Membaca Hukum Indonesia yang Gamang
Resensi

Membaca Hukum Indonesia yang Gamang

Benarkah pembangunan tatanan hukum Indonesia sudah kehilangan oritentasi? Buku ini terlalu singkat untuk memberikan jawaban.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Membaca Hukum Indonesia yang gamang-Foto: Sgp
Membaca Hukum Indonesia yang gamang-Foto: Sgp

Sebelum menghadap Sang Khalik, Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang Prof. Satjipto Rahardjo pernah merenungkan sebuah pertanyaan sederhana: apakah hukum sudah mati? Pertanyaan yang pernah dilontarkan sosiolog hukum David M. Trubek: “is law dead?”

 

Hukum di Indonesia begitu carut marut. Kita mengalami krisis. Mafia hukum melibatkan nyaris semua jajaran penegak hukum. Tengok saja mafia perpajakan yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak, polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan pengusaha. Aksi kekerasan terjadi dimana-mana. Korupsi terus menerus berlangsung seolah tak terusik kehadiran KPK. Penyalahgunaan wewenang begitu kasat mata. Ironisnya, semua menjadikan hukum sebagai payung penyimpangan itu. Seolah-olah perbuatan menyimpang itu adalah legal.

 

Hukum yang diharapkan menyelesaikan beragam problem di masyarakat kita, kata Prof. Satjipto, tetap bekerja dengan irama ‘business as usual’. Dari situlah muncul pertanyaan menggelitik: apakah hukum sudah mati?  

 

Prof. Satjipto sudah tiada. Tetapi pemikiran-pemikiran kritisnya masih bisa kita baca lewat karya-karya yang beliau hasilkan semasa hidup. Kalaupun tidak lewat buku almarhum, corak pemikiran kritisnya masih bisa kita pahami dari murid-muridnya, terutama mereka yang tergabung dalam Kaum Tjipian. Ini adalah sebuah kelompok diskusi pemikir hukum progresif yang merujuk pada nama Prof. Satjipto.

 

Salah seorang murid Prof. Satjipto adalah Aloysius Wisnubroto. Lahir di Yogyakarta 3 Januari 1967, Al.Wisnubroto banyak berinteraksi dengan almarhum Prof. Satjipto terutama setelah Wisnubroto mengambil magister dan doktor di Universitas Diponegoro Semarang. Buku yang ada di hadapan kita juga banyak diilhami kuliah dan diskusi penulis dengan almarhum Begawan Ilmu Hukum itu. Penulis bertitik tolak dari ungkapan: “law as a great anthropological moment”.

 

Buku ini dimulai penulis dengan pertanyaan menggelitik: benarkah hukum Indonesia sudah kehilangan orientasi saat ini? Sebelum masa penjajahan, perkembangan tatanan hukum Indonesia berjalan dengan “wajar” mengikuti perkembangan masyarakat. Begitu Belanda dan Jepang masuk, tatanan hukum Indonesia mengalami “masa kegelapan”, yang ditandai antara lain terdesaknya hukum asli masyarakat (hal. 1). Begitu kemerdekaan diproklamirkan, ada satu tekad untuk membangun sistim hukum nasional.

Halaman Selanjutnya:
Tags: