Kebencian Masal
Tajuk

Kebencian Masal

Bangsa Indonesia tidak pernah belajar berdemokrasi dengan baik. Sepintas pada kehidupan demokrasi Indonesia tahun 50-an, tercatat bahwa kita pernah belajar berdemokrasi dengan kematangan berfikir. Apa yang membedakan kapan kita belajar atau tidak belajar demokrasi dengan baik? Kita belajar berdemokrasi dengan baik bilamana pendapat yang sifatnya ideologis tidak digugat. Kita belajar berdemokrasi dengan matang bilamana kita melakukan debat publik tanpa menyerang pribadi dan melibatkan SARA (Suku Agama Ras Antargolongan). Kita belajar demokrasi secara salah dan dengan jelek kalau kita menghujat pendapat, kalau kita menumbuhkan kebencian masal dengan luas pada lawan politik kita.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Kebencian Masal
Hukumonline

Kita pernah menumbuhkan kebencian masal secara teroganisir terhadap partai-partai Islam dan kelompok-kelompok Islam setelah sejumlah partai dan sekelompok orang Islam lainnya dianggap sebagai bagian dari pemberontakan untuk mendirikan negara Islam. Kita pernah membenci secara luas saudara-saudara kita di beberapa daerah karena gerakan membela kepentingan (otonomi) daerah mereka dianggap mau memisahkan diri dari negara RI.

Kita pernah, dan sekarang pun masih, secara sistematis dan masal membenci orang-orang komunis, orang-orang kiri dan simpatisannya, bahkan anak-anak dan cucu-cucu mereka, karena mereka telah dicap pembunuh, pengkhianat negara dan anti agama. Tokoh-tokoh pemikir Islam, nasionalis, sosialis, dan bahkan grup musik Koes Ploes pun masuk penjara karena berpendapat lain atau hanya karena bersenandung lain dari selera penguasa. Pemerintahan Soeharto tanpa  pandang bulu menyikat semua saja yang dianggap lawan-lawan yang mengancam kekuasaannya, dari segolongan Islam, nasionalis, intelektual, bahkan teman-temannya sesama jenderal .

Sekarang, sengaja atau tidak, sistematis atau tidak, kita terancam untuk melakukan penyebaran kebencian masal yang baru. Kita dibentuk oleh opini publik untuk sangat tidak suka dengan gejolak rakyat Aceh dan Irian Jaya. Padahal sebagian besar dari mereka mungkin hanya ingin bebas dari belenggu penindasan yang menjerat mereka sejak Indonesia merdeka, dan ingin menikmati penerimaan lebih baik dari bumi mereka sendiri. Kita juga digiring untuk membenci Soeharto dan kroninya. Kita juga seakan diminta untuk percaya bahwa semua konglomerat, terutama yang keturunan Cina, itu jahat dan karenanya semuanya harus masuk penjara. 

Kalau saja kita belajar berdemokrasi dengan baik, rasanya kebencian-kebencian masal terhadap sebagian dari bangsa kita sendiri tidak perlu terjadi. Apalagi terhadap putera-putera pemikir yang meletakkan dasar-dasar pendirian Negara RI dan kelanjutannya. Berpikir dan berpendapat lain bukanlah dosa, dan bukan pula tindak pidana, sehingga karenanya tidak perlu dihukum, baik oleh sistem hukum maupun oleh masyarakat. Memaksakan pikiran dan pendapat sendiri kepada orang lain dengan cara-cara yang melanggar hukum barulah dapat dikatakan kriminal.

Korupsi adalah tindakan kriminal yang menyengsarakan rakyat. Jadi Soeharto dan kroninya tidak perlu dibenci. Akan tetapi, tindakan-tindakannya yang diduga keras merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan koruptif harus diadili dan bila terbukti merupakan tindakan kriminal harus dihukum. Proses peradilan terhadap kejahatan kemanusiaan dan kasus-kasus korupsi bukanlah pengadilan politik, dan tidak harus jadi pengadilan politik. Karenanya, tidak perlu ada tekanan politik atau dukungan politik untuk menyalahkan atau mendukung mereka. Biarkan hukum berjalan, dan biarkan pelaku kriminal yang terbukti bersalah menerima ganjarannya.  

Kalau saja masih ada yang mau mengingat sumbangsih Soekarno terhadap bangsa ini, ada suatu pemikirannya yang perlu buat kita untuk saling mengingatkan, yaitu perlunya kita membangun karakter bangsa (national character building). Kita perlu membangun suatu bangsa yang mempunyai karakter untuk mau dan mampu melakukan kehidupan politik yang demokratis, matang, dan penuh dengan kesiapan untuk selalu menerima perbedaan-perbedaan. Betapapun itu mungkin menyakitkan, karena itulah hakekat utama demokrasi.

 

Tags: