Jaksa dan Hakim Spesialis Korupsi Sudah Diseleksi Secara Ketat
Utama

Jaksa dan Hakim Spesialis Korupsi Sudah Diseleksi Secara Ketat

Meskipun Kejaksaan Agung dan MA sudah melakukan seleksi dan pembekalan terhadap puluhan jaksa dan hakim spesialis korupsi, tidak ada jaminan mereka otomatis masuk ke Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Kenapa?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Jaksa dan Hakim Spesialis Korupsi Sudah Diseleksi Secara Ketat
Hukumonline

Ketua MA Bagir Manan menyatakan bahwa 10 hakim dan 30 jaksa yang mengikuti pendidikan dan pelatihan hingga 4 November mendatang sudah diseleksi secara ketat. Mereka lolos dari 20 kandidat hakim dan 60 jaksa yang dipilih dari seluruh Indonesia.

 

Jaksa Agung M.A Rachman menambahkan, diklat para jaksa dan hakim dimaksudkan untuk menyambut terbentuknya KPTPK. Komisi ini sudah harus terbentuk paling lambat Desember 2003. "Diklat ini dalam rangka menyambut pembentukan KPTPK yang akan datang," kata Rachman, usai membuka diklat, Senin (25/08) pagi.

 

Namun, sesuai UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTPK, struktur KPTPK terdiri dari beberapa jabatan dan staf. Wewenang mengisi staf dan jabatan itu tetap ada di tangan KPTPK, bukan di kejaksaan atau MA. Berarti, tidak ada jaminan mereka akan masuk ke Komisi itu kelak.

 

Syarat ketat

Hal itu tampaknya disadari betul oleh Partnership for Governance Reform in Indonesia, lembaga yang banyak terlibat dalam program diklat ini. "Hak KPK --maksudnya KPTPK-- untuk memilih staf atau pegawainya tidak terkurangi. Kejaksaan hanya menyediakan calon. KPK tetap berwenang memilih di antara calon-calon tersebut," demikian pendapat Partnership.

 

Sukma Violetta dari Partnership meyakinkan bahwa proses seleksi jaksa dan hakim sudah dilakukan seketat mungkin. Agar tidak bias dan bernuansa KKN, misalnya, seleksi dilakukan oleh tim dari luar institusi kejaksaan. Yang bisa ikut diklat adalah mereka yang lolos seleksi oleh dua konsultan human resources development (HRD) berskala global. Kandidat harus mengikuti serangkaian wawancara, interviu dan kuesioner.

 

Sukma menambahkan bahwa khusus jaksa,  agar bisa ikut diklat, sang jaksa sudah harus bergolongan III-c hingga IV-a. Dia juga sudah harus berpengalaman menangani minimal dua perkara tindak pidana korupsi.

 

Namun pengalaman menangani dua perkara korupsi tampaknya bukan syarat mutlak. Kapuspenkum Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan bahwa syarat demikian tidak bersifat wajib. Kejaksaan agaknya memang kesulitan menemukan jaksa berintegritas yang memenuhi syarat tadi. Itu sebabnya dicari jalan keluar.

 

Menurut Sukma, jika jaksa tersebut belum pernah menangani perkara korupsi, maka ia sudah harus melewati jenjang berpendidikan magister (pascasarjana).

 

Nama jaksa yang lolos juga sudah melewati meja seleksi di Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas). Ini untuk menjaga jangan sampai jaksa yang punya 'cacat' lolos.

 

Kriteria untuk hakim diungkapkan oleh Ketua Bagir Manan. Setidaknya ada tiga ukuran, yaitu punya minat dan komitmen besar untuk memberantas korupsi, punya pengetahuan yang cukup mengenai tindak pidana korupsi, dan yang terpenting memiliki integritas yang baik.

 

Eksaminasi Performance

Meskipun secara administratif dan psikologis, hakim dan jaksa peserta diklat sudah teruji, bukan berarti proses seleksi dan diklat benar-benar sempurna. Buktinya, seorang sumber yang banyak terlibat dalam seleksi menceritakan bahwa tim seleksi lebih banyak berkutat memantau hasil test wawancara, kuesioner, simulasi dan persyaratan administratif.

 

Sementara, track records yang bersangkutan sebelumnya tidak terlalu banyak dibahas. Tidak ada semacam eksaminasi terhadap dakwaan atau tuntutan yang pernah dibuat jaksa, atau eksaminasi terhadap putusan yang dibuat hakim.

 

Menurut Sukma, mestinya tim melakukan kajian mendalam terhadap performance jaksa atau hakim-hakim yang ikut seleksi. Surat dakwaan yang pernah mereka buat ditelaah dan putusan-putusan sang hakim dieksaminasi. Pelacakan mengenai performance atau track records jaksa dan hakim bersangkutan bisa dilakukan misalnya ke bekas atasan mereka, kalangan LSM, wartawan atau masyarakat.

 

Sayang, menurut Sukma, penelusuran semacam itu sulit dilakukan karena waktu yang sangat mepet. KPTPK sudah harus terbentuk dengan semua struktur yang terisi paling lambat Desember. Sementara Panitia Seleksi, sebagaimana diperintahkan UU, hingga kini belum terbentuk. Kalaupun ada tim seleksi yang sekarang, itu tidak lebih sebagai inisiatif agar nanti KPTPK tidak kesulitan.
 
Tags: