Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna
Oleh: Imam Nasima *)

Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna

Dua pertanyaan mendasar yang sering muncul sehubungan dengan permasalahan eksekusi grosse akta sebenarnya cukup sederhana, yaitu apakah grosse akta dapat langsung dieksekusi dan bagaimana eksekusi grosse akta tersebut dilakukan.

Bacaan 2 Menit
Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna
Hukumonline

 

Apabila kita perhatikan baik-baik bunyi Pasal 224 HIR, maka dua pertanyaan yang tampaknya sederhana itu ternyata mengandung banyak permasalahan yang mesti diperjelas lagi. Isi lengkap Pasal 224 HIR adalah sebagai berikut:
 
Surat asli dari pada surat hipotik dan surat utang, yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang memakai perkataan: "atas nama keadilan" di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat putusan hakim. Dalam hal menjalankan surat yang demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai, maka dapat diperlakukan peraturan pada bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan hanya boleh dilakukan sesudah diizinkan oleh putusan Hakim. Jika hal menjalankan putusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya dituruti.
 
Dalam hal ini, agaknya cukup jelas bahwa grosse akta, apabila tidak dipenuhi secara baik-baik oleh debitur, dapat langsung dieksekusi oleh kreditur, dengan meminta fiat (perintah) eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Artinya, jawaban atas kedua pertanyaan tersebut di atas juga tidak begitu sulit dijawab, yaitu bahwa grosse akta dapat langsung dieksekusi sebagaimana layaknya putusan hakim, serta mekanisme eksekusinya mengikuti eksekusi putusan hakim sebagaimana tersebut dalam HIR, yaitu dengan peringatan kepada debitur, penyitaan, dan penjualan.
 
Pada kenyataannya, sejak dekade 1980-an pengadilan di Indonesia mengambil sikap berbeda. Antara lain bisa ditelusuri dari surat-surat yang pada waktu itu dikeluarkan oleh Ketua Muda Perdata Tertulis Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH (Catatan No. VII/1988/Perdata, Pebruari 1988 yang diselipkan di bawah Putusan No. 1520K/Pdt/1984, 31 Mei 1986). Prof. Asikin berpendapat bahwa “hakim tetap berwenang untuk menentukan apakah pelaksanaan eksekusi grosse acte tersebut dapat dikabulkan atau tidak”, alasannya karena pada saat itu sudah tidak ada lagi perjanjian memuat simple loan yang dapat dibuat grosse aktanya.
 
Terlepas dari pendapat yang dikutip secara salah -- dari sebuah putusan dalam bahasa Belanda yang sebenarnya memuat penyataan yang berarti keberatan (perlawanan) terhadap pelaksanaan eksekusi (grosse akta tersebut) tunduk pada putusan hakim”-- alasan pengadilan sebenarnya cukup berdasar seperti akan terlihat pada paragraf selanjutnya. Pada kesempatan lain, Prof. Asikin kembali menegaskan bahwa “dapat dilaksanakannya atau tidak suatu eksekusi atas suatu akta grosse seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 224 RID (HIR, red.) merupakan wewenang sepenuhnya dari hakim yang bersangkutan” (Surat No. 041/098/89/II/UM-TU/Pdt, 21 Januari 1989). Pendapat ini secara umum diikuti oleh pengadilan, sehingga pada akhirnya eksekusi mengenai grosse akta yang sebenarnya telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pada prakteknya tidak berjalan efektif.
 
Apabila melihat praktek pembuatan grosse akta, terutama menyangkut “surat utang yang dibuat di hadapan notaris”, keberatan pengadilan ketika itu bukannya tanpa alasan. Berdasarkan dokumen-dokumen yang menggambarkan kondisi ketika itu, Sebastiaan Pompe pernah menulis bahwa instrumen grosse akta ini memang pada akhirnya dimanfaatkan sebagai sarana untuk membatasi atau menghindari peran pengadilan dalam permasalahan-permasalahan menyangkut investasi, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dengan segera (Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, Ithaca, N.Y.: Cornell University, Southeast Asia Program, 2005). Akibat dari kecenderungan tersebut, grosse akta pada akhirnya juga dibuat untuk perjanjian-perjanjian dengan klausul-klausul rumit dan tidak dengan sendirinya memberikan suatu hak yang jelas kepada pemegang akta tersebut. Tentu dalam praktek pengadilan tidak mudah, kalau bisa dibilang tak mungkin, untuk langsung melaksanakan eksekusi berdasarkan akta seperti ini.
 
Fenomena ini cukup menarik untuk diamati dan diperjelas, karena bukankah hakekat dari adanya irah-irah pada grosse akta justru untuk menegaskan kekuatan eksekutorialnya, yaitu bahwa surat atau akta tersebut harus dilaksanakan atas nama kekuasaan tertentu? Lalu apa gunanya irah-irah tersebut dicantumkan kalau kenyataan di lapangan surat atau akta terkait tidak mempunyai kekuatan eksekutorial? Jika diperhatikan dari tahun ke tahun, kecenderungan pembuat undang-undang ingin selalu menegaskan kekuatan eksekutorial ini (di antaranya UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan; UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris; UU No. 17/2008 tentang Pelayaran). Sementara itu, dalam praktek tak pernah diperhatikan secara serius bagaimana grosse akta dibuat dan kemudian dilaksanakan. Benarkah akta berirah-irah seperti itu tetap ampuh?
Tags: