Dualisme Undang-Undang Bisa Jadi Bumerang Pemilu di Aceh
Utama

Dualisme Undang-Undang Bisa Jadi Bumerang Pemilu di Aceh

Ada kecenderungan dan indikasi penyelenggaraan pemilu di Aceh bakal cacat hukum. Apalagi masih terjadi dualisme pijakan hukum yang bisa digunakan untuk melegitimasi pemilu di daerah darurat militer itu.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Dualisme Undang-Undang Bisa Jadi Bumerang Pemilu di Aceh
Hukumonline

 

Dualisme itu, menurut Smita, punya implikasi yuridis terhadap pemilu. Bila UU pemilu yang berlaku, maka KPU adalah penyelenggara pemilu tertinggi dan tidak ada otoritas lain yang dapat mengganggu kewenangan KPU dalam menyelanggarakan pemilu. Sebaliknya, jika Perpu 23 yang berlaku, maka PMD adalah penyelanggara pemilu dan berhak menegakkan isi Perpu itu meskipun bertentangan dengan Undang-Undang No. 12/2003.

 

Untuk mengatasi dualisme itu, CETRO mengusulkan agar Perpu 23 dicabut sebelum penyelanggaraan pemilu pada April 2004. tetapi, itu tadi, gagasan tersebut urung disampaikan.

 

Hasil survei

Masih terkait dengan dualisme hukum tersebut, CETRO menyelenggarakan survei terbatas di Propinsi NAD sepanjang 12-14 Desember 2003. Hasilnya? Responden KPU Kabupaten/Kota tidak dapat secara tegas menyatakan mana undang-undang yang akan berlaku pada penyelenggaraan pemilu di NAD, apakah Perpu 23 atau UU No. 12/2003. Sebagian besar menyatakan UU Pemilu.

 

Hasil lain yang menarik, semua responden tidak pernah membaca isu Perpu No. 23/1959. Padahal Perpu itu memberikan kewenangan penuh kepada PDM untuk membatasi hak-hak sipil atas alasan keamanan, termasuk pemilu. Jadi, kewenangan demikian sebenarnya bisa menegasikan UU Pemilu.

 

Pada bagian lain, survei tersebut juga menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen responden pemilih berpendapat bahwa kebebasan berpendapat dalam kampanye akan terpenuhi di Aceh. Uniknya, sebanyak 62 persen responden menyatakan bahwa mereka belum terdaftar sebagai pemilih.

 

Imparsial menolak hadir

Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, lembaga pemantau hak asasi manusia Imparsial juga turut diundang dalam pertemuan di Banda Aceh. Namun, menurut Direktur Eksekutif Imparsial, Munir, pihaknya tidak memenuhi undangan karena permohonannya ke kantor Menko Polkam tidak dipenuhi.

 

Dari salinan dokumen yang diperoleh hukumonline, Imparsial mengirimkan surat ke Menko Polkam. Isinya, meminta agar kantor Menko Polkam terlebih dahulu memberikan penjelasan tertulis mengenai berbagai hal, termasuk tujuan pertemuan, siapa saja yang diundang, apakah ada akses yang luas untuk mencari informasi di sana, serta jaminan perlindungan kepada warga yang diwawancarai Imparsial.

 

Permohonan itu tidak terjawab secara tertulis. menurut Munir, Kantor Menko Polkam hanya menelepon dan mengabarkan bahwa akses yang luas tidak dapat dipenuhi, demikian pula permohonan lainnya.

Prediksi tentang kemungkinan pemilu di Aceh cacat hukum dikemukakan advokat Todung Mulya Lubis di Jakarta, minggu lalu menanggapi kegagalan hasil pertemuan dengan Menko Polkam di Banda Aceh. Dua hari sebelumnya, Kantor Menko Polkam memang mengundang sejumlah kalangan, termasuk kalangan LSM untuk membahas masalah pemilu di Aceh.

 

Tetapi seperti dikatakan tadi, pertemuan tersebut gagal mencapai hasil yang diharapkan. Yang diundang ternyata kalangan birokrat, yang bertanya pun sudah ditentukan orangnya. "Pertemuan tersebut mengecawakan," ujar Smita Notosusanto dari Center for Electoral Reform (CETRO).

 

"Pertemuan itu tidak menghasilkan kesepahaman," timpal Usman Hamid, koordinator Kontras, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut. Pandangan kalangan organisasi non pemerintah antara lain karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan dan gagasan dalam pertemuan tersebut.

 

Padahal, kalangan LSM ingin memperjelas masalah dualisme pijakan hukum yang dipakai selama pemilu di Aceh nanti. Dualisme dimaksud adalah antara Perpu No. 23/1959 dan Undang-Undang No. 12/2003. Menurut Perpu No. 23/1959, yang berkuasa di Aceh adalah Penguasa Darurat Militer (PMD), sementara menurut Undang-Undang No. 12, KPU adalah pemegang kuasa tertinggi penyelenggaraan pemilu di Aceh. "Lalu, dasar hukum mana yang dipilih?" ujar Smita dengan nada bertanya.

Tags: