Perlunya Pemberitahuan SP3 kepada Saksi Pelapor Jadi Pro Kontra
Utama

Perlunya Pemberitahuan SP3 kepada Saksi Pelapor Jadi Pro Kontra

Tindakan Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 menimbulkan satu pertanyaan baru: apakah kebijakan itu harus disampaikan kepada saksi pelapor. Ada jawaban pro dan kontra.

Oleh:
Mys/M-2
Bacaan 2 Menit
Perlunya Pemberitahuan SP3 kepada Saksi Pelapor Jadi Pro Kontra
Hukumonline

Kejaksaan langgar UU?

Mengutip ketentuan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Iskandar Sonhaji mengatakan bahwa masyarakat punya hak untuk memperoleh informasi tentang penyelnggaraan negara. Kejaksaan merupakan salah satu alat penyelenggara negara. Jadi selain Soeripto, masyarakat umum pun layak diberitahu.

Namun, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Antasari Azhar tetap bersikukuh bahwa tidak ada kewajiban bagi Kejaksaan untuk memberitahukan penghentian penyidikan sebuah perkara (SP3) kepada saksi pelapor. Alasannya, kasus Prajogo adalah tindak pidana korupsi. "Nggak ada kewajiban itu. Ini kan kasus korupsi," katanya. Menurut Antasari, yang harus dilakukan kejaksaan justeru melindungi saksi pelapor tersebut.

Masalah penghentian penyidikan diatur dalam pasal 109 KUHAP. Penyidikan dapat dihentikan apabila tidak diperoleh bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana dan penghentian demi hukum.

SP3 menurut SK Menkeh

Bagaimana aturan KUHAP mengenai pemberitahuan penghentian penyidikan? Dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, mantan hakim agung M. Yahya Harahap menulis bahwa pemberitahuan penyidikan, baik dimulai atau dihentikannya penyidikan, merupakan kewajiban.

Mengutip pasal 109 ayat (2) KUHAP, jika yang melakukan penghentian itu penyidik Polri, maka pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada  penuntut umum dan tersangka atau keluarganya. Apabila penghentian penyidikan dilakukan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) pemberitahuan disampaikan kepada penyidik Polri dan penuntut umum.

KUHAP memang tidak mencantumkan sama sekali kewajiban penyidik memberitahukan SP3 kepada saksi pelapor. Namun dalam bukunya, M. Yahya Harahap mengutip SK Menteri Kehakiman No. M.14-PW.03/1983. Dalam angka 11 Lampiran SK tersebut, demikian Yahya Harahap, pemberitahuan penghentian penyidikan juga meliputi pemberitahuan kepada penasehat hukum dan saksi pelapor atau korban.

Jadi, SK Menkeh di atas tegas menyebut adanya kewajiban untuk memberitahukan penghentian penyidikan kepada saksi pelapor. Namun, Antasari Azhar tetap menganggap tidak ada kewajiban demikian. Kejaksaan berpendapat harus dibedakan saksi pelapor dalam kasus pidana umum dan saksi pelapor dalam kasus tindak pidana korupsi.

Kejaksaan Agung sedang mendapat sorotan tajam sehubungan dengan kebijakan lembaga itu mengeluarkan surat penghentian penyidikan (SP3) atas sejumlah perkara antara lain kasus dugaan mark up PT Musi Hutan Persada, Pipanisasi Jawa dan penerbitan commercial paper dalam proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR). Satu di antara perkara yang di-SP3, yaitu kasus Texmaco, sudah dimintakan praperadilan oleh ICW.

Selama ini muncul tudingan, bahwa Kejaksaan Agung berusaha menutup-nutupi kebijakan SP3. Untung Udji Santoso, Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, membenarkan bahwa pihaknya tidak akan berinisiatif mengungkap adanya SP3 kalau tidak ditanyakan oleh pers.

Sikap tertutup Kejaksaan dapat juga dilihat dalam kasus yang melibatkan pengusaha Prajogo Pangestu. Sebagaimana diketahui, terangkatnya kasus tersebut bukan hasil penyelidikan intelijen kejaksaan, melainkan laporan mantan Sekjen Dephutbun Soeripto. Kuat dugaan Soeripto tidak diberitahu sama sekali adanya SP3 kasus itu.

Menurut advokat Iskandar Sonhaji, sesungguhnya Kejaksaan punya kewajiban moral untuk memberikan kebijakan menutup perkara Prajogo kepada Soeripto sebagai orang yang melaporkan kasus tersebut pertama kali. "Sudah seharusnya Kejaksaan memberitahu," ujarnya kepada hukumonline.

Tags: