Siasat Menjerat Manusia Koruptor
Kolom

Siasat Menjerat Manusia Koruptor

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah, jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubahnya. (Dikutip dari puisi “Negeri Para Bedebah” karya Adi Massardi).

Bacaan 2 Menit
Siasat Menjerat Manusia Koruptor
Hukumonline

Pengantar

Di ruang tunggu bandara Eltari, Kupang, penulis tiba-tiba merasakan keharmonisan manusia dan alam (jagat) yang begitu mendalam. Seperti terlihat dari hamparan bukit dan pohon-pohon mahoni, lontar, dan palem yang meranggas di sekelilingnya. Angin selalu bertiup sejuk dan lembut, sementara langit di atas bumi Kupang terlihat jernih dan luas. Tanah yang tandus pun terlihat begitu solid dan lapang buat kehidupan. Terasa semua ciptaan saling menyuburkan, dipenuhi dengan jalan dan daya hidup, selalu berkembang tanpa habis, dan selalu menjadi baru tanpa bisa musnah. Dalam keharmonisan dengan alam, orang-orang kecil di desa tampak mau melakukan dan memberikan diri untuk sesamanya demi untuk suatu kebaikan bersama dan membuat orang membiarkan segala sesuatu terjadi sesuai arah dan tujuan alaminya. Tidak ada korupsi dan mengkorupsi lagi, mereka bertindak secara natural, wajar, dan penuh cinta kasih.

 

Sementara di singgasana kekuasaan para pemimpin mereka sibuk memperkaya diri sendiri sampai-sampai negeri mereka telah menempati posisi pertama provinsi terkorup di nusantara. Selain itu di daerah-daerah lain di Indonesia, prilaku korupsi dan mengkorupsi seolah menjadi ajang perlombaan diri untuk mempertunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya? Akibatnya, entah sadar atau tidak prilaku kita yang terbiasa menggunakan korupsi sebagai cara hidup (berpikir dan berbahasa/berlogika, dan bertindak) semakin memberi tempat bagi tumbuh kembangnya korupsi di negeri Indonesia yang tercinta ini.

 

Dari kesan-kesan penulis tentang Kupang tiba-tiba penulis teringat pada pidato Presiden SBY pada 8 Desember 2009 dalam rangka menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia. Saat itu beliau menyatakan, “Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, saya akan terus berjuang di garis paling depan, bersama semua elemen pemberantasan korupsi, untuk memimpin jihad melawan korupsi.” Dalam kesempatan tersebut presiden SBY juga menyinggung soal apa yang disebut “fenomena corruptors fight back atau serangan balik dari para pelaku koruptor”.

 

Disinyalir fenomena serangan balik koruptor yang terbaru ialah insiden pelemparan bom molotov di kantor majalah Tempo di kawasan Menteng Jakarta Pusat, Selasa, 6 Juli 2010, dan penganiayaan terhadap aktivis ICW Tama Satrya Langkun, Kamis, 8 Juli, 2010. Tulisan ringkas ini merupakan ikhtiar penulis dalam rangka turut andil memberantas praktik kotor korupsi yang sudah demikian hebat mencengkeram Indonesia.

 

Manusia Koruptor dan Ketidakadilan Struktural

Praktik korupsi Indonesia sudah mencapai tahapan paling sempurna. Korupsi seolah-olah telah menjadi suatu entitas organik yang terus-menerus berevoluasi, memodifikasi, dan mengevaluasi dirinya sendiri. Korupsi selalu dapat bertahan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan sosial dan politik yang berlaku. Korupsi ibarat seekor belut yang selalu mrucut saat hendak ditangkap. Celakanya, korupsi kini telah menjadi bagian dari kehidupan, dan telah mengecoh dan menumpulkan kesadaran dan kekritisan kita sebagai manusia pribadi dan sebagai bangsa atas logika dan prilaku koruptif yang ada di sekitar kita bahkan yang ada di dalam diri kita sendiri, dan atas akibat-akibat yang ditimbulkan dari korupsi. Padahal korupsi tersebut telah mengurangi kemampuan negara untuk melaksanakan program-program pembangunan guna mensejahterakan seluruh warga negaranya.   

 

Tetapi, bukankah korupsi terjadi karena adanya manusia-manusia yang atas dasar motif-motif tertentu melakukan korupsi? Tanpa manusia-manusia dengan logika dan perilaku koruptif mustahil korupsi dapat terus berkembang dan bertahan. Dengan demikian, bagi penulis, pokok terpenting dalam mewujudkan strategi anti-korupsi ialah dengan memerhatikan aspek manusia yang melakukan korupsi (dengan mengacu pada bahasa Latin, saya sebut koruptor sebagai Homo Corrupticus) baru kemudian merambah pada instrumen-instrumen hukum yang lebih luas dan kompleks.

Tags: