DPR Setujui RUU PPHI Menjadi Undang-undang
Utama

DPR Setujui RUU PPHI Menjadi Undang-undang

DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjadi undang-undang. Nantinya, RUU tersebut akan menggantikan UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

Oleh:
Tri
Bacaan 2 Menit
DPR Setujui RUU PPHI Menjadi Undang-undang
Hukumonline

 

"Jadi go the hell with your money, bagi pengusaha nakal yang hanya mau merugikan buruh atau pekerja," papar Rekso.

 

Sedangkan Fraksi TNI/Polri, melalui juri bicaranya Rochmulyati mengatakan, keberadaan UU PPHI nantinya akan memberikan kepastian hukum terhadap dunia usaha. Begitu juga dengan hukum acaranya, menurut Rochmulyati, RUU PPHI memberikan ruang yang cukup bagi siapa saja yang mencari keadilan.

 

Dalam RUU PPHI, misalnya mempersyaratkan ditempuhnya mekanisme bipartit, mediasi, konsiliasi dan arbitrase sebelum mengajukan sebuah kasus perselisihan perburuhan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Selain itu, dalam RUU PPHI juga memberikan batas waktu kepada hakim untuk memutuskan kasus perselisihan perburuhan paling lama 50 hari sejak perkara tersebut pertama kali disidangkan.

 

Hal senada juga diungkapkan Fraksi PKB. Melalui juru bicaranya KH. Machrus Usman, Fraksi PKB mengemukakan bahwa keberadaan UU PPHI akan memberikan keseimbangan dan kesejajaran antara pengusaha dengan para pekerja atau buruh. Namun begitu, Fraksi PKB  menilai bahwa hubungan pengusaha dengan buruh atau pekerja masih terjadi bias.

 

Beberapa poin penting RUU PPHI

 

Pasal

 

Pengaturan

Pasal 3, pasal 4, dan pasal 5

Perselisihan perburuhan wajib diupayakan penyelesaian melalui bipatrit. Namun apabila bipatrit gagal, sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan terlebih dahulu menempuh upaya konsiliasi, arbitrase dan mediasi.

Pasal 55, dan Pasal 56

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan pengadilan khusus yang berada di pengadilan umum. PHI berwenang memeriksa dan memutus :

1.         di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;

2.         di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

3.         di tingkat pertama mengenai PHK;

4.         di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

 

Pasal 58

Terhadap perkara yang gugatannya kurang dari Rp150 juta tidak dikenakan biaya, baik proses maupun eksekusinya.

Pasal 103

Majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial selambat-lambatnya 50 hari sejak sidang pertama.

Pasal 122

Ketentuan pidana yang diatur terhadap pelanggaran UU PPHI terancam sanksi pidana paling singkat satu bulan dan paling lama enam bulan serta denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp50 juta.

Sumber : RUU PPHI

 

P4D/P Dilikuidasi

Secara keseluruhan, RUU PPHI yang sudah disetujui DPR baru akan diberlakukan satu tahun setelah diundangkan. Waktu satu tahun tentunya ditujukan untuk menyiapkan berbagai perangkat, termasuk penyiapan pengadilan khusus berkaitan dengan sengketa perburuhan (Pasal 126). Nantinya, keberadaan pengadilan yang dikenal dengan nama Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) akan berada di pengadilan umum (Pengadilan Negeri) di setiap ibukota propinsi.

 

Sedangkan terhadap nasib panitia penyelesaian perburuhan pusat dan daerah (P4P/P4D), Menteri Tenaga Kerja  Jacob Nuwawea menandaskan bahwa kedua lembaga itu akan dilikuidasi. Namun UU PPHI nantinya masih memberikan waktu selama satu tahun bagi P4P dan P4D. "Kami masih memberikan kesempatan kepada mereka (P4D/P), sebelum adanya penyesuaian. Karena kalau belum ada yang disesuaikan dengan UUPHI, misalnya keputusan menteri dan sebagainya maka mereka masih ada," papar Jacob.

 

Ditanya mengenai alasan pembebasan biaya perkara dan eksekusi terhadap gugatan yang nilai nominalnya di bawah Rp150 juta, Jacob menjelaskan bahwa angka Rp150 juta merupakan angka kompromi. "Wah itu kompromilah. Kompromi anggota pansus dan usul dari beberapa serikat buruh, dengan pertimbangan kasus yang masuk lebih banyak yang di bawah Rp150 juta," tegasnya.

 

Menanggapi persetujuan DPR atas RUU PPHI, Lucky Rossintha dari  Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, menyayangkan sikap DPR yang begitu saja menyetujui RUU PPHI menjadi UU. "Seharusnya DPR menunggu dulu bagaimana hasil judicial review terhadap UU Ketenagakerjaan, dan jangan tergesa-gesa," tutur Lucky yang juga menjadi tim advokat yang mengajukan judicial review UU Ketenagakerjaan.

Persetujuan DPR terhadap lahirnya Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan  (UU PPHI) merupakan perjuangan panjang selama hampir empat tahun. "Ini merupakan pembahasan RUU terlama, selama masa persidangan DPR kali ini," papar Surya Candra, Ketua Panitia Khusus DPR yang membahas RUU PPHI dalam kata pengantarnya (16/12).

 

Dalam persidangan paripurna sembilan fraksi di DPR, menyatakan persetujuannya terhadap RUU PPHI dijadikan undang-undang. Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan, melalui juru bicaranya Rekso  Ageng Herman, menandaskan bahwa keberadaan UU PPHI merupakan amanat dari UU Ketenagakerjaan (Pasal 171 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

 

Secara lengkap pasal 171 UU No. 13 tahun 2003 berbunyi :

 

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.

  

Selain amanat dari UU No. 13 tahun 2003, keberadaan UU PPHI, menurut Rekso, menghilangkan asumsi bahwa buruh atau pekerja tidak mampu melakukan hak-haknya sebagaimana dalam undang-undang sebelumnya.

 

Hal penting yang diatur dalam UU PPPHI adalah pemberian kemudahan, bahkan pembebasan biaya (prodeo) bagi buruh atau pekerja yang memperjuangkan hak-haknya di Pengadilan Hubungan Industrial terhadap gugatan yang nilanya kurang Rp150 juta (pasal 58).

Halaman Selanjutnya:
Tags: