Perpu Bank Indonesia dan Perubahan Peraturan Fasilitas Darurat
Kolom

Perpu Bank Indonesia dan Perubahan Peraturan Fasilitas Darurat

Persoalan pokok Bank Century bukan masalah sumber dana yang digunakan adalah dana dari APBN atau dana dari LPS, tetapi terletak pada perubahan peraturan yang seolah-olah dipersiapkan untuk menyelematkan Bank Century dengan melakukan bailout.

Bacaan 2 Menit
Perpu Bank Indonesia dan Perubahan Peraturan  Fasilitas Darurat
Hukumonline

Drama dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh Bank Century (kini PT Bank Mutiara Tbk) secara politik baru dimulai, tetapi masalah hukumnya tidak dipandang sebelah mata. Untuk dapat menilai pengunaan fasilitas darurat Bank Century benar dan tidak benar, harus  dimulai dari menelisik penyiapan dasar hukum fasilitas darurat tersebut. Yang patut dicurigai dari awal bahwa ada yang tidak beres dengan persetujuan pemerintah terhadap fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Century, melalui Perpu No. 2 Tahun 2008 tentang Bank Indonesia yang kemudian disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2009, dan perubahan Peraturan Bank Indonesia terkait fasilitas darurat.

Di keluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2008 tersebut adalah sebagai payung hukum untuk memberikan fasilitas darurat kepada bank yang dianggap berpotensi membahayakan sistim keuangan, karena selama ini peraturan pembiayaan fasilitas darurat itu hanya disandarkan kepada Peraturan Bank Indonesia.  Yang tidak pernah jelas adalah mengenai alasan dan lembaga mana yang menjadi inisiator dikeluarkannya Perpu tersebut. Bank Indonesia atau Menteri Keuangan atau Sekretariat Negara, karena ketiga lembaga ini mempunyai akses untuk melahirkan Perpu tersebut. 

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/1/PBI/2006 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat, bank yang tidak mempunyai dana untuk mengatasi kesulitan likuiditas dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia. Syarat untuk memperoleh fasilitas darurat tersebut adalah: a) Bank mengalami Kesulitan Likuiditas; b) Bank berdampak sistemik; c) rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) Bank paling sedikit 5 persen; dan d) dijamin dengan agunan.

Sebelum Bank Century secara terbuka diketahui mengalami kesulitan, telah terjadi perubahan Peraturan Bank Indonesia  Nomor: 8/1/PBI/2006 menjadi dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008. Dalam Peraturan Bank Indonesia ini syarat yang ditentukan untuk dapat mengajukan permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) adalah bank  wajib memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (capital adequacy ratio disingkat CAR) paling kurang 8 persen.

Namun empat belas hari setelah perubahan ini, maka peraturan tentang fasilitas darurat itu berubah lagi dengan Peraturan Bank Indonesia  Nomor:   10/30/PBI/2008 tanggal 14 Nopember 2008. Dengan perubahan ini maka posisi Bank Century yang sedang mengalami kesulitan memenuhi syarat untuk mendapatkan fasilitas darurat, terbuka untuk mendapatkan fasilitas darurat. Sebab syarat yang ditentukan untuk memperoleh fasilitas darurat tersebut adalah a) Bank mengalami Kesulitan Likuiditas yang memiliki Dampak Sistemik; b) Bank memiliki rasio KPMM positif; dan c) Bank memiliki aset yang dapat dijadikan agunan.

Perubahan peraturan fasilitas darurat inilah yang patut dicurigai sebagai upaya meloloskan dan menolong Bank Century. Kalau benar cerita yang beredar selama ini bahwa CAR Bank Century hanya mencapai positif 2,35 persen, artinya sangat jauh dari syarat yang ditentukan oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008, yang menentukan bahwa CAR paling kurang 8 persen. Sehingga keluarnya Peraturan Bank Indonesia  Nomor: 10/ 30 /PBI/2008 tanggal 14 Nopember 2008, yang mengubah ketentuan CAR menjadi positif saja, pantas dicurigai untuk menolong Bank Century yang tidak mungkin mendapatkan fasilitas pembiayaan darurat jangka pendek.  

Dengan demikian maka, fasilitas darurat kepada Bank Century adalah tidak benar, apalagi beredar kabar bahwa  kecukupan modal Bank Century telah negatif 3,53 persen. Sehingga  dapat dikatakan bahwa perubahan Peraturan Bank Indonesia yang dijadikan sebagai dasar untuk memberikan fasilitas darurat itupun tetap juga dilanggar. Artinya fasilitas darurat yang diberikan kepada Bank Century merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia. Terlebih lagi, kalau mengingat Giro Wajib Minimum Bank Century dalam keadaan negatif, tanpa perlu mempersoalkan kebenaran dampak sistemik akibat Bank Century.

Bailout Bank Century
Keputusan mengambil alih suatu bank yang gagal merupakan perkara yang teramat penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak, perekonomian maupun dana masyarakat. Sehingga keputusan seperti ini sepatutnya dilakukan secara transparan, teruma yang berhubungan dengan nasabah dan masyarakat.

Meskipun dana yang digunakan untuk melakukan bailout Bank Century berasal dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan diperoleh dari premi beberapa bank di Indonesia anggota LPS. Artinya uang itu tidak langsung bersal dari masyarakat dan tidak juga berasal langsung dari keuangan Negara. Namun kalau dilihat Perpu No. 2 Tahun 1998, bahwa dana fasilitas darurat itu bisa saja digunakan dari APBN. Persoalan pokok kita bukan masalah sumber dana yang digunakan adalah dana dari APBN atau dana dari LPS, tetapi persoalan pokok kita terletak pada perubahan peraturan, yang seolah-olah dipersiapkan untuk menyelematkan Bank Century dengan melakukan bailout itu. 

Cukup masuk diakal bila dikatakan bahwa masalah Bank Century tidak akan berdampak luas  karena adanya krisis global, dan dampak dari Bank Century ini tidak akan sampai pada  kegagalan sistemik, mengingat bank ini hanya  memiliki 60 ribuan nasabah dan nasabahnya pun bukanlah nasabah utama perbankan di Indonesia. Dengan kata lain, bahwa krisis yang dialami oleh Bank Century akan berdampak buruk terhadap ekonomi nasional, sebenarnya tidak lebih dan tidak kurang dari hanya sekedar retorika belaka. Posisi Bank Century tidak dapat disamakan dengan posisi 48 bank yang ditutup pada tahun 1997, sehingga tidak mungkin akan berdampak seperti yang pernah terjadi pada tahun 1997.

Masalah Politik Bank Century
Akhir Agustus, menjelang berakhirnya masa bakti Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009, Dewan Perwakilan Rakyat memanggil Menkeu Sri Mulyani, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjelaskan membengkaknya suntikan modal ke Bank Century hingga Rp6,7 triliun. Pemanggilan Menteri Keuangan, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan, karena pada walnya Bank Indonesia memberi laporan bahwa untuk menyelamatkan Century, ‘hanya’ diperlukan dana Rp632 miliar, kemudian DPR diberitahu bahwa ada penambahan dana bailout hingga mencapai Rp6,7 triliun.

Dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut Sri Mulyani menegaskan bahwa jika Bank Century ditutup akan berdampak sistemik pada perbankan Indonesia. Namun pada saat yang hampir bersamaan beredar pula laporan awal audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Bank Century yang mengungkapkan banyak kelemahan dan kejanggalan serius di balik penyelamatan Bank Century. 

Sekarang hak angket  telah bergulir. Banyak dukungan diberikan oleh ekonom dan mantan politisi. Meskipun kita tidak tahu di mana tepian yang hendak dicapai oleh hak angket tersebut. Yang pasti drama bank century telah beralih keranah politik, meskipun masalah hukumnya masih berjalan meski tersendat.

Akhir drama Bank Century ini memang harus dengan sabar ditunggu. Siapapun pemenangnya drama politik ini yang kalah tetap saja masyarakat. Hak masyarakat telah diabaikan secara kasatmata. Penambahan ketentuan UU Bank Indonesia dan perubahan Peraturan Bank Indonesia tentang fasilitas darurat adalah upaya untuk melegalkan satu kebijakan yang dapat merugikan masyarakat.

*) Advokat dan Staf Pengajar FH Universitas Al-Azhar Indonesia

Tags:

Berita Terkait