Penyanderaan Pasien Tak Penuhi Unsur Pidana
Utama

Penyanderaan Pasien Tak Penuhi Unsur Pidana

Beberapa kali media massa memberitakan mengenai pasien yang disandera oleh pihak Rumah Sakit (RS) karena tidak mampu membayar biaya pengobatan. Namun, penyanderaan pasien ternyata dianggap tidak memenuhi unsur tindak pidana.

Oleh:
M-1
Bacaan 2 Menit
Penyanderaan Pasien Tak Penuhi Unsur Pidana
Hukumonline

 

Ketua Komisi Hukum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Herkutanto, mengatakan bahwa jika penyanderaan oleh RS benar terjadi, maka hal ini harus segera dilaporkan kepada polisi agar tidak berlarut-larut.

 

Tapi, tindakan penyanderaan yang dilakukan oleh RS ternyata dianggap tidak bisa bisa dikategorikan sebagai tindak perampasan kemerdekan yang diatur dalam KUHP. Iskandar Sitorus, ketua LBH Kesehatan, menyatakan bahwa jika ditinjau secara teliti dari perspektif hukum pidana, seharusnya tindakan RS sudah termasuk delik penyanderan.

 

Namun, dalam kenyataannya, menurut Iskandar, sangat sulit untuk menentukan apakah tindakan RS itu memenuhi delik penyanderaan. Pasalnya, selama di RS, pasien yang disandera diberi makanan, minuman, dan bebas mondar-mandir di seputar ruang perawatan.

 

Pemberian makanan dan minuman itu nantinya dibebankan pada biaya yang harus dibayar si pasien. Hal ini juga dialami oleh Suyanto, yang selama disandera hanya makan-minum dan duduk sembari berjalan kesana kemari di seputar ruang perawatan. 

 

Karena itu, polisi sebagai penyidik menganggap tindakan penyanderaan oleh RS tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana peyanderaan, sehingga tidak bisa diberi sanksi pidana. "Akibatnya, tidak ada satupun kasus penyanderaan yang bisa dilanjutkan proses hukumnya," ujar Iskandar.  

 

Pasal 333 ayat 1 KUHP menyatakan, barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. 

 

Sementara itu, Direktur Keuangan RSCM, Takdir Mustofan, menyatakan bahwa RSCM dan RS Negeri lainnya tidak mungkin melakukan penyanderaan terhadap pasien. Pasalnya, RS Negeri telah mendapat subsidi dari pemerintah. Apalagi, menurut Takdir, penyanderaan pasien  justru akan membebani RS itu sendiri. "Pasien yang dirawat dikelas tiga, hampir 30% adalah orang tidak mampu," tuturnya.

 

Menurut Takdir, selama ini, RS swasta diharuskan menyediakan  10 % dari tempat tidur yang ada di RS untuk pasien miskin. Pada kenyatannya, mereka belum tentu melakukan hal itu. Karena itu, Takdir mengusulkan agar sebaiknya RS swasta tidak usah dibebani hal itu, tetapi diwajibkan mengeluarkan 10 % dari pendapatannya untuk diberikan pada RS Negeri.

 

UU Kesehatan

Dalam kesempatan itu, Iskandar juga mempersoalkan mengenai UU Kesehatan yang tidak melindungi masyarakat miskin. Menurut Iskandar, pengaturan atas RS, yang dikenal dengan sarana pelayanan kesehatan, secara khusus diatur dalam UU No 23 Tahun 1992  tentang Kesehatan. Namun, UU Kesehatan tidak mengatur mengenai perilaku penyanderaan yang dilakukan oleh RS.

 

Karena itu, Iskandar mengatakan, pihaknya akan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dengan tujuan merubuhkan UU Kesehatan karena tidak memberi  proteksi terhadap orang miskin. "Kalau tidak ada proteksi terhadap orang miskin, untuk apa UU itu ada," tukas Iskandar.

 

Tapi tampaknya keinginan itu akan sulit terwujud. Berdasarkan catatan hukumonline,  UU Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa UU yang bisa diuji oleh Mahkamah Konstitusi hanyalah  UU yang dilahirkan setelah amandemen pertama UUD 1945.

Suyanto, 46 tahun, adalah bapak enam orang anak dengan upah dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Dua tahun belakangan, tangan kanannya lumpuh akibat ditabrak mobil. Berkeinginan sembuh, iamendatangi RS Tebet untuk berobat. Pihak RS pun mengambil tindakan medis terhadap Suyanto.

 

Ketika akan meninggalkan RS, Suyanto kaget melihat deretan angka yang harus ia bayar. Karena tidak mampu membayar, Suyanto dilarang meninggalkan RS sampai lima hari lamanya. Pada hari keenam, keluarganya menyerahkan kasusnya pada LBH Kesehatan. Akhirnya, Suyanto bisa pulang setelah tujuh hari di RS.

 

Suyanto menyampaikan pengalamannya itu dalam diskusi "Perlindungan bagi Pasien Miskin di Rumah Sakit, Kamis (21/08). Salah seorang pembicara, Jhon Pieries, menyatakan bahwa dari segi Hak Asasi Manusia (HAM), pihak RS tidak mempunyai hak untuk menyandera pasiennya.

 

Menurutnya, berdasarkan sejarahnya, RS dibentuk bukan untuk profit taking, namun dalam perkembangannya, fungsi sosial dari RS justru hilang. Yang menonjol malah unsur komersialismenya. "Bahkan dalam perkembangannya, terkadang manajemen RS tersebut justru telah melanggar HAM," ujar pengacara yang juga anggota KPKPN ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: