Abuse of Power Darurat Militer Sangat Mungkin Terjadi pada Pemilu di Aceh
Utama

Abuse of Power Darurat Militer Sangat Mungkin Terjadi pada Pemilu di Aceh

Undang-Undang memberi wewenang tak terbatas kepada Penguasa Darurat Militer. Karena itu, kualitas penyelenggaraan Pemilu di Aceh diperkirakan akan berkurang.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
<i>Abuse of Power</i> Darurat Militer Sangat Mungkin Terjadi pada Pemilu di Aceh
Hukumonline

 

Sebut misalnya, kewenangan menguasai perlengkapan pos, telekomunikasi dan alat-alat komunikasi yang menjangkau rakyat banyak (pasal 25 angka 2 ) atau pembatasan alat-alat percetakan dan media. Pasal ini membawa implikasi pembatasan terhadap kebebasan informasi bagi pemilih dan penyelenggara pemilu.

 

PDMD berhak menyita surat menyurat, bahkan menghancurkan surat-surat tersebut tanpa memberitahukan isinya kepada yang bersangkutan. Mereka juga berwenang untuk melarang seseorang bertempat tinggal di suatu daerah di kawasan yang dinyatakan darurat militer.

 

Dengan demikian, perpanjangan darurat militer akan berdampak pada penyelenggaraan pemilu yang fair dan demokratis. Status demikian jelas tidak akan kondusif bagi pemilu.

 

Bahkan, menurut Todung, bukan tidak mungkin terjadi penyimpangan terhadap Keppres No. 43/2003 tentang Pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Berdasarkan Keppres itu, presiden berwenang membatasi kunjungan orang asing ke Aceh. Wartawan asing yang ingin meliput ke Aceh, harus mendapatkan ijin dari Deplu. Namun, berdasarkan catatan Todung, sudah ada limabelas wartawan asing yang mengajukan permohonan, namun belum ada satupun yang  disetujui.

 

Kekhawatiran yang sama disampaikan oleh Munir. Menurut Direktur Eksekutif Imparsial itu, darurat militer nyatanya telah melumpuhkan kekuatan-kekuatan sipil yang bertugas menyelenggarakan tahapan-tahapan pemilu. Padahal, kata Munir, "penyelenggaraan pemilu yang fair di Aceh merupakan suatu keharusan".

 

Menurut Todung, untuk menyelamatkan pemilu di Aceh perlu dipertimbangkan alternatif lain terhadap status darurat militer. Misalnya pemberlakuan operasi militer terbatas sesuai Undang-Undang No. 3/2002 tentang Pertahanan. Jadi, tidak seluruh Aceh, hanya di tempat-tempat yang berpotensi gangguan fisik kelompok bersenjata.

 

Dalam kesempatan terpisah, ketua KPU, Nazaruddin Syamsuddin, juga mengemukakan hal senada. Menurutnya, status darurat militer di Aceh akan menimbulkan kendala dalam menciptakan pemilu yang jujur, adil dan luber (langsung, umum, bebas, rahasia).  Elemen Pemilu yang jurdil dan luber tidak akan bergerak bebas dalam situasi darurat militer.

 

Nazaruddin juga mempertanyakan apakah nanti penguasa darurat militer daerah akan memberikan kebebasan pada pemantau Pemilu, meskipun KPU sudah memberi ijin pada mereka. "Kalau diibaratkan, demokrasi dan darurat militer itu seperti minyak dan air, jadi tidak akan pernah bersatu," ujarnya

 

Judicial review tidak terlarang

Sementara itu, CETRO, Imparsial, INFID dan ICW mempertanyakan pernyataan Panglima TNI Endriartono Sutarto yang mensinyalir adanya upaya penggagalan pemilu melalui serangkaian upaya antara lain judicial review terhadap Undang-Undang Pemilu.

 

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Selasa (11/11), Panglima TNI menyatakan bahwa intelejen TNI mensinyalir adanya upaya-upaya untuk menggagalkan pemilu, antara lain dengan melakukan judicial review terhadap peraturan Pemilu.

 

Menurut keempat organisasi non-pemerintah ini, proses judicial review merupakan hak yang dilindungi Konstitusi dan bukan merupakan kegiatan terlarang. "Cukup menggelikan kalau menganggap hal tersebut sebagai temuan intelijen, padahal itu merupakan proses politik yang tidak perlu dirahasiakan," demikian rilis mereka.

 

Judicial review terhadap Undang-Undang Pemilu diajukan oleh Wakil Ketua KPKPN Abdullah Hehamahua dan pakar politik Prof. Deliar Noer. Mahkamah Konstitusi sudah memulai sidangnya pekan lalu.

 

Keempat organisasi justeru menduga pernyataan Panglima TNI dimaksudkan untuk menyudutkan dan membatasi ruang gerak organisasi pro-demokrasi, terutama mereka yang akan memantau dan mengkritisi penyelenggaraan pemilu di Aceh.

Pendapat itu disampaikan oleh salah seorang pendiri Center for Electoral Reform (CETRO), Todung Mulya Lubis, dalam diskusi terbatas mengenai "Perpanjangan Status Darurat Militer di Aceh", yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (12/11) sore. "Sangat mungkin terjadi abuse of power," kata Todung.

 

Todung menunjukkan implikasi yuridis kewenangan yang dimiliki Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) berdasarkan Undang-Undang No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya.

Tags: