca hukumonline mencoba "mengklarifikasi" isu adanya sweeping dari Microsoft, pemegang hak cipta untuk beberapa software komputer.  Menurut dia, setidaknya ada tiga lawfirm di Jakarta yang sudah mendapat "kunjungan" dari Microsoft. Dua berlokasi di Jakarta Selatan, sedang satu lawfirm lainnya berlokasi di Jakarta Pusat.

 

Sejak berlakunya UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pada akhir Juli lalu, kata sweeping termasuk kata yang sering disebut selain kata bajakan. Bukan saja karena maraknya tindakan aparat penegak hukum yang gencar melakukan sweeping barang (umumnya CD dan VCD) bajakan ke pusat-pusat perbelanjaan, tetapi juga akibat beredarnya isu sweeping oleh Microsoft seperti yang ditanyakan pembaca hukumonline tadi.

 

Soal sweeping oleh aparat kepolisian, hampir semua media seperti berlomba memberitakannya sejak diberlakukannya UU Hak Cipta tersebut. Misalnya berita soal  aparat Direktorat Reserse Khusus Polda Metro Jaya yang menyita VCD bajakan sebanyak 490 keping dan DVD bajakan sebanyak 11.301 keping dari dua lokasi, ITC Mega Kuningan dan Mal Mangga Dua, Jakarta pada 29 Juli 2003.

 

Tapi soal Microsoft yang ikut melakukan sweeping rasa-rasanya baru sebatas isu. Dari segi penegakkan UU Hak Cipta, sebagai pemegang hak cipta Microsoft tentu punya kepentingan. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah pemegang hak cipta juga mempunyai kewenangan untuk melakukan sweeping?

 

Jika jawabannya tidak boleh, lantas bagaimana pemilik hak cipta bisa melindungi haknya? Bagaimana pula pemilik hak cipta bertindak bila tahu bahwa di suatu tempat usaha atau kantor tertentu, hak ciptanya digunakan untuk berbisnis tanpa ijinnya?

 

Tak boleh sweeping

 

"Memang beberapa waktu lalu ada orang dari Microsoft minta izin untuk datang dan kami izinkan," tegas Arief T Surowidjojo, salah seorang pendiri dan senior partner pada lawfirm Lubis Ganie Surowidjojo (LGS). LGS adalah salah satu lawfirm yang dikabarkan mendapat "kunjungan" dari Microsoft.

 

Kedatangan utusan dari Microsoft, menurut Arief, dilakukan setelah mendapat ijin dari kantornya. Utusan itu datang dan melakukan pemeriksaan terhadap komputer-komputer yang ada di kantornya."Selama ini kami memang selalu memakai program yang asli, dan dari waktu ke waktu kita selalu up date," tambahnya

 

"Setelah dia periksa, memang ada yang kurang. Tapi itu bukan masalah besar, karena orang itu kemudian nggak datang lagi. Mungkin karena kadar compliance kami cukup tinggi," tutur Arief.

 

Sebuah lawfirm yang berlokasi di Jakarta Pusat juga dikabarkan mendapat kiriman surat dari Microsoft. Hanya saja bentuknya bukan berupa surat permintaan ijin, namun somasi. Lawfirm itu mendapat somasi karena diduga menggunakan sofware Microsoft bajakan.

 

Sayangnya, hukumonline tidak berhasil mendapatkan salinan somasi itu. Sebelumnya, kantor tersebut menjanjikan akan mengirimkan somasi tersebut lewat faksimil. Tapi, belakangan mereka menyatakan surat tersebut telah hilang.

 

Jika pemegang hak cipta diperbolehkan melakukan sweeping di kantor-kantor, termasuk di lawfirm-lawfirm, kemungkinan besar akan banyak sekali lawfirm yang panik. Pasalnya, menurut Pasal 72 ayat (3) UU Hak Cipta, ancaman bagi pelanggar hak cipta cukup tinggi. Yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta. Jumlah sebesar itu belum termasuk ganti rugi yang mungkin diajukan juga oleh pemegang hak cipta.

 

Namun, Dirjen Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Kehakiman dan HAM, Abdul Bari Azed, secara tegas menyatakan pemegang hak cipta tidak boleh melakukan sweeping. Menurut Abdul Bari, jika pemegang hak cipta melakukan sweeping, hal itu bisa disebut main hakim sendiri.

 

Dijelaskan Abdul Bari, untuk melindungi haknya pemegang hak cipta hanya bisa melaporkan kepada aparat yang berwenang jika ditemukan dugaan bahwa disuatu tempat hak ciptanya dilanggar. Kemudian, aparat yang akan menindaklanjuti. "Kalau sweeping itu kan tindakan hukum, yang akan berakibat hukum," jelas Abdul Bari. Dekan FHUI itu menyarankan somasi sebagai langkah lainnya.

 

Namun perlu diingat juga bahwa pelanggaran terhadap hak cipta termasuk dalam delik biasa. Maksudnya, tidak perlu adanya pengaduan atau laporan dari pemegang hak cipta kepada aparat untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran tersebut. Jadi, mungkin saja tiba-tiba polisi mengadakan sweeping terhadap tempat-tempat tertentu.

 

Satu pihak lagi yang bisa melakukan tindakan sejenis sweeping adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Depkeh dan HAM. Soal tugas dan kewenangannya diatur jelas dalam Pasal 71 UU Hak Cipta. Misalnya melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta, melakukan pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Hak Cipta, dan lain-lain.

 

Soal sweeping oleh aparat, pengacara pada lawfirm Soemadipradja and Taher, Justisiari P Kusumah, mengatakan bahwa untuk melakukan sweeping, polisi atau PPNS tentunya harus sudah melihat depan mata adanya pelanggaran hak cipta. "Jika mereka memang telah menemukan secara langsung pelanggaran, mereka punya kewenangan untuk melakukan sweeping," ujarnya.

 

Akan tetapi dalam melakukan tindakan ini, menurut Justisiari, aparat masih mempunyai keterbatasan. Misalnya soal pengetahuan terhadap produk atau UU itu sendiri tentang apa saja yang dilanggar. "Supaya tidak terlihat hantam kromo, mungkin akan lebih baik apabila si pemilik hak cipta lebih proaktif memberikan masukan," jelasnya.

 

Maksudnya, menurut Justisiari, seharusnya ada sinergi antara pemilik hak cipta dengan aparat. Keduanya harus sama-sama proaktif bahu membahu. Walaupun kewenangan ada pada polisi dan PPNS, akan lebih baik kalau sweeping itu dilakukan dengan syarat-syarat. Seperti harus dengan surat perintah, harus ada bukti awal (barang palsu, saksi). "Jadi tidak bisa dengan cara tiba-tiba. Harus dilakukan bedasarkan tata cara razia yang diatur dalam UU," tambahnya.

 

Bukan Sweeping

 

Soal pemilik hak cipta melakukan sweeping, Justisiari malah memperingatkan bahwa harus hati-hati menyebutkan istilah sweeping. Pasalnya kedatangan seseorang atau lembaga pemegan hak cipta kepada kantor-kantor termasuk lawfirm tidak bisa begitu saja disebut sweeping.

 

"Misalkan saya sebagai pemegang hak cipta bisa mengirimkan somasi kepada orang yang dianggap melanggar hak cipta saya. Dengan bukti awal, saya bisa melakukan itu. Untuk itu saya menginginkan orang itu datang ketempat saya atau saya datang ke tempat orang itu untuk mengumpulkan bukti-bukti," jelas pengacara yang kantornya mewakili Microsoft pada kasus pembajakan karya cipta di PN Jakpus dan PN JakBar beberapa waktu lalu.

 

Jika sudah melakukan somasi, kedatangan ke kantor-kantor itu, menurut Justisiari, tidak bisa dikategorikan sebagai sweeping. Justisiari lebih memilih istilah tindakan hukum. Misalnya laporan kepada polisi yang akan melakukan tindakan, atau mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata. "Tindakan langkah somasi atau teguran merupakan langkah awal dalam penindakan dengan cara pengajuan gugatan secara perdata," jelasnya.

 

Menanggapi kabar adanya sweeping, pihak Microsoft Indonesia dengan tegas  membantahnya. "Microsoft tidak pernah melakukan sweeping," tegas Cynthia Iskandar, Marketing Communication Executive Microsft Indonesia. Cynthia mengatakan, Microsoft Indonesia tidak mungkin melakukan sweeping seperti yang diisukan. Lagi pula, menurutnya, karyawan Microsoft Indonesia jumlahnya terbatas. Sehingga tidak ada waktu untuk melakukan sweeping semacam itu.

 

Kalau pun ada utusan Microsoft yang mendatangi kantor-kantor yang menggunakan program milik Microsoft, menurut Cynthia, adalah dalam rangka membantu klien soal Software Asset Management (SAM). Melalui program ini Microsoft membantu kliennya mengoptimalkan penggunaan program-program yang terpasang pada komputernya.

 

Melalui SAM ini pula, menurut Cynthia, klien-klien yang menggunakan program Microsoft dibantu menangani dalam soal skema pembiayaan lisensinya. Misalnya, soal prgoram-program apa saja yang dibutuhkan klien, sehingga program yang tidak dibutuhkan tidak perlu dimasukkan dalam komputer. Dengan demikian, biaya lisensi akan lebih sedikit.

 

Lebih lanjut Cynthia menjelaskan, soal penegakkan hukum bidang hak cipta sudah sejak lama Microsoft menjalankan awareness program. Bahkan Microsoft mempunyai divisi sendiri yang menjalankan program ini misalnya dalam bentuk sosialisasi hak cipta, mengingat produk utama Microsft adalah hak cipta tersebut.

 

Mengenai isu sweeping oleh Microsoft, menurut Cynthia hal tersebut sudah ada sejak dulu. "Pernah ada pengakuan dari seorang profesional IT yang Laptop-nya diperiksa oknum yang mengaku dari microsoft di pintu masuk BEJ," ujar Cynthia. Sayangnya menurut Cynthia, orang tersebut tidak bertanya pada Microsoft. "Padahal kalau kami tahu oknum itu bukan dari Microsoft, kami bisa tuntut balik oknum tersebut. Karena tugas menyelidiki seperti itu wewenang kepolisian, bukan tugas perorangan," jelasnya.

 

Biaya tambahan

 

Saat ini, perangkat komputer sepertinya sudah merupakan perlengkapan standar yang harus tersedia bagi perusahaan untuk mejalankan usahanya. Sebagai salah satu jenis usaha, lawfirm juga termasuk salah satu yang aktif dalam menggunakan perangkat komputer.

 

Paling tidak, selain sistem operasi sebagai program utamanya, lawfirm menggunakan program pengolah kata standar seperti Ms Word dan spread sheet seperti Ms Excel. Satu program lagi yang paling sering digunakan adalah program untuk keperluan e-mail. Sebagian besar dari program-program tersebut adalah buatan atau hak ciptanya dipegang oleh Microsoft.

 

Salah satu kendala klasik, yang pasti disebut-sebut sebagai hambatan penggunaan program komputer yang berlisensi adalah mahalnya biaya lisensi program komputer.  Sebagai ilustrasi, bisa dilihat dari tabel perkiraan biaya lisensi yang pernah dimuat hukumonline.

 

Dengan asumsi 50 komputer client dan 2 buah komputer server yang dilengkapi program standar seperti Sistem Operasi (OS) Windows, paket Microsoft Office, dan Exchange Server untuk fasilitas e-mail, perkiraan biaya lisensinya adalah sebagai berikut.

 

No

Description

Qty

Unit    (US$)

Total (US$)

1

 Exchange Svr 2000 English OLP NL

2

       612.59

    1,225.18

2

 Exchange CAL 2000 All Languages OLP NL

50

         58.89

    2,944.50

3

 Exchange Svr 2000 English Disk Kit

1

         28.00

         28.00

4

 Office XP Win32 English OLP NL

50

       330.34

  16,517.00

5

 Office XP Win32 English Disk Kit

1

         28.00

         28.00

6

 Windows Svr Std 2003 English OLP NL

2

       629.42

    1,258.84

7

 Windows Server CAL 2003 English OLP NL

50

         25.24

    1,262.00

8

 Windows Svr Std 2003 English Disk Kit

1

         28.00

         28.00

9

 Windows XP Professional English OEM w/SP1

50

       156.00

    7,800.00

 

SUB TOTAL (US$)

 

 

  31,091.52

 

Sumber : Salah satu vendor Software di Jakarta

 

Bagi lawfirm tertentu, biaya sebesar itu mungkin tidak menjadi masalah. Paling tidak keuntungan dari jasa yang disediakannya masih jauh lebih besar dari biaya lisensi tersebut. Namun akan menjadi masalah besar bagi lawfirm-lawfirm lain yang memiliki keterbatasan dana untuk "membersihkan" sistem komputernya.

 

Salah seorang manajer Teknologi Informasi (TI) pada salah satu lawfirm di bilangan Kuningan mengatakan, menurut hitung-hitungan sederhana, kantornya paling tidak harus merogoh dana sebesar AS$20 ribu. Dana sebesar itu diperlukan untuk membuat sekitar 40 komputer client dan sebuah komputer server di kantornya menjadi "bersih".

 

Menurut pengakuannya, jumlah tersebut masih terlalu mahal. Dengan kurs AS$1 = Rp8.500,-, setidaknya lawfirm tersebut harus menyediakan dana sebesar Rp170 juta. "Mendingan biaya sebesar itu buat fight di pengadilan melawan Microsoft," ujar manajer TI tadi menuturkan komentar bosnya saat diberi tahu soal biaya lisensi tadi.

 

Sebenarnya ada alternatif lain bagi lawfirm untuk menggunakan program komputer tanpa harus membayar biaya lisensi. Misalnya dengan menggunakan program open source yang saat ini banyak tersedia di pasaran seperti Linux. Walau tidak gratis sama sekali, paling tidak biayanya tidak sebesar biaya lisensi produk-produknya Microsoft.

 

Tapi sepertinya masih ada keraguan pengguna komputer untuk beralih kepada program open source. Pasalnya, selain sudah terbiasa menggunakan Windows, ada anggapan bahwa program open source tidak lengkap dan sulit dioperasikan. Anggapan itu tidak seluruhnya benar. Beberapa distribusi Linux yang beredar sekarang sudah ada yang berjalan dengan tampilan mirip Window, serta dilengkapi dengan program perkantoran sejenis Ms Office.

Isu adanya sweeping terhadap produk-produk bajakan bukan hanya melanda pedagang dvd dan vcd bajakan di kawasan Menteng, tapi juga sampai ke lawfirm. Hanya, isu mengenai sweeping di lawfirm bukan karena pengacara disana yang kabarnya suka memburu dvd bajakan, tapi lebih ke soal penggunaan software di kantor mereka.

Tags: