2003, Tahun Penindasan Rakyat Melalui Undang-undang
Utama

2003, Tahun Penindasan Rakyat Melalui Undang-undang

Selama kurun waktu 2003, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan penindasan dan perampasan hak asasi warga negara melalui peraturan perundang-undangan

Oleh:
Tri
Bacaan 2 Menit
2003, Tahun Penindasan Rakyat Melalui Undang-undang
Hukumonline

 

Berdasarkan penilaian LBH Jakarta, secara keseluruhan, UU yang disahkan DPR kental dengan nuansa kepentingan elit politik dan modal, bukan untuk kepentingan rakyat yakni kesejahteraan. Hal ini dapat dilihat dari lingkup UU yang disahkan, di mana tidak ada satupun yang berbicara perihal keadilan dan pemerataan ekonomi demi kesejahteraan rakyat.

 

LBH Jakarta juga memprediksi akan maraknya kembali penggusuran pada tahun 2004. Apalagi, jika kepentingan kaum neo-liberalisme seperti proyek Kali Kanal yang dibiayai pemerintah Jepang dan proyek reklamasi pantai utara (pantura) Jawa kembali berjalan. "Sudah ada pengaduan yang masuk ke kami," ujar Uli.

 

Jomplang

Sedang mengenai perkara yang masuk ke LBH, selama satu tahun ini terjadi penurunan jumlah perkara. Namun begitu, menurut Uli, dari total orang yang dibantu tejadi peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Ini disebabkan karena banyaknya kasus-kasus buruh dan penggusuran yang ditangani LBH Jakarta.

 

Berdasarkan catatan LBH Jakarta, setiap kasus perburuhan yang masuk, paling tidak mewakili ratusan buruh. Sedangkan untuk kasus penggusuran, setiap kasus yang masuk mewakili ratusan kepala rumah tangga. 

 

Sampai dengan November 2003, total klien yang masuk ke LBH Jakarta adalah sekitar 1.026 kasus. Dari jumlah itu, kasus yang terbanyak adalah kasus perburuhan sebanyak 279 kasus, disusul oleh kasus hak sipil dan politik sebanyak 261 kasus. Sedangkan sisanya merupakan kasus khusus, kasus perkotaan dan masyarakat urban dan kasus perempuan dan anak.  

 

Tahun

Divisi Buruh

Divisi Sipol

Divisi PMU

Divisi P&A

Kasus Khusus

Jumlah Kasus

Jumlah orang terbantu

1998

486

257

116

-

654

1.513

20.357

1999

397

301

88

-

266

1.052

21.221

2000

351

232

186

-

237

1.026

20.252

2001

389

289

116

190

292

1.280

-

2002

352

275

182

252

277

1.338

11.478

2003

279

261

79

201

206

1.026

21.409

Sumber : data LBH Jakarta

 

Jumlah kasus yang masuk dibandingkan dengan jumlah pengacara publik di LBH Jakarta, yang berjumlah sembilan orang, terlihat sangat jomplang."Setiap pengacara yang ada di LBH menangani puluhan kasus. Kalau dihitung rata-rata malah bisa ratusan," tutur Uli. Tapi, Uli menandaskan dari setiap kasus yang masuk, yang terpenting adalah pemberdayaan klien.

 

Para pelapor atau klien yang masuk, akan di advokasi agar mereka bisa mandiri melaksanakan prosedur penanganan kasusnya. "Ini bagian dari pembelajaran kami terhadap warga masyarakat, sehingga terjadi transformasi dan masyarakat mengerti hak-haknya. Selain untuk menyiasati kurangnya tenaga pengacara publik," jelas Uli.

 

Selain dibantu oleh para pengacara publik, terdapat enam orang asisten pengacara di LBH. "Kami salut dengan mereka, meski tidak dibayar tetapi mereka tetap komit," tegas Uli.

 

Namun, yang mengkhawatirkan, menurut salah seorang Wakil Ketua LBH Jakarta, Erna Ratnaningsih, dari total sembilan pengacara publik di LBH masih ada tiga orang lagi belum memiliki izin praktek sebagai pengacara. "Ini kendala kami, dan kami khawatir mereka bakal kena ancaman Pasal 31 UU Advokat," ucap Erna yang ikut memaparkan laporan akhir tahun LBH Jakarta.

 

Pasal 31 UU Advokat memberikan ancaman pidana bagi mereka yang menjalankan profesi advokat tanpa memiliki ijin sebagai advokat. Untuk itu, LBH bersama dengan advokat dan pengacara yang selama ini bekerja untuk kepentingan publik membentuk Koalisi Publik dan HAM (KAP-HAM) melakukan aksi penolakan terhadap verifikasi advokat yang dilakukan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).

 

Hal ini dikemukakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam laporan akhir tahunnya. "Sepanjang tahun 2003, produk hukum kita telah mengakomodir kepentingan kaum neo-liberalisme. Sehingga tidak ada keberpihakan terhadap golongan masyarakat lemah," papar Ketua LBH Jakarta, Uli Parulian Sihombing (22/12).

 

Contoh begitu besarnya pengaruh neo-liberalisme dalam peraturan perundang-undangan, adalah lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Uli, dalam UU Ketenagakerjaan terlihat sekali pengaruh neo-liberalisme. Akibatnya, buruh mudah sekali di pecat.

 

Pemerintah sendiri, lanjut Uli, tidak berdaya menghadapi tekanan kaum liberalisme. "Meski pemerintah menyatakan keluar dari International Monetary Fund (IMF), tetapi pengaruhnya tetap kuat," tegas Uli, yang menjabat ketua LBH Jakarta per Agustus 2003.

Tags: