Jaksa Agung: KPK Tidak Bisa Utak-Atik Kasus Korupsi yang Sudah Disidangkan
Utama

Jaksa Agung: KPK Tidak Bisa Utak-Atik Kasus Korupsi yang Sudah Disidangkan

Jaksa Agung mengatakan bahwa pihaknya siap untuk berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang segera terbentuk. Namun, Jaksa Agung menegaskan bahwa mereka tidak akan mengalihkan kasus-kasus korupsi yang sudah disidangkan, meskipun belum memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung: KPK Tidak Bisa Utak-Atik Kasus Korupsi yang Sudah Disidangkan
Hukumonline

Bertentangan

Pernyataan Jaksa Agung dan Ketua Komisi II terkait dengan kewenangan KPK untuk mengambilalih tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus-kasus korupsi tersebut bertentangan dengan ketentuan Undang-undang No.30/2002, khususnya Pasal 68. Berdasarkan penelusuran hukumonline, pada Pasal 68 tidak ada satu ketentuanpun yang melarang KPK untuk mengambil alih kasus-kasus korupsi yang telah disidangkan.

Selengkapnya Pasal 68 Undang-undang No.30/2002 menyebutkan, "Semua tindakan tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9".

Dalam kesempatan itu, Jaksa Agung juga mengatakan bahwa kejaksaan sejak awal terlibat dalam pembentukan KPK. Ia menambahkan bahwa kejaksaan bersama peradilan telah mendidik 30 orang jaksa untuk menjadi pegawai KPK. "Jadi dengan demikian KPK merupakan mitra kerja kejaksaan dalam rangka untuk meningkatkan pemberantasan tindak pidana korupsi," ucapnya.

Sementara itu, terkait dengan proses pemilihan dan penetapan lima dari sepuluh calon pimpinan KPK oleh DPR, Teras mengatakan bahwa Komisi II akan mengadakan rapat intern untuk menentukan mekanisme, tata tertib, dan jadwal pelaksanaannya.

Menurut Teras, proses pemilihan tersebut diharapkan dapat dimulai pada 15 sampai 16 Desember. Ia juga berharap DPR sudah dapat menetapkan lima pimpinan KPK pada 19 Desember sebelum para anggota DPR memasuki masa resesnya.

Mengingat jadwal yang ketat tersebut, Teras mengatakan bahwa Komisi II telah membuat kesepakatan dengan Panitia Seleksi agar nama kesepuluh calon pimpinan KPK sudah diterima DPR sebelum 12 Desember.

Teras juga mengatakan bahwa Komisi II DPR tidak akan melakukan fit and proper test terhadap kesepuluh nama calon pimpinan KPK seperti yang dilakukan Panitia Seleksi. Tugas DPR, kata Teras, hanyalah memilih dan mengangkat lima dari sepuluh orang, termasuk satu orang ketua, sesuai bunyi Undang-undang No.30/2002.

"Undang-undang menyatakan bahwa yang melakukan proses penjaringan, penyaringan dan penyeleksian itu sepenuhnya adalah kewenangan panitia seleksi. Panitia seleksi sudah melakukan kewenangan itu kemudian sudah barang tentu hasilnya itu adalah hasil final yang dilakukan oleh panitia seleksi dan DPR tidak di dalam posisi untuk mempermasalahkan," tegas Teras.

Obyektifitas dan nurani

Pada kesempatan terpisah, melalui siaran persnya Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) mengingatkan para wakil rakyat bahwa semua rakyat Indonesia berharap besar terhadap objektifitas dan nurani DPR dalam memilih pimpinan KPK. MTI berharap DPR tidak mengedepankan selera politik kepentingan dalam memilih pimpinan KPK.

MTI mengatakan bahwa mereka tidak dapat berharap banyak DPR akan dapat bersatu padu dalam ikut serta memberantas korupsi. menurut MTI, DPR kemungkinan akan berusaha menggagalkan atau menghambat KPK dengan segala macam alasan. Usaha untuk menghambat atau bahkan menggagalkan itu bisa dengan cara menumpang isu ketidaksempurnaan proses seleksi dan hasilnya atau dengan alasan keterbatasan waktu.

"Keseriusan DPR dapat ditunjukkan melalui proses pemilihan pimpinan KPK. Pilihannya adalah, pertama, sebagai pejuang, DPR akan secara obyektif dan mengikuti nurani rakyat memilih orang yang tepat menjadi pimpinan KPK. Kedua, sebagai penghianat, DPR akan memilih pimpinan mengikuti selera politik. Atau, ketiga, sebagai penghambat, DPR akan menggagalkan keberadaan KPK atau mengembalikan hasil seleksi dengan berbagai alasan.  Sejarah akan mencatat pilihan DPR dengan tinta besar," demikian MTI.

Jaksa Agung M.A. Rahman mengatakan bahwa siap mendelegasikan penanganan kasus-kasus korupsi yang dipegang oleh penyidik kejaksan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang segera terbentuk. Namun, menurut Jaksa Agung, pihak kejaksaan tidak akan menyerahkan penanganan kasus-kasus korupsi yang sudah masuk tahap persidangan.

"Perkara korupsi yang sudah disidangkan ini tidak bisa diutak-atik lagi, walaupun itu belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sambil menunggu putusan dari upaya hukum yang pasti nantinya, banding atau kasasi," demikian keterangan M.A. Rahman saat rapat kerja dengan Komisi II DPR di Jakarta, pada Senin (8/12).

Di luar kasus-kasus korupsi yang telah disidangkan, Jaksa Agung mengatakan bahwa pihaknya bersedia merembukkan pendelegasiannya kepada KPK. Pihak kejaksaan, jelas Rahman, juga secara aktif melakukan sosialisasi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK ke berbagai wilayah di Indonesia dengan harapan dapat tercapai sinkronisasi dan koordinasi pelaksanaan tugas untuk penegakan hukum pidana dalam rangka pemberantasan korupsi.

Menyangkut hal itu, Ketua Komisi II DPR Agustin Teras Narang menyatakan sependapat dengan yang dikatakan Jaksa Agung. "Kalau sudah yang diproses di pengadilan saya rasa sudah tidak bisa diambil alih lagi," kata Teras. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa fokus dari Komisi II hanyalah pengambilalihan kasus-kasus korupsi yang sedang dalam tahap penyelidikan dan penyidikan di kejaksaan.

Tags: