Pasal Pidana Tidak Tepat dalam Sengketa Kontrak Konstruksi
Berita

Pasal Pidana Tidak Tepat dalam Sengketa Kontrak Konstruksi

Penyedia Jasa Konstruksi merasa khawatir dalam melaksanakan isi kontrak. Sewaktu-waktu bisa tersangkut perkara pidana.

Oleh:
CR-9
Bacaan 2 Menit
Pasal Pidana tidak tepat dalam sengketa kontrak konstruksi <br> Foto: Sgp
Pasal Pidana tidak tepat dalam sengketa kontrak konstruksi <br> Foto: Sgp

Kejaksaan dinilai belum memiliki pemahaman yang baik mengenai masalah kontrak konstruksi. Dalam beberapa kasus, kejaksaan membawa sengketa kontrak konstruksi ke proses peradilan pidana. Dalam sengketa ini para pengusaha jaksa konstruksi diancam pasal KUHP atau tindak pidana korupsi.

 

Padahal kontrak adalah ranah hukum privat, yaitu hukum perdata, karena hanya melibatkan para pihak yang terikat kontrak. Ranah hukum privat memiliki mekanisme penyelesaian berbeda dengan hukum pidana. Karena itu, kejaksaan perlu memperbaiki mindset (cara pandang) dalam menyikapi kasus sengketa kontrak konstruksi. Masalahnya, pemahaman aparat kejaksaan, terutama di daerah, masih terbatas pada KUHP dan perundang-undangan tindak pidana korupsi.

 

Pandangan itu datang dari ahli hukum Nindyo Pramono pada Diskusi Panel Kriminalisasi Kontrak Konstruksi di Jakarta, Senin (05/7). Menurut Prof. Nindyo, persoalan sengketa kontrak konstruksi lebih sering terjadi dalam bentuk wanprestasi kegagalan bangunan, baik yang dilakukan oleh penyedia jasa maupun pengguna jasa konstruksi.

 

Penyelesaian wanprestasi, kata profesor hukum bisnis Universitas Gajah Mada ini, adalah ketidaksesuaian pelaksanaan kontrak dengan kesepakatan yang tertuang. Penyelesaian sengketa biasanya selalu diatur dalam kontrak yang disepakati para pihak. “Kontrak kan juga mengatur mekanisme penyelesaian sengketa,” katanya.

Karena itu, KUHP kurang tepat diterapkan untuk masalah ini.

 

Untuk penerapan pasal korupsi, Nindyo menyatakan ada akibat lanjutan yang muncul. Ia mencontohkan perusahaan swasta murni yang men-subkontrakkan pekerjaan konstruksi kepada perusahaan pemerintah (BUMN/BUMD). Jika terjadi wanprestasi, Kejaksaan cenderung menganggap hal itu memenuhi unsur merugikan keuangan negara. Padahal, hubungan antara kedua perusahaan itu murni bersifat keperdataan.

 

Karena itu, Nindyo mengharapkan masalah kontrak konstruksi dapat dijalankan sesuai mekanisme yang ada dalam kontrak.

Tags: