Rekrutmen Hakim Karir Pengadilan Korupsi Dinilai Melanggar Undang-Undang
Utama

Rekrutmen Hakim Karir Pengadilan Korupsi Dinilai Melanggar Undang-Undang

Undang-Undang mensyaratkan seleksi hakim Pengadilan Korupsi, baik hakim karir maupun ad hoc, dilakukan secara transparan dan partisipatif. Panitia Seleksi hakim ad hoc telah dibentuk, bagaimana dengan rekrutmen hakim karir?

Oleh:
Nay/Tri
Bacaan 2 Menit
Rekrutmen Hakim Karir Pengadilan Korupsi Dinilai Melanggar Undang-Undang
Hukumonline

Dalam penjelasan ayat itu dinyatakan bahwa pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan diusulkan pada presiden dilakukan secara transparan dan partisipatif. Pengumuman dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapatkan masukan  dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim pengadilan tindak pidana korupsi.

Beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan telah membentuk panitia seleksi hakim ad hoc Pengadilan Korupsi tingkat pertama, banding dan kasasi.   Dalam SK pembentukan Panitia Seleksi hakim ad hoc, disebutkan bahwa Panitia Seleksi bertugas mengumumkan penerimaan dan melakukan pendaftaran calon hakim ad hoc, mengumumkan kepada masyarakat nama-nama calon hakim ad hoc untuk mendapatkan tanggapan, menyeleksi dan menentukan nama calon hakim ad hoc dan menyampaikan nama-nama calon hakim ad hoc pada Ketua MA, untuk diteruskan pada Presiden.

Sudah direkrut

Pentingnya rekrutmen hakim korupsi secara terbuka juga ditegaskan dalam Cetak Biru dan Rencana Aksi Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang disusun oleh MA dan Bappenas.

Dalam cetak biru itu, direkomendasikan agar dibuat aturan sehingga rekrutmen hakim tipikor dilakukan melalui beberapa kegiatan dengan menggunakan tolak ukur tertentu untuk menghasilkan penilaian yang lebih obyektif dalam rangka mengukur pemenuhan kriteria-kriteria calon hakim sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

Tetapi kehendak undang-undang itu tampaknya tidak terlaksana. Tanpa banyak diketahui publik, ternyata MA sudah menetapkan 10 orang calon hakim karir yang akan bertugas di pengadilan korupsi kelak. Menurut Ketua MA Bagir Manan, mereka adalah hakim yang telah mengikuti seleksi dan pelatihan. Bagir menambahkan bahwa tidak lagi diperlukan seleksi terhadap kesepuluh orang ini, karena merekalah yang nantinya menjadi hakim karir pengadilan korupsi.

Buat apa diseleksi lagi, kalau tim penyeleksinya kita-kita juga, tutur Bagir. Pengangkatan terhadap hakim karir ini lanjut Bagir, dilakukan kalau memang ada perkara korupsi yang masuk. Artinya, dari sepuluh hakim ini  tetap akan berada di pengadilan tempat mereka sekarang bekerja, dan baru akan ke Jakarta kalau ada perkara korupsi yang masuk. Lebih jauh, Bagir menjelaskan bahwa kesepuluh orang hakim ini merupakan hakim-hakim muda.

Senada dengan Bagir, Ketua Muda  MA bidang Tata Usaha Negara, Paulus Effendi Lotulung, menegaskan bahwa MA telah mengadakan pelatihan tiga bulan lalu terhadap para calon hakim korupsi. Bahkan, kesepuluh hakim yang telah dipilh MA sudah mengikuti studi banding ke Hongkong selama satu minggu untuk mengetahui bagaimana proses pengadilan korupsi di sana.

Menanggapi mekanisme rekrutmen tertutup yang dilakukan MA, Direktur Eksekutif  LeIP Rifqi Syarief Assegaf menilai apa yang dilakukan MA tidak sesuai undang-undang. Berdasarkan ketentuan yang disebut di atas, mekanismenya harus dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Menurut Rifqi, kalau MA ngotot terhadap kesepuluh orang hakim karir ini, bukan mustahil menimbulkan persoalan. Sebab, akan dipertanyakan keberadaan mereka. Akibatnya, persidangan korupsi bisa tertunda-tunda.

Seharusnya, demikian Rifqi, treatment seleksi terhadap hakim korupsi, baik yang berasal dari non karir maupun karir, adalah sama. Rifqi juga mengatakan bahwa kesepuluh hakim kebanyakan berasal dari daerah (luar Jakarta). Pada prinsipnya, ia setuju dengan sistem detarsering (pemidahan sementara,red) itu, tetapi nantinya diduga kasus korupsi akan banyak. Kalau  para hakim daerah itu terus menerus di Jakarta akan bermasalah. Bagaimana dengan tugas mereka di daerah?

Undang-undang No 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan rekrutmen hakim Pengadilan Korupsi, baik karir dan non karir, dilakukan secara transparan dan partisipatif. 

Pasal 56 ayat (4) UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa dalam menetapkan (untuk hakim karir) dan mengusulkan (untuk hakim ad hoc) calon hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi, ketua Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman pada masyarakat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: