Merasa Dianaktirikan, APHI Ultimatum KKAI
Utama

Merasa Dianaktirikan, APHI Ultimatum KKAI

Asosiasi Pengacara Hak Asasi Manusia Indonesia menyatakan kekecewaannya terhadap sikap Komite Kerja Advokat Indonesia. Mereka mengatakan bahwa APHI akan mengajukan judicial review terhadap Undang-undang Advokat karena pengacara publik merasa tetap dianaktirikan oleh Komite tersebut.

Oleh:
Amr/Leo
Bacaan 2 Menit
Merasa Dianaktirikan,  APHI Ultimatum KKAI
Hukumonline

Lambok menyesalkan sikap KKAI yang dinilainya terlalu kaku ketika menanggapi permintaan Koalisi Advokat Publik dan HAM (KAP HAM) agar mereka dilibatkan oleh KKAI dalam mendiskusikan masalah-masalah advokat. Seharusnya, ujar Lambok, KKAI merangkul seluruh advokat dan pengacara praktek, di luar delapan organisasi advokat yang disebutkan Undang-undang No.18/2003 tentang Advokat untuk menentukan pembentukan organisasi advokat.

"Kenapa ada pembatasan organisasi? Seharusnya KKAI merangkul seluruh pengacara praktek dan advokat. Tapi, faktanya KKAI menjadi eksklusif. Dengan pembatasan itu menjadi eksklusif karena beberapa kawan-kawan yang masuk di organisasi lain untuk memberi sumbangsih kepada KKAI dalam proses dua tahun pembentukan organisasi advokat itu tidak dilibatkan," cetusnya

Padahal, status dan eksistensi APHI serta anggotanya, menurut Lambok, jauh lebih baik dibandingkan dengan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) atau Asosisasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), dua organisasi yang telah tergabung dalam KKAI.

"Bukan bermaksud membanding-bandingkan, APSI sendiri baru terdaftar, AKHI juga tidak pernah mendapatkan legitimasi dari pemerintah. Dalam arti mereka tidak punya izin praktek maupun izin advokat. Kita kan bicara keadilan bukan bicara kebenaran, kalaupun delapan organisasi itu sudah diakui Undang-undang, mbok ya yang lain aspirasinya ditampung," ujar Lambok.

Kebebasan berorganisasi

Lebih jauh, ia menilai ada pasal di UU No.18/2003 yang menurut APHI bertentangan dengan UUD 1945. Yaitu, pasal yang membatasi KKAI menjadi delapan organisasi advokat. "KKAI tidak boleh membatasi itu. Itu jelas ada undang-undangnya terutama UUD 1945 dari hasil amandemen itu yang jadi acuan kita," katanya.

Kemudian, saat ditanya mengapa APHI tidak memilih bergabung dengan salah satu organisasi advokat di dalam KKAI, Lambok mengatakan, hal itu dikarenakan  tidak ada satu organisasi advokat yang sudah ada mampu menampung aspirasi mereka jika telah menjadi anggotanya.

"Kalau kita masuk ke sana kita tidak mau dibilang jadi black lawyer," cetus Lambok singkat. Selain itu, ia menilai bahwa di dalam KKAI sendiri saat ini sedang terjadi tarik-menarik soal bentuk dari organisasi advokat, apakah wadah tunggal atau federasi.

Meski demikian, Lambok mengatakan bahwa rencana judicial review Undang-undang Advokat bukanlah harga mati. ia kembali meminta kepada KKAI untuk dapat duduk bersama mendiskusikan keberadaan APHI sebagai bagian dari dunia advokat. "Ya, pokoknya jangan ada diskriminasi," tegas Lambok.

Lambok mengultimatum KKAI bahwa jika sampai masa verifikasi berakhir (6 November) aspirasi APHI belum ada titik temu, maka, "Kita akan masukan judicial review tersebut," ujarnya.

Kalau Lambok memilih mengultimatum KKAI, langkah yang berbeda diambil oleh Carrel Ticualu. Ketua Perhimpunan Pembela Publik Indonesia (P3I) ini mengatakan dirinya akan bergabung dengan salah satu dari delapan organisasi yang tergabung dalam KKAI.

Saya pikir sebaiknya begini, karena sementara di undang-undang mengatakan delapan (organisasi,red), bergabunglah dengan yang delapan ini, sambil  memperjuangkan kepentingan kita,ujarnya

Ia mengibaratkan para advokat publik ini telah memiliki mobil, tapi tak punya STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan,red). Yang punya ‘STNK', sejauh ini baru delapan organisasi di KKAI. Kita boleh menggunakan delapan kendaraan ini untuk mencapai tujuan kita, imbuhnya.

Carrel berharap, organisasi advokat nantinya berbentuk federasi, bukan wadah tunggal. Dengan federasi, kami bisa membentuk organisasi sendiri asal memenuhi ketentuan yang ada di federasi itu. Sehingga nanti kami nanti punya ‘STNK',katanya

"Sebenarnya kami bukan menolak, cuma Undang-undang Advokat belum menampung aspirasi para advokat dan pengacara praktek di seluruh indonesia. Ada kebijakan-kebijakan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang bagi kita, bukan cuma bagi APHI saja, tapi bagi pengacara dan advokat yang lain itu sangat membatasi ruang gerak para advokat dan pengacara praktek," ucap Lambok, Ketua Asosiasi Pengacara Hak Asasi Manusia (APHI) saat dihubungi hukumonline.
Tags: