Soal Calon Hakim Agung, DPR Beda Penafsiran dengan MA
Berita

Soal Calon Hakim Agung, DPR Beda Penafsiran dengan MA

Jakarta, Hukumonline. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki penafsiran apa adanya terhadap Pasal 7 Ayat 1 UU No.14/1985. Penafsiran DPR ini berbeda dengan Mahkamah Agung (MA) yang melihat syarat dalam pasal tersebut bersifat fleksibel yang dapat dikesampingkan.

Oleh:
Inay/Apr
Bacaan 2 Menit
Soal Calon Hakim Agung, DPR Beda Penafsiran  dengan MA
Hukumonline
Amin Aryoso, Ketua Komisi II DPR menyatakan bahwa DPR berpegang teguh pada Pasal 7 Ayat 1 UU No.14/1985 mengenai hakim karier. Pasal 7 Ayat 1 itu mensyaratkan hakim karier sekurang-kurangnya sepuluh tahun. DPR mempunyai penafsiran apa adanya. MA mempunyai penafsiran itu, saya kira juga harus dihargai. Jadi jangan dipertentangkan, kata Amin.

Amin menyayangkan MA baru menulis surat setelah proses seleksi administrasi selesai. Kalau intepretasi itu diberikan sebelumnya, barangkali kita bisa mendiskusikannya, katanya. Ia berpendapat jika ada intepretasi Pasal 7 Ayat 1 dapat dilonggarkan, seharusnya bisa mempermasalahkan syarat dalam pasal yang lain supaya longgar.

Menurut Amin, DPR bisa bertukar pikiran dengan MA mengenai penafsiran yang benar. Ia mempertanyakan, mengapa MA tidak menafsirkan Pasal 7 ayat 2 dengan lebih longgar. Ini harus ada take and give. Kalau syarat mau dilonggarkan, ya dua-duanya, kata Amin.

Surat Sarwata
Dalam suratnya pada 12 Juli 2000, Ketua MA Sarwata menyatakan bahwa Pasal 7 Ayat 1 yang mensyaratkan hakim karier berpengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun, sedangkan Pasal 7 Ayat 2 mensyaratkan pengalaman 15 tahun seluruhnya bagi non-karier merupakan ketentuan yang diskriminatif dan tidak adil. Karena rata-rata pengalaman sebagai hakim tingkat banding bagi hakim karier dari lingkungan peradilan umum berarti telah memiliki pengalaman kurang lebih tiga puluh tahun sebagai hakim, tulis Sarwata dalam suratnya.

Sarwata melihat adanya kontradiksi yang menimbulkan ketidakadilan antara bunyi Pasal 7 ayat 1 dengan pasal 7 ayat 2. Sarwata menyatakan perlunya dilakukan interpretasi apakah ketentuan Pasal 7 Ayat 1 f merupakan ketentuan yang bermaksud memaksa (dwingend recht) atau hanya sebagai anvullend recht yang dapat dikesampingkan.

Menurut Sarwata, syarat dalam Pasal 7 ayat 1 merupakan syarat untuk mengukur kapabilitas seorang calon hakim agung. Pada masa lalu syarat ini diikuti secara ketat karena tidak adanya mekanisme untuk menyaring hakim agung berdasarkan merit system, tulis Sarwata. Oleh karena itu Sarwata berpendapat syarat ini sebagai anvullend recht yang dapat dikesampingkan. Pasalnya mekanisme yang digunakan sekarang untuk menjaroing calon hakim agung telah dilakukan melalui fit and proper test.

Sarwata berpendapat, bila persyaratan tersebut diikuti secara ketat sekarang ini, akan merupakan hal yang dipandang tidak serasi dengan tuntutan reformasi. Karena di masa lalu, telah terjadi seorang hakim tinggi diangkat sebagai suatu tindakan penertiban bagi seorang hakim/Ketua Pengadilan Negeri.

Pada bagian akhir suratnya, Sarwata menulis: Sikap fleksibel dan intepretasi yang bersifat teologis terhadap Pasal 7 Ayat 1 justru merupakan fokus dari reformasi hukum yang sangat relevan dengan kritik-kritik yang diulancarkan selama ini terhadap dunia peradilan yang sama sekali dipandang tidak terkena reformasi.

Tidak bisa diubah

Nasi telah menjadi bubur. Surat Sarwata tidak berpengaruh terhadap kelanjutan proses penyaringan calon hakim agung yang sudah memasuki tahap fit and proper test. Waktunya sudah berjalan, jadi sulit (diubah, Red), kata Amin. Namun Amin melihat peluang orang MA menjadi hakim agung belum tertutup, terutama untuk menggantikan hakim-hakim yang mau pensiun.

Hartono Mardjono, Wakil Ketua Komisi II DPR juga mempertanyakan mengapa Ketua MA baru menulis surat setelah proses seleksi administrasi rampung. Pada proses seleksi administrasi itu memang jago-jago dari MA berguguran, sehingga tidak bisa mengikuti fit and proper test.

Menurut Hartono, MA mempunyai fungsi memberikan saran dan masukan masalah hukum, baik diminta maupun tuidak. Biasanya MA paling malas mengeluarkan pendapat itu. Lha kok tiba-tiba sekarang rajin. Silakan ditafsirkan sendiri, kata Hartono.

Beda penafsiran memang boleh-boleh saja karena dalam negara demokrasi, diskursus yang terbuka itu penting. Toh Undang-undang (UU) tidak begitu saja gampang diubah atau dilonggarkan. Apalagi jika di balik keinginan dan penafsiran itu ada kepentingannya.
Tags: