Dilarang kolusi
Sedangkan salah satu bunyi Pedoman Tingkah Laku, pasal 3 PMK No.02/2003 mengharuskan Hakim Konstitusi menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun tidak langsung, baik dengan pihak yang berperkara maupun dengan pihak lain.
Berdasarkan pedoman tersebut, Hakim Konstitusi juga dilarang mengadakan kolusi dengan siapapun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan dengan perkara yang akan atau sedang ditangani, sehingga dapat mempengaruhi obyektivitas atau citra mengenai objektivitas putusan yang akan dijatuhkan.
Kemudian, untuk menegakkan kode etik dan pedoman tingkah laku Hakim Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi akan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Majelis Kehormatan tersebut bersifat adhoc, terdiri atas tiga orang Hakim Konstitusi.
Namun, jika dalam hal Hakim Konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran diancam dengan sanksi pemberhentian, Majleis Kehormatan terdiri atas dua orang Hakim Konstitusi ditambah seorang mantan Hakim Agung Mahkamah Agung, seorang praktisi hukum senior, dan seorang guru besar ilmu hukum.
Kekosongan hukum
Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mengatakan bahwa dalam praktek di kemudian hari PMK dapat juga dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan dalam Hukum Acara perkara Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, ia mengatakan bahwa masih banyak kekosongan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi.
Kekosongan tersebut, lanjut Maruarar, akan terlihat dalam praktek Mahkamah Konstitusi di kemudian hari. Namun, ia menambahkan, pembuat Undang-undang Mahkamah Konstitusi telah mengantisipasi hal itu dengan memberikan kewenangan mengatur lebih lanjut hukum acara yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Salah satu hukum acara Mahkamah Konstitusi yang menurut Maruarar belum jelas diatur dalam Undang-undang adalah mengenai ada-tidaknya replik-duplik seperti dalam acara perdata. Ia pribadi berpendapat, replik-duplik harus dilakukan selain untuk kepentingan pemohon dan termohon, juga akan membantu hakim dalam mendudukan perselisihan atau pokok sengketa hukum yang dihadapi.
Ketiga PMK tersebut adalah PMK RI No. 01/PMK/2003 tentang Tatacara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, PMK RI No.02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi, PMK No.03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Berdasarkan Kode Etik Hakim Mahkamah Konstitusi seperti diatur dalam pasal 2 PMK No.02/2003, hakim konstitusi diantaranya diwajibkan untuk menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan pengawal konstitusi, yang bebas dari pengaruh manapun (independen), arif dan bijaksana, serta tidak memihak (imparsial) dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Selain itu, Kode Etik juga mengharus para hakim konstitusi untuk memperdalam dan memperluas ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tugas sebagai Hakim Konstitusi, untuk digunakan dalam proses penyelesaian perkara dengan setepat-tepatnya dan seadil-adilnya sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang diamanatkan UUD 1945.