Mahkamah Konstitusi Nyatakan Pasal 60 g UU Pemilu Cacat Hukum
Utama

Mahkamah Konstitusi Nyatakan Pasal 60 g UU Pemilu Cacat Hukum

Anggota PKI dan organisasi massa yang bernaung di bawahnya kini bisa bernafas lega. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa larangan untuk menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD bagi mereka tidak mempunyai landasan yuridis yang cukup.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Konstitusi Nyatakan Pasal 60 g UU Pemilu Cacat Hukum
Hukumonline

Namun, delapan hakim MK lainnya menilai pembatasan yang diakomodir pasal 28J ayat (2) UUD'45 harus didasarkan alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Penerapan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Pemilu dinilai MK lebih didasarkan pada pertimbangan politis. Dalam pembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif) dalam pemilu lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia, keadaan sakit jiwa, dan  ketidakmungkinan karena telah dicabut hak pilihnya.

Putusan tersebut tentu saja disambut antusiasme para pemohon. Saya senang, meskipun perjuangan belum berakhir, ujar Margondo Hardono, salah seorang pemohon, usai persidangan. Sementara itu Sumaun Utomo, Ketua Umum Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru berharap, putusan MK ini membuka jalan bagi dipulihkannya hak kewarganegaran bagi korban orde baru.

Ia berharap seluruh undang-undang, peraturan, dan stigma terhadap seluruh korban orde baru yang jumlahnya diperkirakan mencapai 20 juta orang, dicabut oleh pemerintah.

Putusan pengadilan

Dalam pertimbangan hukumnya MK berpendapat bahwa pelarangan terhadap kelompok tertentu warga negara untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD mengandung nuansa hukuman politik. Sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan yang tetap, papar MK dalam putusannya.

Mengutip ajaran pidana, MK menyatakan bahwa suatu tanggung jawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige). Maka, adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, keadilan, kepastian hukum serta prinsip negara hukum apabila tanggung jawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat langsung.

Dalam konteks itu, tidak semua kualitas pemohon dikabulkan oleh MK. Para pemohon yang tidak punya keterkaitan sebab akibat dan hak konstitusionalnya dilanggar, dianggap tidak mempunyai legal standing.

TAP MPRS XXV/1966

Majelis juga menyinggung landasan hukum yang dipakai termohon yaitu TAP No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh wilayah RI, yang diperkuat TAP No. I/MPR/2003. Kedua TAP itulah yang menjadi rujukan pasal 60 huruf g.

Berdasarkan keterangan saksi ahli Frans Magnis Soeseno, MK menegaskan bahwa TAP tersebut adalah berkaitan dengan pembubaran PKI dan larangan menyebarluaskan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme yang sama sekali tidak berkaitan dengan pencabutan atau pembatasan hak pilih (aktif – pasif) warga negara, termasuk bekas anggota PKI.

Bekas anggota PKI dan organisasi massa yang bernaung di bawahnya, harus diperlakukan sama dengan warga negara lain tanpa diskriminasi, papar MK. 

Putusan tersebut dibacakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang yang berlangsung Selasa (24/02) sore. Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie berlangsung mulai pukul 16.00 dan berakhir sekitar pukul 18.00 WIB.

Putusan tersebut merupakan jawaban MK terhadap permohonan judicial review yang diajukan oleh sejumlah tokoh terhadap pasal 60 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan pertama diajukan Prof. Deliar Noer dkk, dan permohonan kedua diajukan oleh Sumaun Utomo dkk.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pasal 60 huruf g yang melarang anggota PKI dan ormasnya untuk menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD bertentangan dengan UUD'45. Oleh karena itu, menurut MK, pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dari sembilan hakim MK yang mengambil keputusan, hanya satu orang yang menentang keputusan tadi, yaitu hakim Achmad Rustandi. Ia berpendapat bahwa larangan bagi anggota PKI dan ormasnya untuk jadi anggota Dewan sudah sesuai dengan amanat UUD'45. Pembatasan semacam itu menurut dia mempunyai alas konstitusional yaitu pasal 28 J ayat (2).

Halaman Selanjutnya:
Tags: