Hakim Ad Hoc “Dilarang” Menjadi Dosen
Berita

Hakim Ad Hoc “Dilarang” Menjadi Dosen

Syarat agar hakim ad hoc tidak boleh merangkap jabatan dianggap diskriminasi. Pasalnya, ketentuan yang sama tidak diberlakukan untuk hakim karir.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Hakim Adhoc Tipikor pada Mahkamah Agung, Krisna Harahap<br> menyayangkan pasal diskriminatif dalam UU Pengadilan Tipikor. <br> Foto: Sgp
Hakim Adhoc Tipikor pada Mahkamah Agung, Krisna Harahap<br> menyayangkan pasal diskriminatif dalam UU Pengadilan Tipikor. <br> Foto: Sgp

Hakim ad hoc Tipikor pada Mahkamah Agung (MA), Krisna Harahap mengeluh. Ia menilai terbitnya UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor memberikan perlakuan diskriminatif kepada hakim ad hoc. Secara umum, ia menyambut baik lahirnya UU tersebut, namun ada beberapa pasal yang dinilainya merugikan hakim ad hoc.

 

Salah satu yang disoroti Krisna adalah larangan untuk merangkap jabatan. Pasal 12 ayat (2) huruf K mensyaratkan, calon hakim ad hoc harus bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjadi hakim ad hoc tipikor. “Hakim ad hoc tidak boleh menjabat sebagai dosen. Sedangkan hakim karir boleh. Ini kan diskriminasi,” tegas Krisna dalam peluncuran buku miliknya yang bertajuk 'Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Jalan Tiada Ujung‘ di Jakarta, Senin (21/12).

 

Krisna menduga sepinya minat pelamar hakim ad hoc tipikor, salah satunya disebabkan oleh ketentuan ini. “Mereka tentu saja enggan melepaskan jabatan dan profesinya,” tambah Krisna.

 

Anggota Panitia Seleksi (Pansel) Hakim ad hoc Tipikor, Bambang Widjojanto mengakui ketentuan tersebut menjadi kendala untuk menjaring hakim ad hoc yang berkualitas yang berasal dari universitas. Bambang tak asal omong. Buktinya, Pansel bahkan sampai memperpanjang batas waktu pendaftaran hakim ad hoc karena sepi peminat. Para akademisi banyak yang enggan menjabat sebagai hakim ad hoc karena harus melepaskan jabatannya di Universitas, termasuk sebagai dosen. 

 

Syarat larangan rangkap jabatan memang hanya berlaku untuk hakim ad hoc, tidak untuk hakim karir. Menurut Bambang, aturan ini memang bersifat diskriminatif. “Itu diskriminatif treatment,” tuturnya. Ia berpendapat ketentuan ini bisa saja di bawa ke Mahkamah Konstitusi. “Ini bisa diajukan judicial review karena diskriminatif,” tuturnya. Menurut Bambang, pihak yang paling tepat mempersoalkan ini ke MK adalah para calon hakim ad hoc tipikor.

 

Saat ini proses seleksi hakim ad hoc tipikor terus berjalan. Pansel sedang memeriksa makalah yang dibuat oleh para calon. Setelah itu, akan dilakukan rekam jejak terhadap calon yang lulus pada tahap ini. Para calon hakim ad hoc ini untuk mengisi pengadilan-pengadilan tipikor yang akan dibentuk di MA, untuk tahap pertama, di tujuh provinsi. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait