Endin Gunakan Jasa Advokat yang Dulu Menolak TGPTPK
Utama

Endin Gunakan Jasa Advokat yang Dulu Menolak TGPTPK

Untuk menggugat mantan Ketua TGPTPK dan Jaksa Agung, Endin Wahyudin memberi kuasa kepada advokat yang dulu mengajukan judicial review terhadap keberadaan TGPTPK.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Endin Gunakan Jasa Advokat yang Dulu Menolak TGPTPK
Hukumonline

Tidak ada kawan atau musuh abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Ungkapan itu barangkali pas untuk menggambarkan hubungan antara Endin Wahyudin dan kuasa hukumnya, kantor pengacara Indra Sahnun Lubis, SH & Associates (ISL).

 

Endin Wahyudin, sosok yang selama ini dikenal sebagai korban tidak jalannya aturan perlindungan saksi, menggugat mantan Ketua Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) Adi Andoyo, mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, dan institusi Kejaksaan Agung ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang perdana gugatan itu sudah dimulai Selasa (9/12) lalu. 

 

Nah, untuk membantu dirinya melewati proses hukum itu, Endin memberi kuasa kepada lawfirm ISL. Berdasarkan catatan hukumonline, Indra Sahnun adalah pengacara yang mengajukan judicial review terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2000 tentang TGPTPK. Sebagaimana diketahui Mahkamah Agung mengabulkan permohonan judicial review tersebut dan menyatakan TGPTPK harus bubar.

 

Dua kubu yang dulu duduk berseberangan, meski tidak secara langsung, kini berdampingan dan bahu-membahu.

 

Alasan praktis dan ekonomis

Dalam perbincangan dengan hukumonline, Kamis (11/12) siang, Endin mengakui bahwa dirinyalah yang berinisiatif meminta bantuan litigasi dari ISL. Sebenarnya, cerita Endin, sebelum memberi kuasa kepada ISL, ia sudah berusaha meminta bantuan sejumlah advokat. Ia antara lain menyebut nama Iskandar Sonhaji dari ICW dan Todung Mulya Lubis.

 

Iskandar, kata Endin, meminta agar ia mengajukan banding atas vonis tiga bulan yang dijatuhkan PN Jakarta Pusat terhadap dirinya dalam kasus pencemaran nama baik terhadap ketiga hakim agung. Iskandar urung jadi penasehat hukumnya karena Endin menolak untuk mengajukan banding.

 

Todung pun menolak secara halus untuk mendampingi dirinya menggugat Marzuki Darusman, Adi Andoyo dan Kejaksaan Agung. Gagal mendapatkan bantuan kedua pengacara tersebut, Endin juga mengaku sudah berusaha menghubungi Irianto Subiakto, pengacaranya sewaktu diadili di PN Jakarta Pusat, tetapi tidak berhasil "Saya kehilangan jejaknya begitu ia keluar dari LBH," Endin beralasan.

 

Akhirnya, atas pertimbangan ekonomis dan praktis, Endin menyerahkan kuasa kepada lima pengacara dari kantor ISL, masing-masing Indra Sahnun Lubis, Abd. Rahim Hasibuan, Sitor Situmorang, Evie Pangaribuan dan Alifuddin. Kelima advokat inilah yang menandatangani gugatan Endin yang diregister di PN Jakarta Selatan pada 27 Oktober lalu (No. 627/Pdt/G/2003). Dalam salinan dokumen putusan MA atas permohonan judicial review PP No. 19/2000, nama Indra, Rahim dan Evie jelas tercantum selaku pemohon.

 

Menurut Endin, ada dua pertimbangan mengapa ia memberikan kuasa kepada kantor pengacara ISL. Pertama, keluarga ahli waris yang tersangkut perkara perdata yang dulu 'ditangani' Endin di Bandung juga menggunakan jasa kantor pengacara ISL. Jadi kantor ISL memang tak asing lagi bagi Endin.

 

Kedua, pertimbangan ekonomis. Endin mengaku sudah menghubungi sejumlah pengacara selain nama-nama yang disebut tadi. Tetapi nyaris selalu terbentur masalah fee dan non-yuridis. Nah, kebetulan ISL tidak terlalu ngotot mempersoalkan fee. Dalam istilah Endin, 'jalan saja duluan', dalam arti masukkan dulu gugatan, sementara fee diurus belakangan.

 

Menjawab kekhawatiran adanya konflik kepentingan mengingat andil Indra Sahnun dalam pembubaran TGPTPK, tempat Endin dulu melaporkan kasus suap ketiga hakim agung, Endin merasa tidak akan berpengaruh. Hal ini mungkin sejalan dengan pandangan Indra Sahnun yang pernah diungkapkan kepada hukumonline, bahwa tidak bisa dibenarkan melarang pengacara untuk membela siapapun.

Halaman Selanjutnya:
Tags: