Tarman Azzam: Undang-undang Pers Tidak Bisa menjadi Lex Specialis
Utama

Tarman Azzam: Undang-undang Pers Tidak Bisa menjadi Lex Specialis

Perdebatan antara menggunakan KUHP atau Undang-undang No. 40/1999 tentang Pers kembali mencuat ke permukaan. Perseteruan antara Tempo dan Tomy Winata yang menjadi pemicunya. Kalangan pers tentu lebih memilih dipakainya UU No. 40/1999 untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka ketimbang KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda. Alasannya, selain UU No.40/1999 lebih melindungi profesi mereka, masih banyak pasal karet di KUHP yang bisa disetel untuk menjerat profesi kuli tinta.

Oleh:
Tri
Bacaan 2 Menit
Tarman Azzam: Undang-undang Pers Tidak Bisa menjadi <i>Lex Specialis</i>
Hukumonline

Bagaimana dengan kemungkinan adanya Fatwa MA?

Kalau pun ada kesepakatan ke arah itu melalui pintu mana pengakuan itu mempunyai keabsahan. Makanya, dalam diskusi di Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), itu dimungkinkan kalau memang ada fatwa dari Mahkamah Agung, dimana MA mengeluarkan peraturan yang menetapkan bahwa UU Pers adalah lex spesialis. Tapi juga itu tidak mungkin. Saya sudah bilang kepada teman-teman bahwa semua hakim memiliki otorisasi sendiri dalam memutuskan perkara tidak ada satu pihak pun di luar hakim bisa campur tangan di dalam keputusan hukum dalam sebuah pengadilan. Hal ini karena hakim harus mempunyai keyakinan sendiri, karena pertanggungjawaban hakim itu kepada Tuhan dan kepada hati nuraninya sendiri.

Kalau anda sendiri memandang perlu tidak fatwa MA?

Saya pikir ada tidak adanya fatwa posisi, Undang-undang Pers itu tidak akan bergeser, tetap sama. Jadi walaupun ada fatwa, saya pikir nilainya juga bias. Jadi yang betul pers harus bekerja profesional. Anda bekerjalah sehebat mungkin, kalau bisa lebih licin dari belut sehingga anda tidak berhadapan dengan persoalan-persoalan hukum. Kan itu kuncinya!

Apa ini tidak akan mengancam pers yang berfungsi sebagai watch dog?

Oh selalu, kalau pemikiran itu selalu. Kita ini negara yang sedang berkembang. Proses liberalisasi pers di Indonesia itu belum tuntas. Masih dalam proses. Karena masih dalam proses maka itu tergantung pada pola kepemimpinan nasional. Siapa presidennya, bagaimana pemerintah itu digerakkan, dan bagaimana sikap intelektualitas seseorang dalam pemerintahan. Itu yang menentukan semua.

Jadi sistem dalam pemerintahan disertai oleh keberadaan orang-orang yang menjadi pemimpin dalam pemerintah bisa menjadi ancaman pada sistem pers, apakah liberal atau tidak? Jadi jangan Anda kira dengan adanya undang-undang maka semuanya OK. Tidak,  siapa dulu penguasanya.

Di Amerika sendiri timbul keresahan, dan tidak ada pemerintahan di Amerika sekalipun yang rela pers itu sebebas-bebasnya. Mereka tetap mengekang pers. Tapi memang mereka berhadapan dengan intelektual publik yang ingin melindungi kebebasan pers.

Bagaimana dengan kondisi publik di Indonesia?

Di kita publik sendiri belum terdidik, sehingga publik menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers.

Apakah ini terkait dengan penilaian bahwa pers kita dianggap sudah kebablasan?

Saya tidak melihat pers kita kebablasan. Bahwa ada yang kebablasan, ya. Tapi itu tidak bisa dipukul rata. Memang ini merusak citra kita makanya pada Kongres PWI kemarin, untuk mereduksi semaksimal mungkin segala tindakan-tindakan yang bisa merusak citra pers secara keseluruhan. Misalnya, membiarkan pornografi atau pornoaksi, sadisme, kekerasan. Serta jangan membiarkan oknum-oknum wartawan atau yang mengaku wartawan yang kerjanya hanya menjadi preman di lapangan. Itu kan merusak kita semua. Orang-orang pers baik-baik mereka cinta profesi, menjaga martabat, hidup mereka dari sana.

Lalu bagaimana dengan pengaturan pers yang ada saat ini, apakah sudah melindungi  pers?

Saya pikir belum. Jadi kaya' apapun bunyi undang-undang itu pada akhirnya terpulang kepada siapa yang melaksanakan undang-undang. Yang melaksanakan undang-undang itu terutama pemerintah, para penegak hukum. Kemudian bagaimana penghormatan publik kepada undang-undang. Walaupun undang-undang itu sudah jiwanya bagus tapi publik perangainya tidak berubah. Mereka merasa undang-undang tidak menjadi jiwa kami tidak ada artinya undang-undang tersebut. Tekanan, ancaman terhadap kehidupan pers tetap terjadi.

Jadi menurut saya, semuanya harus simultan. Ada undang-undang yang bagus, ada perangkat hukum yang bagus. Hukum itu dilaksanakan oleh penegak hukum yang baik, kemudian publik dengan intelektualitas baik, nalar yang baik menghormati undang-undang pers. Dan orang pers melaksanakan kemerdekaan itu secara proporsional maka itu akan lahir kondisi yang sangat prima. Mencapai itu sulit.

Bukankah dalam Undang-undang Pers sudah mengatur mekanisme penyelesaian kalau memang ada pihak yang lain dirugikan oleh pers?

Belum semua. Justru, karena undang-undang pers tidak mengatur semua, karena itu undang-undang pers tidak bisa ditempatkan sebagai lex spesialis. Lex spesialis itu kan segala aturan yang ada di Undang-undang Pers dan ada di dalam undang-undang umum. Dan kalau ada kasus yang menyangkut hal itu maka rujukan adalah undang-undang yang khusus itu (Undang-undang Pers,red). Itu yang dikatakan lex  spesialis.

Nah pada Undang-undang pers tidak semua masuk masalah yang terkait dengan pers, seperti masalah penghinaan, tindak kekerasan. Itu tidak diatur dalam Undang-undang Pers. Jadi rujukannya pada KUHP. Karena pengaturannya tidak ada dalam Undang-undang Pers maka yang berlaku adalah KUHP. Dan ini yang orang-orang mau tolak. Namun kenyataannya masalah ini tidak diatur dalam Undang-undang Pers.

Bukankah ada hak jawab?

Betul memang pegangan pertama adalah Undang-undang Pers. Tapi Undang-undang Pers tidak menutup peluang bahwa masyarakat pers harus menghormati supremasi hukum. Untuk itu, Undang-undang Pers juga merefer segala penyelesaian yang tidak diatur dalam Undang-undang Pers, sehingga dipergunakan peraturan perundangan lain yang bersifat umum, yaitu KUHP.

Lalu mengapa ada kecenderungan masyarakat tidak menempuh mekanisme penyelesaian yang ada dalam Undang-undang Pers kalau ada persoalan dengan pers?

Itu karena belum semua masyarakat, dan belum semua narasumber serta pejabat pemerintah menghormati hak jawab itu. Karena mereka merasa tidak ada gunanya mempergunakan hak jawab kalau pelayanan dari masyarakat pers sendiri terhadap hak jawab itu tidak bagus.

Banyak sekali orang-orang di kalangan pers yang melalaikan hak jawab itu. Jujur sajalah. Banyak sekali, hak-hak jawab yang dipergunakan masyarakat kepada pers tidak dilayani dengan baik. Jadi dari segi itu sebenarnya pers sendiri seharusnya sudah dikenakan denda. Ini ketidaktaatan hukum dan tidak profesional dari pers sendiri. Itulah masalahnya.

Bukankah ada dewan pers, yang berfungsi untuk melakukan pengawasan?

Betul. Kalau Dewan Pers itu proaktif. Kadang-kadang dewan pers tidak mau repot. Ini sama dengan publik yang tidak mau repot. Sudahlah cincai sajalah. Banyak kerjaan kita, dan buang waktu saja. Pada akhirnya mereka diamkan. Paling mereka (masyarakat) hanya membuat surat protes. Atau mereka yang sudah mengerti hukum langsung mensomasi pers dan membawa perkara ke pengadilan. Seperti apa yang dilakukan Tomy Winata terhadap Tempo. Jadi tidak ada lagi hak jawab di situ.

Apakah kalau kondisi seperti ini dewan pers tidak berfungsi lagi?

Ada tanya saja kepada dewan pers. Sejauh ini bagaimana perannya dan apa yang mereka lakukan?

Kalau Anda sendiri menilai?

Yang ada saat ini saya melihat orang-orang di Dewan Pers tenang-tenang saja dan tidak proaktif menghadapi persoalan-persoalan seperti itu.  Jadi saat ini sebenarnya untuk pembinaan, pemberdayaan dan penertiban pers seharusnya di Dewan Pers. Karena Dewan Pers oleh undang-undang diberi otoritas yang besar menjadi regulator pers nasional. Jadi kalau Dewan Persnya tidak berani bertindak dan tidak berani mengambil keputusan, yah jadi lah begitu saja. Dunia persilatan pers yah seperti amburadul begini.

Bagaimana PWI menyikapi persoalan yang dihadapi dunia pers?

Kalau PWI tidak ada masalah. Kami memperbaiki internal, melakukan konsolidasi internal. Dan kami hanya menertibkan anggota PWI dan semua kinerja itu di evaluasi oleh kongres karena kongres memang memberikan amanat kepada pengurus pusat PWI untuk menjaga kemerdekaan pers. Kami tidak ada masalah sampai sekarang ini, PWI tetap tepercaya sampai sekarang

Sementara, dalam realitanya, aparat penegak hukum justru lebih berkiblat ke KUHP. Inilah yang terjadi pada  beberapa episode perseteruan Tomy Winata vs. Tempo. Beberapa wartawan dan petinggi Tempo yang tengah menghadapi persoalan hukum, untuk kasus pidananya dijerat dengan KUHP.

Meski desakan dari kalangan pers untuk menggunakan UU No.40/1999 demikian kuat, toh, tak semuanya setuju dengan hal tersebut. Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Tarman Azzam, punya pendapat berbeda dengan sebagian besar koleganya. Ia menilai bahwa UU No.40/1999 tidak bisa menjadi peraturan lex spesialis terhadap peraturan yang lain. Tarman juga menandaskan, upaya permintaan fatwa agar UU Pers menjadi lex spesialis hanya akan menjadi bias terhadap penegakan hukum.

Ditemui di kantornya di Gedung Dewan Pers, Jakarta, lelaki kelahiran Bengkulu 54 tahun silam ini mengatakan  pers tidak cukup kalau hanya membuat desakan dan meminta fatwa MA agar UU Pers lex spesialis terhadap KUHP. Yang terpenting, menurutnya sekarang adalah bagaimana pers bekerja secara profesional dan bekerja lah selicin belut sehingga terhindar dari persoalan hukum. Berikut petikan wawancara hukumonline dengan Tarman Azzam, yang juga Pemimpin Redaksi harian Terbit ini :

Bagaimana Anda melihat munculnya pro kontra soal revisi KUHP dikaitkan dengan ancaman kebebasan pers?

 Saat ini ada sejumlah pasal dalam rancangan undang-undang KUHP yang baru, yang lagi diajukan Departemen Kehakiman dan HAM itu ternyata cukup banyak justru yang mengancam kebebasan pers. Jadi kalau itu dibiarkan itu bakal jadi masalah, sedangkan itu tidak ada saja sudah jadi masalah. Masalahnya antara lain timbul keresahan di masyarakat pers keberadaan Undang-undang Pers tidak cukup kuat untuk melindungi para praktisi pers di lapangan lantaran posisi undang-undang pers sendiri tidak lex spesialis, oleh karena itu sedang dicari oleh sejumlah pertemuan dan diskusi mendorong dan mencari alasan yang tepat bahwa UU Pers ada lex spesialis.

Tags: