Pertimbangan Hukum MK Soal Pasal 50 Dianggap 'Banci'
Utama

Pertimbangan Hukum MK Soal Pasal 50 Dianggap 'Banci'

Mahkamah Konstitusi mestinya langsung menyatakan Pasal 50 tidak berlaku. Tidak perlu berkelit bahwa hakim tidak boleh menolak untuk menangani perkara.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pertimbangan Hukum MK Soal Pasal 50 Dianggap 'Banci'
Hukumonline

 

Hal itulah yang dianggap Benny banci. MK hanya berusaha mencari-cari dasar, padahal UUD '45 sudah tegas memberi hak. "Dengan dasar itu, MK sama saja mendegradasi lagi padahal pertimbangan hukumnya sudah bagus," ujarnya, usai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi terbatas di Jakarta, Jum'at (15/01) kemarin.  

 

Tetap appreciate

Meskipun menilai banci pertimbangan hukum MK soal pasal 50, toh Benny tetap menaruh hormat. "Saya tetap appreciate. Itu putusan bersejarah," katanya kepada hukumonline.

 

Betapa tidak, langkah MK menabrak batasan pasal 50 merupakan terobosan hukum yang sangat berani. Itu sama dengan yang pernah dilakukan hakim John Marshall, yang kemudian menjadi bersejarah dalam konstitusi Amerika Serikat.

 

Pasal 50 Undang-Undang No. 24/2003 tentang MK menyebut bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan adalah undang-undang yang diundangkan sejak 19 Oktober 1999. Dalam kasus ini, yang dimohonkan judicial review adalah UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung.

 

Dengan putusan tersebut, di mata Benny, MK secara tidak langsung sudah menyatakan bahwa Pasal 50 adalah pasal mati. Tidak perlu ada pernyataan lagi yang menyebutkan bahwa pasal itu tidak berlaku. Sebab, dengan sendirinya sudah dibatalkan oleh MK.

 

A. Ahsin Thohari, Kepala Divisi Advokasi Judicial Watch Indonesia (JWI), juga menganggap Pasal 50 sebagai belenggu bagi MK, sehingga seharusnya dikesampingkan. Sebab, dalam Konstitusi sendiri tidak ada batasan judicial review terhadap undang-undang yang bisa dilakukan MK

 

Namun, terbosan inilah yang kemudian menimbulkan 'kecaman' dari Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra, selaku kuasa hukum Pemerintah. Menurut dia, seharusnya MK terlebih dahulu menjudicial review pasal 50 sebelum menabraknya.

Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Demokrasi Benny K. Harman menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyangkut pasal 50 Undang-Undang MK sebagai putusan yang 'banci', tidak konsisten dan tanpa rujukan hukum yang pas. Sebab, dengan berpayung pada Pasal 24 c ayat (1) UUD '45 saja, MK sudah punya hak dan kewenangan untuk menguji seluruh perundang-undangan.

 

Sayangnya, menurut Benny, MK malah mencampuradukkan pertimbangan hukumnya dengan asas "hakim dilarang menolak perkara". Asas yang mengacu pada Undang-undang (UU) No. 14/1970 tersebut di mata Benny hanya berlaku kepada hakim biasa (pengadilan), bukan hakim konstitusi. MK bukanlah mahkamah keadilan, sehingga yang digali bukan rasa keadilan sebagaimana dimiliki oleh hakim biasa.

 

Dalam putusan atas perkara No. 004, MK antara lain memang mendasarkan putusannya atas Pasal 14 ayat (1) UU No. 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. "Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa atau mengadili".

Halaman Selanjutnya:
Tags: