Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan
Berita

Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan

Hajatan mewah Poligami Award yang digelar oleh seorang pengusaha rumah makan beberapa waktu lalu kembali memicu perdebatan lama seputar masalah "satu pria banyak isteri". Kelompok masyarakat yang diidentikan sebagai kaum feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan bereaksi keras. Mereka menuding Undang-undang Perkawinan adalah biang keladi di balik maraknya poligami.

Oleh:
Amrie Hakim
Bacaan 2 Menit
Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan
Hukumonline

 

Langkah LBH-APIK untuk memprotes Undang-undang Perkawinan tidak berhenti sampai di situ. Lembaga tersebut telah tuntas menyusun usulan amandemen Undang-undang Perkawinan (UUP) dan dengan aktif mensosialisasikannya. Selain mengusulkan revisi tiga pasal pasal poligami (Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5), LBH-APIK juga membongkar enam pasal lainnya dalam Undang-undang Perkawinan.

 

Dalam konteks poligami tadi, usulan merevisi UUP memang bukan tanpa dasar. Tabel di bawah menunjukkan statistik jumlah perceraian selama enam tahun (1996-2001) yang tercatat di Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama. Setiap tahun terjadi ratusan perceraian yang diakibatkan oleh poligami.

 

Tabel

Kasus Perceraian Akibat Poligami Tidak Sehat di Pengadilan Tinggi Agama

Seluruh Indonesia (1996-2001)

 

Tahun

Jumlah kasus

Akibat Poligami Tidak Sehat

Prosentase Perceraian akibat poligami (%)

Propinsi tertinggi jumlah perceraian akibat poligami

1996

97.356

519

0,53

104 (Jatim)

1997

67.894

705

1,04

396 (Jabar)

1998

103.416

590

0,53

108 (Jatim)

1999

183.805

828

0,45

403 (Jabar)

2000

145.609

875

0,60

385 (Jabar)

2001

145.081

938

0,62

261 (Jabar)

    

      Sumber : Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depag RI

 

 

Tiga draf

Berdasarkan catatan hukumonline, LBH-APIK bukanlah satu-satunya institusi yang telah menyiapkan draf revisi UUP. Saat ini, paling tidak sudah ada tiga versi draf usulan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masing-masing dibuat oleh Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Korps Wanita Indonesia (Kowani), dan yang terakhir milik LBH-APIK tadi.

 

Dua draf pertama sudah ada sejak awal tahun 2000. Draf milik Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan sudah dipersiapkan sejak menterinya dijabat oleh Khofifah Indar Parawansa. Sedangkan, draf milik Kowani kabarnya sudah ada sejak akhir tahun 90-an. Kabar terakhir, draf yang disusun Kowani telah masuk ke Senayan lewat jalur Badan Legislasi DPR.

 

Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula pihak yang berseberangan dengan kubu yang menghendaki perubahan Undang-undang Perkawinan. Pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat merupakan salah satu institusi yang secara tegas menolak adanya amandemen terhadap Undang-undang Perkawinan.

 

"Tidak perlu direvisi. Seperti yang sekarang sajalah, baik pasal ataupun ayatnya. Daripada memberikan kesempatan kepada orang yang berusaha tidak memberlakukan hukum Islam. Karena sampai saat ini di mana pun juga orang selalu berusaha untuk tidak memberlakukan hukum Islam. Karena yang ada sekarang ini dengan alasan supaya tidak mendiskriminasikan perempuan sebagai alasan utama," ucap Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI-Pusat, Neng Djubaedah.

 

Pandangan Neng mengenai perubahan UUP agaknya tidak lepas dari panjang dan beratnya pembahasan RUU Perkawinan di DPR 30 tahun silam. Pembahasan RUU Perkawinan di DPR kala itu menjadi polemik yang panas di berbagai media massa.

 

Panasnya polemik yang berkembang di tengah pembahasan RUU Perkawinan di penghujung 1973 tercermin dalam salah satu artikel yang ditulis oleh alm. Prof. Dr. MR Hazairin, pakar hukum Islam dan hukum adat. Dalam artikel "Beberapa Komentar atas RUU Perkawinan" yang dimuat di Harian KAMI pada 18 September 1973, Hazairin mengingatkan para anggota DPR untuk berhati-hati dalam membahas RUU tersebut, khususnya terkait soal ketentuan tentang masa iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya. Berikut petikannya:

 

"Anggota-anggota DPR yang beragama Islam dan sekarang menghadapi Rancangan Undang-undang Perkawinan yang mengandung pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Qur'an seperti dengan Q.9 : 37 itu dan menerima baik pelanggaran yang besar itu, samalah dengan menjadikan dirinya sebagai orang-orang yang mengabaikan imannya dan taqwanya kepada Allah dengan dan karena mengobah atau menyelewengkan (tujuan dan maksud) ayat-ayat Qur-an. Maka sekurang-kurangnya akan menjadi fasik! Lihat Q.33 : 36 dan sanctumnya Q.4 : 14…". (Dikutip dari buku Hukum Kekeluargaan Indonesia karya Sayuti Thalib, terbitan Penerbit Universitas Indonesia, 1986).

 

Setelah melalui pembahasan alot, DPR akhirnya mengesahkan RUU tersebut menjadi UUP. Diundangkan pada 2 Januari 1974, UUP dipandang sebagai kemenangan umat Islam dalam memperjuangkan kaidah-kaidah Islam masuk ke dalam hukum positif di bidang kekeluargaan. Hal tersebut dapat disimak dari pernyataan Hazairin dalam salah satu tulisannya:

 

"Walaupun Undang-undang Perkawinan No.1/1974 itu nampaknya belum sempurna, akan tetapi telah mencukupi kiranya bagi memenuhi kepentingan-kepentingan pokok yang dihadapi sekarang ini dan sungguh merupakan suatu ijtihad baru. Tinggalah kewajiban pecinta agama Islam untuk lebih menerapkan kehendak al-Quran dan Sunnah dalam penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaannya."

 

Dengan sejarah pembentukan Undang-undang Perkawinan yang sedemikian rupa, di mata Neng upaya-upaya untuk merevisi Undang-undang tersebut mengarah pada upaya untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya. "Karena kalau dilihat dari sisi hukum Islam, sudah jelas usulan-usulan seperti itu tidak sesuai. Itu membawa kita akhirnya ke teori receptie, membuat orang tidak patuh pada ajaran Islam untuk orang yang beragama Islam," cetus pengajar hukum Islam di FH-UI itu.

 

Terlepas dari penilaian tersebut, baik Kowani, Kementerian Negara PP, maupun LBH-APIK masing-masing menyatakan bahwa semangat revisi Undang-undang Perkawinan dilandaskan pada penolakan pengukuhan sub-ordinasi perempuan dalam sejumlah pasal.

 

Koordinator Divisi Kajian dan Kebijakan LBH-APIK Ratna Batara Munti menulis bahwa meskipun Undang-undang Perkawinan dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, namun bila melihat dari substansi pasal-pasalnya, terdapat ambivalensi yang cukup mendasar dan kembali mempertegas subordinasi perempuan (isteri) terhadap laki-laki (suami).

 

Di satu sisi misalnya, ujar Ratna, Pasal 31 ayat (2) menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum.

 

Namun, di dalam Pasal 31 ayat (3) Ratna melihat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype peran seksual perempuan sebagai pekerja domestik. Lewat Undang-undang Perkawinan jugalah privelese seksual laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan diatur.

 

Pro kontra Poligami

Masalah poligami memang menjadi salah satu titik sentral kritik kaum feminis terhadap Undang-undang Perkawinan. Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Kaulan Perempuan, berpendapat bahwa poligami adalah tindak kekerasan dan mengakibatkan ketidakadilan tidak saja bagi perempuan, namun juga bagi anak-anak.

 

Nursyahbani menilai para pelaku poligami telah membelokkan makna ayat-ayat suci sesuai dengan kepentingannya sebagi pembenaran atas kesewenangan pemenuhan nafsu seksualnya. "Tidak ada satupun alasan yang cukup untuk membiarkan poligami di negeri ini. Bahkan ketika para pelaku poligami, tukang kawin itu, menggunakan ayat-ayat suci sebagai pembenaran atas tindakannya, kenyataan menunjukkan bahwa mereka mengedepankan nafsu belaka," tegasnya.

 

Sementara, fakta yang disajikan LBH-APIK terkait dengan praktek poligami menunjukkan bahwa dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2001 sampai Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Selain itu, banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas (35 kasus).

 

Poligami sebenarnya masih menjadi perdebatan alot di kalangan agamawan sendiri, khususnya di lingkungan Islam. Maria Ulfah Anshor, Ketua Umum PP Fatayat NU, misalnya. Ia berpendapat bahwa poligami seharusnya tidak dimasukkan dalam Bab I UUP tentang Dasar Perkawinan karena poligami bukan prinsip dasar perkawinan maupun prinsip dasar syar'iyah.

 

"Poligami sebagai pengecualian yang amat sangat darurat dan harus diatur dalam pasal tersendiri lengkap dengan sanksi hukumnya," tulis Maria, Sekretaris Eksekutif Puan Amal Hayati, di Kompas.com, 13 Oktober lalu.

 

Sebaliknya, ahli fikih lulusan Universitas Al-Azhar Mesir Prof. Huzaemah Tahido Yanggo menyatakan bahwa poligami sesuai syariat Islam. Menurutnya, hak poligami bagi suami telah dikompensasi dengan hak isteri untuk menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu' yaitu ketika sang suami berbuat semena-mena terhadap isterinya.

 

"… yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak mu'asyarah bi al-ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa' ayat 19," tulis Huzaemah dalam "Poligami dalam Hukum Islam".

 

Dalam Undang-undang Perkawinan, poligami merupakan pengecualian dari asas perkawinan yang monogami. Poligami merupakan pintu darurat yang hanya bisa ditempuh jika dipenuhi sejumlah syarat yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan.

 

Syarat poligami dalam Pasal 4: "suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberikan izin apabila: a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c) istri tidak dapat melahirkan keturunan."

 

Syarat lain poligami dalam Pasal 5 : "a) adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka".

 

Terkait syarat-syarat poligami, Neng lebih mengikuti pendapat dari Hazairin atas dasar penafsiran terhadap al-Quran IV ayat 3 dan al-Quran IV ayat 127. "Prof. Hazairin itu tafsirannya kalau yang dipoligami itu bukan gadis, tapi janda yang punya anak yatim. Itu yang saya ikuti. Bukan gadis. Bukan anak yatimnya. Tetapi ibu dari anak yatim," tegasnya.

 

Pasal-Pasal Krusial

Seperti disinggung di atas, masih ada beberapa pasal lainnya dalam Undang-undang Perkawinan yang dianggap mengukuhkan subordinasi perempuan, yaitu Pasal 31 ayat (3) bahwa suami kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Atau, Pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. Pasal-pasal itulah yang diajukan perubahannya baik oleh Kowani, Kementrian Negara PP, maupun LBH-APIK.

 

Pihak LBH-APIK sendiri mengusulkan perubahan terhadap sembilan pasal Undang-undang Perkawinan yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 11, Pasal 31, Pasal 34, dan Pasal 43. Informasi selengkapnya mengenai pasal-pasal Undang-undang Perkawinan yang diusulkan untuk diamandemen oleh LBH-APIH disertai argumen-argumennya pasal per pasal, silahkan klik hyperlink berikut: Usulan Amandemen UU Perkawinan No.1 Tahun 1974.

 

Di pihak lain, Neng sendiri menegaskan bahwa MUI Pusat maupun dirinya pribadi cenderung untuk mempertahankan Undang-undang Perkawinan yang masih berlaku hingga kini. Ia memandang, para pengusul revisi hanya memandang perkawinan tidak dari kaca mata agama. Hal tersebut dilihat dari pasal-pasal yang diusulkan untuk diubah adalah yang menyangkut hak dan harta keduniawiaan semata. "Mereka terlupa hidup itu tidak hanya di dunia," cetusnya.

 

Apapun pendirian yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, semuanya layak untuk dihargai. Dalam Islam pun dikenal bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) di tengah-tengah masyarakat merupakan tanda kasih sayang Allah SWT. Tugas masing-masing warga masyarakat adalah menjaga agar diskusi itu berjalan dengan sehat dan sesuai koridor hukum. Dan, Undang-undang Perkawinan yang saat ini masih berlaku, wajib untuk dihormati semua orang, sampai kelak ada undang-undang lain yang menggantikannya.

Pernyataan paling keras terhadap ketentuan Undang-undang Perkawinan (No.1 Tahun 1974) yang membolehkan poligami datang dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK). Mereka mengatakan bahwa Pasal 3, 4, dan 5 Undang-undang Perkawinan mencerminkan Perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris atau keturunan dari salah satu jenis kelamin.

 

"Ketentuan ini telah menempatkan perempuan sebagai sex provider dan secara keseluruhan mencerminkan ideologi phallosentris, yakni sistem nilai yang berpusat pada kepentingan sang phallus," demikian bunyi siaran pers LBH-APIK ketika menyikapi pemberian anugerah "Poligami Award" di Jakarta, akhir Juli silam.

Tags: