Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia
Prof. Bagir Manan (*)

Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia

Analisis mengenai hubungan dan peranan hukum dengan tuntutan pembaharuan dan pembangunan (politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain) bukanlah suatu yang baru.

Bacaan 2 Menit
Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia
Hukumonline
Karl Marx adalah satu diantara pemikir-pemikir yang secara sistematik mengaitkan hukum dengan struktur kekuasaan dan tuntutan pembaharuan (politik, ekonomi, sosial dan lain-lain). Menggunakan pendekatan kesejarahan dari sudut pandang ekonomi (historis materialisme), Marx menempatkan hukum tidak lebih dari sebuah instrumen untuk melindungi dan menjamin kepentingan kelas yang berkuasa (kapitalis) di satu pihak, dan memeras serta menindas kelas pekerja (proletar) di pihak lain.
 
Terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan dasar dan pendekatan tersebut, termasuk utopia mengenai masyarakat komunis sebagai masyarakat tanpa kelas, dimana setiap orang akan menjalankan hak-hak dan kewajiban tanpa harus diatur oleh suatu hukum yang dibuat oleh yang berkuasa, kenyataan historis membenarkan analisis Marx bahwa dalam sistim politik, sosial atau ekonomi tertentu memang didapati berbagai aturan hukum yang diciptakan untuk kepentingan kekuasaan dan merugikan kepentingan rakyat banyak.
 
Hukum-hukum dalam sistim kediktatoran dapat menjadi contoh mengenai kebenaran analisis Marx. Demikian pula sejarah nasional Indonesia. Betapa banyak hukum-hukum yang diciptakan demi kepentingan kaum kolonial dan merugikan rakyat Indonesia. Aturan-aturan hukum mengenai penggolongan penduduk beserta produk lanjutannya, begitu pula akibat pengaturan mengenai hukum agraria (tanah), perbedaan perlakuan dalam pemerintahan dan lain-lain merupakan contoh-contoh nyata hukum yang dibuat untuk kepentingan penguasa dan merugikan kepentingan rakyat banyak.
 
Walaupun mengandung kebenaran, pandangan Marx mengenai hukum, selain berlebihan, juga tidak sesuai dengan pengalaman negara-negara yang menjalankan ajaran Marx yang lebih dikenal sebagai negara-negara komunis.
 
Pertama, dalam analis akhir Marx mengakui bahwa akan tetap ada semacam aturan sosial yang mengatur hubungan dalam masyarakat. Dengan demikian akan tetap ada hukum, walaupun bukan lagi hukum yang terutama mengatur kekuasaan dan mereka yang dikuasai. Marx tidak mau secara terbuka menempatkan aturan-aturan sosial ini sebagai semacam hukum alam menurut ajaran John Locke, karena akan bertentangan dengan dasar historis materalisme. Marx yang berangkat dari premis serba materi tidak mungkin menerima dasar-dasar Locke yang bersifat spekulatif.
 
Kedua, dalam kenyataan, hukum sebagai fenomena sosial (ubi sociatas ibi ius : Cicero), terbentuk dan merupakan aturan-aturan untuk memenuhi berbagai kepentingan individu dan atau masyarakat tanpa terkait dengan kepentingan kekuasaan. Kepentingan individu atau sosial tersebut meliputi hal-hal seperti kepastian dalam bertransaksi (hubungan hukum), ketertiban masyarakat, ketertiban dalam hubungan kekeluargaan dan lain-lain. Hal-hal ini merupakan kepentingan individu atau masyarakat yang tidak terkait dengan kepentingan kekuasaan. Bahkan kalau tidak ada hukum sebagai aturan sosial tersebut, justru akan menyulitkan para penguasa sendiri, karena akan terjadi kekacauan hubungan antar individu atau sosial yang oleh Thomas Hobbes digambarkan sebagai "homo homini lupus bellum, omnion centra omnes".
 
Kalaupun yang terakhir ini tetap terselip kepentingan yang berkuasa, tetapi hal itu tidak bertujuan memeras atau menindas, melainkan hukum sebagai instrumen yang memberi dasar pada kekuasaan, untuk menjalankan fungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban. Paling tidak, kehadiran hukum dapat dipandang sebagai pranata yang saling menguntungkan antara masyarakat dan penguasa.
 
Ketiga, dalam kenyataan, perkembangan hukum tidak berjalan linear mengikuti alur historis materialistik Marx. Di negara-negara komunis yang didasarkan pada ajaran Marx, ternyata kehadiran dan peran hukum tidak pernah menyusut. Pembenaran atau dalih bahwa belum tersusun pemerintahan dan masyarakat komunis yang sesungguhnya, melainkan masih dalam masa transisi, sehingga negara dan pemerintahan masih dijalankan dalam tatanan kediktatoran proletariat yang disertai bungkus-bungkus seperti "legal socialism", tidak dapat meniadakan kenyataan bahwa hukum tetap sebagai sesuatu yang diperlukan.
 
Mengenai apakah hukum itu hanya untuk kepentingan yang berkuasa, menindas atau tidak menindas, tergantung pada dasar pandang yang digunakan. Tetap bertahannya, bahkan berkembangnya hukum di negara-negara komunis, bukan saja karena kebutuhan internal tetapi sebagai konsekuensi sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa (dunia). Untuk menjadi bagian dari sistim pergaulan dunia negara-negara komunis harus tunduk, mengadopsi dan mengadaptasi berbagai hukum baik internasional maupun yang timbul dari hubungan bilateral atau multilateral.
 
Keempat, ajaran-ajaran hukum baru --seperti sociological jurisprudence dan lain--lain-- selain memusatkan perhatian pada masyarakat sebagai dasar menemukan hakikat dan pembenaran suatu aturan hukum, juga memusatkan perhatian pada peranan hukum sebagai instrumen pembaharuan dan instrumen kesejahteraan umum.
 
Ajaran mengenai keterkaitan hukum dengan masyarakat --termasuk peran hukum untuk perubahan sosial-- sudah lama dikenal dan dipelajari ahli hukum Indonesia. Tetapi baru pada tahun tujuhpuluhan ajaran-ajaran itu dibahas secara lebih terbuka dan dikaitkan dengan kebijakan pembaharuan (pembangunan) hukum, bahkan pembangunan nasional, seperti kemudian dimuat dalam GBHN, Repelita, dan Program Tahunan (APBN).
 
Selain dibahas dalam berbagai diskusi (ilmiah atau biasa), orientasi baru mengenai hubungan hukum dengan masyarakat dan pembangunan, juga menjadi tema-tema tulisan di bidang hukum dan penambahan pokok bahasan pada sekolah-sekolah hukum. Mata kuliah baru seperti "Sosiologi Hukum", atau materi muatan baru dalam acara perkuliahan Filsafat Hukum, menunjukkan "respon" ahli hukum dan dunia pendidikan hukum terhadap tuntutan baru pendekatan dan pendidikan hukum.
 
Dalam pembaharuan kurikulum, dirumuskan tujuan pendidikan yang baru, antara lain menyiapkan sarjana hukum yang siap pakai. Sesuai dengan tujuan tersebut, penyesuaian isi mata kuliah yang sudah ada supaya lebih bermakna siap pakai. Selain itu, diadakan pula berbagai pendidikan keterampilan (legal drafting, contract drafting), dan berbagai pecahan atas mata kuliah yang sudah ada agar lebih spesifik. Tetapi berbagai pembaharuan itu tidak mengurangi keluhan mengenai produk pendidikan hukum. Keluhan lama seperti "tidak siap pakai" tetap bergema.
 
Bahkan, dengan pendekatan pragmatik timbul keluhan baru antara lain para lulusan tidak mempunyai dasar legal reasoning yang memadai, rendahnya penguasaan teoritik sebagai dasar berpikir rasional dan sistimatik. Akibatnya, tidak diseleksi mengenai siapa yang sesungguhnya memerlukan jenjang struktural tersebut, sehingga lebih banyak tampil sebagai pajangan dari pada subtansinya.
 
Dalam berbagai situasi terjadi penyalahgunaan, baik dari penyelenggara pendidikan maupun para peminat. Dari penyelenggara pendidikan, jenjang struktural ini lebih dilihat sebagai sumber pendapatan baru. Dari para peminat, kesempatan ini bukan untuk menghasilkan mutu tetapi sekedar mengumpulkan berbagai gelar baru. Bahkan, pendidikan lanjutan profesi seperti notariat diubah menjadi pendidikan gelar lanjutan. Selain untuk memperluas peminat juga dirasa lebih bermakna dengan situasi pendidikan gelar daripada pendidikan profesi.
 
Dari kenyataan-kenyataan di atas, sangat diperlukan pengkajian ulang yang menyeluruh mengenai pendidikan hukum kita baik konsepsi, pendekatan, maupun berbagai faktor penunjang yang diperlukan agar keluaran pendidikan hukum (sarjana dan hasil-hasil kerja ilmiah) dapat memberi kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan peran dalam pembangunan dan penegakkan hukum.
 
Pendidikan hukum sebagai subsistim hukum
Meletakkan dan menyadari dengan sungguh-sungguh pendidikan hukum sebagai subsistim dari sistim hukum sangat penting dan mendasar. Pendekatan ini akan memungkinkan pendidikan hukum tersusun secara terpadu dan fungsional, baik secara teoritis maupun praktis dengan semua komponen sistim hukum (aturan hukum, penyelenggara hukum, profesi hukum, pendidikan hukum, pembentuk hukum, dan pendidikan hukum).
 
Selama ini, pendidikan hukum ditempatkan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Hal ini mengakibatkan pendidikan hukum beserta hasil-hasilnya kurang fungsional dalam mengembangkan dan mengisi secara tepat komponen subsistim hukum yang lain. Walaupun --seperti dikemukakan terdahulu-- ada berbagai pendekatan baru dan percobaan menyusun struktur dan isi pendidikan yang baru, tetapi tetap belum berhasil meniadakan semacam keterpisahan dengan sub-sub sistim hukum lainnya.
 
Hal di atas terjadi dan bersumber antara lain pada pemakaian arti sistim hukum itu sendiri. Struktur dan isi pendidikan hukum dari dahulu sampai sekarang sangat ditekankan pada sistimatik dan isi kaedah hukum. Sadar atau tidak sadar, keadaan tersebut menumbuhkan pola pikir bahwa sistim hukum tidak lain dari kumpulan tatanan aturan hukum tertulis dan tidak tertulis.
 
Sebagai bukti dapat dilihat dan dibaca pada semua buku atau tulisan mengenai tata hukum Indonesia (Utrecht, Kusumadi, Sudiman dan berbagai buku yang baru), yang hanya membahas atau menguraikan komponen-komponen hukum berdasarkan pembagian disiplin atau cabang ilmu hukum yang ketat bahkan tertutup satu sama lain. Cabang ilmu hukum itu pun terkesan diletakkan begitu saja tanpa suatu pertanggungjawaban pendekatan yang menunjukkan bahwa berbagai komponen itu merupakan satu sistim hukum.
 
Karena itu tidak mengherankan, kalau sekali-sekali terlontar ucapan bahwa Indonesia belum memiliki sistim hukum. Suatu, yang baik secara ilmiah maupun kenyataan, tidak mungkin dibenarkan. Dalam ungkapan Cicero yang telah dicatat terdahulu, harus diartikan selain ada hukum, mesti ada sistim hukum. Tidak ada masyarakat tanpa sistim hukum. Walaupun dalam buku-buku dan pengajaran ada kajian mengenai aspek-aspek kelembagaan, hal itu dilakukan sebagai suatu disiplin tata hukum yang tidak terkait dengan fungsinya dalam sistim hukum secara keseluruhan.
 
Pembahasan hukum acara terpisah atau terlepas dari pengadilan, kejaksaan, atau kepolisian karena yang terakhir ini masuk dalam disiplin lain. Masalah pengadilan masuk dalam lingkup hukum tata negara. Bahkan, kejaksaan dan kepolisian tidak jelas tempatnya. Akibatnya, mahasiswa hukum bahkan para lulusan hukumnya tidak memahami dengan baik mengenai kejaksaan dan kepolisian dalam tatanan peradilan, kecuali mereka yang bekerja di lapangan tersebut. Pemahaman yang sempit terhadap sistim hukum tidak terlepas dari riwayat dan tujuan pendidikan di masa lalu yang hanya bertujuan mendidik tenaga-tenaga untuk mengetahui dan mendalami aturan-aturan hukum yang ada serta mampu menerapkan untuk suatu peristiwa konkrit sesuai lingkungan kerjanya.
 
Sejak tahun tujuh puluhan, secara konseptual telah dimasyarakatkan pendekatan dan lingkup yang lebih luas mengenai sistim hukum. Hukum, (lebih tepat sistim hukum), tidak sekedar kumpulan norma atau kaidah hukum melainkan mencakup juga proses dan kelembagaan (Mochtar Koesoemaatmadja). Proses itu sendiri tidak terbatas pada penerapan hukum tetapi pembuatan hukum. Kelembagaan mencakup badan-badan pembuat hukum dan pelaksana hukum. Dan semestinya dalam kelembagaan termasuk pendidikan hukum.
 
Melalui pendidikan hukum tidak hanya dihasilkan ahli-ahli hukum yang mengetahui seluk beluk aturan hukum, penerapan hukum dan akan mengisi kelembagaan di bidang hukum, tetapi ikut "menciptakan" dan "mengembangkan" hukum melalui ajaran hukum (legal doctrine) dan analisis hukum. Dalam kenyataan tidak demikian. Hal ini terlihat pada kebijakan pembangunan hukum di masa Orde Baru. Pembangunan atau pembaharuan pendidikan hukum ditempatkan sebagai komponen pembangunan, atau pembaharuan hukum melainkan sebagai komponen pembangunan pendidikan. Pembangunan pendidikan hukum terlepas dan tidak merupakan bagian integral pembangunan atau pembaharuan hukum.
 
Semestinya, untuk menjamin pembangunan atau pembaharuan hukum sebagai suatu sistim, pendidikan hukum harus ditempatkan sebagai satu kesatuan dengan pembangunan hukum. Demikian pula pengajaran hukum harus dilihat dan diletakkan dalam perspektif sistim hukum, bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Dengan cara pandang yang demikian, diharapkan hasil pendidikan hukum akan serta merta sesuai dan memenuhi kebutuhan sub-sub sistim hukum lainnya.
 
Struktur dan isi pendidikan hukum dalam perspektif sistim hukum.
 
Meskipun --seperti dikemukakan di atas-- sejak tahun tujuh puluhan, bahkan tahun enam puluhan telah ada berbagai upaya pembaharuan struktur dan isi pendidikan hukum, tetapi hal itu belum menceminkan keterkaitannya dengan sistim hukum. Cabang-cabang atau disiplin iimu hukum yang diajarkan tidak menjamin keluaran (sarjana hukum) yang berpikir dalam satu kebulatan hukum sebagai sebuah sistim.
 
Dengan struktur dan isi kurikulum yang terkotak-kotak --seperti sistim penjurusan atau program studi yang ketat-- menyebabkan mahasiswa dan lulusan hanya berpikir dalam kotak-kotak tersebut. Tidak jarang, mahasiswa atau sarjana hukum begitu bangga kalau berada dalam lingkungan program studi tertentu seperti progran studi hukum-internasional atau hukum bisnis dan tidak ada perasaan kurang karena tidak menguasai bidang hukum lain seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi atau hukum tata negara. Meskipun cabang-cabang atau disiplin iimu hukum yang disebut terakhir merupakan hal yang wajib, tetapi tetap menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang kurang penting dibandingkan dengan program studi utamanya.
 
Betapapun mendalamnya studi-studi dalam kotak-kotak tersebut, akan tetapi menyebabkan para lulusan tetap tidak siap pakai karena hukum sebagai suatu yang nyata (law in action) bersifat lintas disiplin, tidak berkotak-kotak. Selama hal tersebut tidak dibenahi secara komprehensif dengan meletakkan sistim hukum sebagai dasar pendekatan pendidikan hukum dan menempatkan hukum sebagai komponen sistim hukum, selama itu pula akan selalu ada keluhan mengenai kemampuan serjana hukum untuk secara berrnutu turut serta dalam pembangunan termasuk dalam penegakan hukum yang berkualitas.
 
Untuk menambal kekurangan tersebut berkembanglah upaya tambahan, baik secara institusional seperti pendidikan lanjutan, latihan prajabatan, atau usaha-usaha tidak resmi lainnya. Karena itu betapa penting meniadakan kotak-kotak program studi, dan membangun isi kurikulum yang mencerminkan kebulatan pendidikan hukum sebagai pendidikan sistim hukum, bukan pendidikan kaidah hukum belaka. Pendidikan hukum harus mengendepankan latihan untuk siap berpikir bukan sekedar siap pakai.
 
Dalam kerangka kurikulum yang ada, kebulatan itu diharapkan dicapai melalui filsafat hukum dan atau teori hukum. Tetapi dalam kenyataan tidak demikian. Penyebabnya, isi pengajaran filsafat hukum dan atau teori hukum pada umumnya didekati dari perspektif sejarah perkembangan pemikiran atau suatu teori hukum yang dimulai dengan teori yang paling awal, seperti teori hukum alam dan seterusnya.
 
Perlu dipikirkan suatu pendekatan lintas sejarah pemikiran yang bersifat tematis. Seperti tema masyarakat dan hukum, yang meliputi sub tema hukum dan kesadaran hukum, hukum dan pembanguinan, hukum dalam perspektif perubahan sosial dan lain-lain. Tema lain seperti tujuan hukum dan fungsi hukum yang mencakup bahasan hukum sebagai tujuan, hukum sebagai instrumen dan lain-lain. Selain lebih kongkrit, pendekatan teoritis ini akan melatih mahasiswa berpikir lintas teori atau pemikiran yang terkotak-kotak untuk menuju cara berpikir yang komprehensif dan integral.
 
Dalam pendidikan integral ini dapat pula ditunjang dengan mengembangkan sistim hukum sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri termasuk kajian mengenai pendidikan hukum. Latihan berpikir komprehensif rasional tidak identik dengan menyajikan sebanyak-banyaknya aneka ragam disiplin ilmu. Sebaran mata kuliah yang terlalu banyak dengan sistim pendidikan dalam semester yang singkat tanpa ditunjang oleh sistim penyajian dan fasilitas yang memadai, menjadi salah satu faktor lemahnya sarjana hukum untuk menjalankan peran yang diharapkan, baik dalam memenuhi tuntutan pembangunan maupun penegakkan hukum.
 
Kelemahan makin bertambah karena pengajaran etika hukum dalam profesi hukum tidak atau belum menjadi komponen utama pendidikan hukum.
 
Penutup
Tentu timbul pertanyaan karena uraian di atas tidak secara kongkrit menyentuh peranan pendidikan hukum dalam pembangunan dan penegakkan hukum. Tema semacam ini telah acap kali menjadi wacana. Dalam sistim sosial yang demokratik yang ditopang oleh prinsip supremasi hukum, tidak ada yang meragukan pendidikan hukum adalah sumber pembangunan dan penegakkan hukum, baik dalam mewujudkan sumber daya manusia ahli hukum maupun berbagai pemikiran hukum yang dapat diandalkan dalam pembentukan hukum, penyempurnaan hukum, dan penyelenggaraan hukum.
 
Tetapi, untuk mencapai peran tersebut perlu peninjauan keadaan internal pendidikan hukum yang memungkinkan atau tidak memungkinkan pelaksanaan peran tersebut. Inilah tujuan uraian di atas yaitu sekedar meminta perhatian mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan hukum yang akan menghambat atau tidak memungkinkan pendidikan hukum dapat menjalankan peran yang diharapkan atau yang semestinya itu.
 
Tags: