Pat Gulipat Nasib TKI di Terminal Khusus
Jeda

Pat Gulipat Nasib TKI di Terminal Khusus

Tawar menawar sebuah pintu senilai dengan darah dan air mata tenaga kerja Indonesia. “Tujuh ratus ribu,” tawarnya. Tujuh rats ribu diminta dari cucuran keringat TKI.

Oleh:
CR-7
Bacaan 2 Menit
http://www.jakartasoekarnohattaairport.com/
http://www.jakartasoekarnohattaairport.com/

Seorang perempuan setengah baya membacakan sebuah puisi dengan lantang. Kesunyian yang menyelimuti makin mempertegas kata demi kata yang ia ucapkan. Wajahnya hanya terlihat samar disinari 19 lilin yang menyala kecil.

Semua yang mendengar diam. Tak ada yang bicara, tak ada suara selain nyanyian pilu yang tersirat dari puisi yang dibacakan. Hembusan Air Conditioner pun tak mampu mendingingkan hati siapa saja yang mendengar. Yang terasa adalah panas, ketika ingatan harus kembali pada antrian di terminal khusus TKI bandara Soekarno-Hatta.

Puisi yang berjudul Pintu Pat Gulipat Soekarno-Hatta Jakarta ini, dibawakan oleh Maria Bo Niok, mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang pernah berkarir di Hongkong. Puisi yang dikarang sendiri oleh Maria ini mengisahkan pengalaman TKI yang harus menempuh terminal khusus di bandara Soekarno-Hatta. Menurut Maria, di terminal ini mereka diperas oleh orang-orang berseragam, yang tadinya mereka pikir akan melindungi dan membantu mereka.

Dalam puisinya, Maria juga menyerukan kepada para TKI untuk melawan, untuk tidak diam saja ketika mereka diperas di terminal khusus. Maria punya cara tersendiri. “Saat berada di terminal empat, bersatulah! Berkumpul lalu beli semua pintu di bandara. Eh, salah. Beli pintu terminal dua. Tapi, bayar belakangan, alias lewat pintu dulu baru......... kaburrrrrr...!!! Kabur bareng-bareng. Jangan mau bayar itu harga pintu. Kalau perlu teriak: ada copet,” ujar Maria.

Kekesalan terasa begitu kental dari bait demi bait puisi yang dibacakan. Kekesalan yang ditujukan pada petugas yang selalu mengambil manfaat dari kelelahan dan kepolosan para TKI. “Biar malaikat penjaga pintu terminal empat itu kualat, mencak-mencak, dipecat, mati lalu dikerubungi lalat,” tukas Maria.

Terminal khusus memang menjadi momok bagi TKI. Sejumlah LSM menuntut agar pemberlakuan terminal khusus TKI dihapuskan. Terminal khusus pada praktiknya dianggap sebagai bentuk diskriminasi, tanpa memberikan perlindungan yang seharusnya. Hal itu pernah diungkapkan oleh Thaufiek Zulbahari, dari Solidaritas Perempuan (SP), “Kita melihat itu sebuah bentuk diskriminasi atas sebuah pekerjaan, akibat stereotyping terhadap buruh migran itu sendiri,” jelasnya.

Thaufiek menjelaskan bahwa stigma atau stereotype yang dimiliki para aparat tentang TKI adalah bodoh, gampang dirayu, dan berbeda tingkat pemahamannya dengan masyarakat lain. Sehingga, pemerintah menganggap bahwa terminal khusus adalah upaya untuk melindungi TKI. Padahal, menurut Thaufiek, yang rentan terhadap penipuan, ataupun tindak kriminal lain di bandara bukan hanya TKI. Penipuan atau kekerasan atau hal-hal kriminal itu bisa terjadi pada siapapun.

Menurut Thaufiek, yang harus dibenahi adalah sistem keamanan dan perlindungan di bandara secara keseluruhan, bukannya dengan memisahkan TKI dengan penumpang lainnya di terminal khusus. “Alih-alih untuk melindungi, kata pemerintah itu, padahal sebenarnya (di terminal khusus-red) lebih banyak lapisan eksploitasi dan pemerasan di dalamnya,” ujarnya.

Bagi Thaufiek yang harusnya dibuat oleh pemerintah adalah terminal pelayanan bagi TKI yang bermasalah. “Bentuknya jadi bikin help desk untuk TKI yang bermasalah,” dia menambahkan.

Menanggapi hal tersebut, Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan bahwa masih layak atau tidaknya terminal khusus diberlakukan bisa didiskusikan. “Pada dasarnya, terminal kedatangan itu kan langkah adhoc, langkah sementara,” jelas politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini.

Menurut Muhaimin, sampai pada titik tertentu ketika dianggap betul-betul ada kesiapan perlindungan yang lebih sistematis maka tidak menutup kemungkinan pemerintah tidak lagi menggunakan terminal khusus TKI.

Ada atau tidak ada terminal khusus, seyogyanya Pak Menteri menangkap curahan hati TKI sebagaimana puisi yang dibacakan Maria Bo Niok. Kalaupun ada terminal khusus, sebaiknya ditegaskan namanya "Terminal Khusus Perlindungan TKI", bukan "Terminal Khusus Pemerasan".

Tags: