Lakukan Terobosan Hukum, PN Jakpus Akui Eksistensi Citizen Lawsuit
Utama

Lakukan Terobosan Hukum, PN Jakpus Akui Eksistensi Citizen Lawsuit

Meskipun menolak sebagian besar gugatan Tim Advokasi Tragedi Nunukan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuat dan mengesahkan terobosan hukum, dengan mengakui eksistensi citizen lawsuit.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Lakukan Terobosan Hukum, PN Jakpus Akui Eksistensi <i>Citizen Lawsuit</i>
Hukumonline

 

Dalam amarnya, majelis menolak eksepsi tergugat. Dalam eksekpsinya, jaksa pengacara negara yang mewakili para tergugat berargumen bahwa model gugatan CLS belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Oleh karena itu, para tergugat meminta agar gugatan TATN ditolak. Toh, nyatanya, majelis hakim berpendapat lain.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, inilah pertama kalinya pengadilan di Indonesia mengakui CLS, sebuah model gugatan yang dikenal dalam sistem hukum common law.

 

Ambigu

Meskipun membuat terobosan penting, majelis hakim dinilai TATN masih ambigu dan tidak independen dalam membuat keputusan. Dalam pernyataan resmi sehari setelah putusan dibacakan, TATN menyebut putusan majelis hakim tidak konsisten. "Putusan majelis sangat double standard," ujar Romo Ign. Sandyawan Sumardi, salah seorang penggugat.

 

Di satu sisi, hakim berpendapat bahwa penanganan dan perlindungan buruh migran kurang maksimal dilakukan para tergugat. Tetapi di sisi lain, hakim menyatakan para tergugat tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana dituduhkan TATN. Tidak maksimalnya penanganan buruh migran, di mata majelis, bukan berarti telah terjadi perbuatan melawan hukum.

 

Tidak bisa dieksekusi

Selain ambigu, putusan majelis dinilai lebih merupakan putusan bernuansa moral daripada hukum. M. Choirul Anam, salah seorang anggota TATN, menganggap putusan majelis tidak mempunyai kekuatan eksekusi. Anggapan Anam bukan tanpa dasar.

 

Dalam amarnya, majelis memang menghukum para tergugat untuk segera melakukan langkah kongkrit untuk pembenahan, pengawasan mekanisme kerja dan koordinasi antar tergugat. Namun tidak disebutkan substansi pembenahan dan pengawasannya. Siapa nanti yang akan mengawasi pemenuhan keputusan tersebut? Substansi materi apa yang harus dibenahi dan diawasi? Mekanisme macam apa yang harus dipenuhi para tergugat?

 

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadi dasar mengapa TATN sampai pada kesimpulan bahwa putusan majelis tidak executable. Itu pula sebabnya, TATN secara resmi menyatakan banding. Sementara tim kuasa hukum para tergugat dari Kejaksaan Agung menyatakan masih pikir-pikir.

 

Patut dicatat bahwa gugatan TATN diajukan Januari 2003 mewakili 53 warga negara Indonesia yang peduli atas tragedi perburuhan yang menimpa ratusan ribu buruh migran di Nunukan. Mereka mengajukan gugatan kepada Presiden, Wakil Presiden, Menko Kesra, Menteri Luar Negeri, Menteri Sosial, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Kesehatan, Dubes RI untuk Malaysia dan Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman & HAM. Kesembilan instansi pemerintah itu dinilai gagal dan tidak bertindak cepat dalam menangani kasus pengusiran buruh Indonesia dari Malaysia itu.

Pengakuan itu tertuang dalam putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat pimpinan Andi Samsan Nganro beranggotakan Andriani Nurdin dan Iskandar Tjakke atas perkara gugatan Tim Advokasi Tragedi Nunukan (TATN) terhadap sembilan instansi Pemerintah, yang dibacakan Senin (8/12) lalu.

 

Bisa jadi pengakuan itu disebut pengesahan. Sebab, dalam putusan sela 10 Juni lalu, majelis hakim yang sama juga sudah mengakui model gugatan warga negara tersebut. Jadi, putusan ini mengesahkan putusan sela yang telah dibuat sebelumnya. Namun putusan ini juga agak ironis karena sebelumnya di pengadilan yang sama (PN Jakarta Pusat, majelis hakim lain menolak gugatan model citizen lawsuit (CLS) yang diajukan dalam perkara divestasi indosat.

 

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim mengakui CLS atas dasar Undang-Undang No. 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan Undang-undang ini hakim berkewajiban menggali hukum yang hidup di dalam masyarakat. Lagipula sudah menjadi aturan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan belum ada undang-undangnya.

Tags: