Keberadaan Pengacara Publik Jangan Dianggap Remeh
Utama

Keberadaan Pengacara Publik Jangan Dianggap Remeh

Banyak khasanah hukum baru di Indonesia muncul berkat dorongan perjuangan para pengacara publik. Tetapi kenapa Undang-Undang Advokat tidak mengakui eksistensi mereka

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Keberadaan Pengacara Publik Jangan Dianggap Remeh
Hukumonline

Sebut misalnya kegigihan LBH Pers, salah satu anggota KAP-HAM mengajukan gugatan secara legal standing. Para pengacara publik yang tergabung dalam LBH Pers membantu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengajukan gugatan terhadap Kapolri meskipun perundang-undangan Indonesia baru mengakui legal standing di bidang lingkungan, konsumen dan kehutanan. Dan upaya mereka berhasil, PN Jakarta Pusat mengakui legal standing AJI.

Di bidang class action, Serikat Pengacara Rakyat (SPR) beberapa kali mengajukan gugatan, meskipun selalu kandas di tengah jalan. Demikian pula langkah YLKI yang pernah mengajukan gugatan class action atas kecelakaan kereta api di Brebes.

Sumbangsih yang tak kalah menariknya adalah yang dilakukan para pengacara publik yang tergabung dalam Tim Advokasi Tragedi Nunukan (TATN). Mereka mengajukan gugatan dengan model citizen law suit (CLS), padahal model gugatan demikian sama sekali belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun belum ada putusan inkracht atas penerimaan model CLS ini, yang pasti langkah TATN kemudian diikuti oleh kantor pengacara Remy & Darus saat menggugat divestasi Indosat ke PN Jakarta Pusat.

M. Choirul Anam, aktivis Human Rights Working Group yang ikut tergabung dalam TATN, termasuk orang yang mendapat kesan bahwa pembuat undang-undang mengabaikan peran pengacara publik. Ia melihat Undang-undang Advokat tidak lebih sebagai alat untuk melindungi monopoli profesi yang dilakukan oleh segelintir orang, dengan mengabaikan peran yang lain. "Masak kami mau disamakan dengan pengacara privat yang berorientasi keuntungan," ujarnya.

Lambok Gultom, pengacara publik dari APHI, menilai Undang-Undang Advokat membuat KKAI seperti menjadi kaku. Kebijakan yang diambil justeru meresahkan kalangan pengacara sendiri. Lambock berharap selama dua tahun ini akan ada perubahan di dalam Undang-undang Advokat. "Bagaimanapun, pengacara publik pun harus diakui sebagaimana pengacara yang lain," ujarnya.

Puluhan mungkin ratusan pengacara yang selama ini lebih banyak berkiprah di ranah publik dan hak asasi manusia sedang menanti kepastian. Persamaan nasib mempersatukan mereka ke dalam Koalisi Advokat Publik dan HAM (KAP-HAM). Koalisi ini meliputi 13 organisasi yaitu LBH Jakarta, Perhimpunan Pembela Publik Indonesia, Serikat Pengacara Rakyat (SPR), PBHI, APHI, Kontras, PAHAM, YLKI, LBH APIK, LBH Rakyat Jabotabek, LBH Pers, LPHAM, dan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB).

Menurut Frans Hendra Winarta, advokat yang juga anggota Komisi Hukum Nasional berpendapat para pengacara semacam itu sebaiknya tidak perlu dipersulit dengan perizinan. Kecuali jika mereka akan melakukan praktek litigasi secara partikulir. "Bantuan hukum yang mereka berikan banyak membantu orang miskin, ujar Frans.

Jadi, lanjut Frans, mereka sebaiknya dikecualikan karena posisi mereka sebagai pembela (kepentingan) umum. Apalagi kontribusi mereka membantu masyarakat di bidang advokasi hukum tidak bisa dianggap remeh.

Ironisnya, ketidakjelasan posisi para pengacara publik dalam Undang-undang Advokat berbanding terbalik dengan kiprah mereka torehkan selama ini sebagai pendamping orang-orang kecil.  Undang-undang No.18/2003 sama sekali tidak menyinggung-nyinggung soal keberadaan pengacara publik.

Menambah khasanah

Padahal, patut dicatat, berkat kegigihan merekalah banyak hal baru dalam khasanah hukum di Indonesia seperti class action, legal standing dan citizen law suit. Ketiga upaya hukum tersebut selama ini justeru lebih banyak dilakukan oleh para pengacara publik dibanding pengacara yang jelas-jelas berorientasi profit.

Tags: