Tiga Rekanan Persoalkan Kewenangan Pengadilan Tipikor
Korupsi PLN Jatim:

Tiga Rekanan Persoalkan Kewenangan Pengadilan Tipikor

Ada yang menilai Pengadilan Tipikor tak berwenang mengadili karena tak ada tindak pidana dalam pengadaan CMS di PLN Disjatim periode 2004-2007. Ada pula yang menyatakan Pengadilan Tipikor Jakarta tak berwenang secara relatif karena tindak pidana terjadi di Surabaya.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Tipikor Jakarta menyidangkan tiga bos rekanan <br> PLN Disjatim. Foto: Sgp
Pengadilan Tipikor Jakarta menyidangkan tiga bos rekanan <br> PLN Disjatim. Foto: Sgp

Pengadilan Tipikor Jakarta menyidangkan kasus korupsi yang melibatkan tiga bos perusahaan rekanan PLN Distribusi Jawa Timur (Disjatim), Senin (1/2). Ketiga terdakwa itu adalah Raden Saleh Abdul Malik, Achmad Fathony Zakaria, mantan Komisaris dan Direktur Operasional PT Altenlindo Karya Mandiri (AKM), dan Dirut PT Arti Duta Aneka Usaha (ADAU) Arthur Pelupessy. Melalui pengacara, para terdakwa mengajukan keberatan (eksepsi) atas surat dakwaan.

 

Pekan lalu, jaksa penuntut umum mendakwa Saleh, Fathony dan Arthur melakukan korupsi bersama mantan General Manager PLN Disjatim pada 2004-2007 Hariadi Sadono, dalam pengadaan customer management service (CMS) berbasis teknologi informasi. Proyek itu sendiri bersumber dari pos biaya administrasi Anggaran PLN Disjatim periode 2004-2007.

 

Modusnya, pada tahun 2004 Saleh dan Hariadi menyepakati harga kontrak CMS yang pernah diterapkan di wilayah Lampung sebesar Rp1.980 per pelanggan untuk sebulan (termasuk PPn 10 persen) untuk satu tahun. Lalu, membuat berita acara penetapan harga perkiraan sendiri (HPS) sebagai formalitas yang ditandatangani Arief Nur Hidayat, Djoko Suwono, dan Hariadi sebagai persetujuan. Penentuan nilai HPS itu tanpa melalui proses analisa kelayakan harga yang seharusnya disusun panitia pengadaan sesuai SK Direksi PLN No. 038 Tahun 1998.

 

Saleh dan Fathony bersama George Kumaat pun menyepakati MoU pelaksanaan pengelolaan sistem outsourcing pengadaan tersebut yang mendahului kontrak. Padahal dalam SK Direksi No. 100 Tahun 2004 melarang mengadakan perjanjian dengan penyedia barang/jasa jika belum tersedia atau tak cukup anggaran. Untuk menindaklanjuti itu, Fathony bersama Arief dan Djoko serta disetujui Hariadi menandatangani berita acara penawaran harga. Kemudian Hariadi menunjuk PT AKM sebagai pelaksana proyek CMS tanpa melalui proses tender sesuai SK Direksi PLN No. 038 Tahun 1998 dan No. 100 Tahun 2004.

 

Untuk mewujudkan kerja sama antara PT AKM dan PT ADAU dan kesepakatan Saleh dan Hariadi, terdakwa Arthur menyepakati pembagian keuntungan dengan perbandingan 70:30 yang dituangkan dalam dua surat perjanjian yang ditandatangani Fathony dan Arthur. Padahal tindakan Saleh itu yang mensubkontrakan pekerjaan utamanya kepada perusahaan bertentangan SK Direksi No. 038 Tahun 2004.

 

Dari perjanjian itu, Saleh lewat rekening PT AKM telah menerima pembayaran dari PLN Disjatim sebesar Rp199,7 miliar dan dipergunakan biaya proyek sebesar Rp24,7 miliar, serta diberikan kepada Hariadi atau istrinya lewat Fathony atau George sebesar Rp150 juta per bulan yang totalnya sebesar Rp5,1 miliar. Sedangkan Arthur menerima pembayaran dari PT AKM sebesar Rp39,2 miliar yang diberikan kepada Hariadi sebesar Rp175 juta.

Tags:

Berita Terkait