Advokat Bersih, Mungkinkah?
Kolom

Advokat Bersih, Mungkinkah?

Salah satu hambatan terbesar untuk memerangi praktik mafia hukum di Indonesia adalah miskinnya pemahaman kita terhadap para advokat. Pertanyaan lanjutan yang muncul, mengapa advokat?

Bacaan 2 Menit
Advokat Bersih, Mungkinkah?
Hukumonline

Untuk menjelaskan hal tersebut saya mau memulai dengan sebuah anekdot yang dilontarkan oleh Prof. Jimly Asshidiqie dalam sebuah diskusi tentang pembaharuan KUHAP ini di kantor Wantimpres beberapa waktu lalu.

 

“Setiap orang mendapatkan sesuatu dari proses peradilan. Polisi adalah ‘pemeras’ dan ia mendapatkan ‘sesuatu’ dari perkara yang ditangani. Namun ini masih lebih kecil, karena waktu memeras polisi lebih pendek dari waktu yang dimiliki oleh jaksa. Masuk ke peradilan orang bilang bahwa si tersangka dan terdakwa sudah hanya tinggal tulang, tak ada lagi yang bisa diperas oleh hakim. Namun jangan salah masih ada sumsum bagi para hakim. Lalu siapa yang bisa mendapatkan semuanya? Jawabannya advokatlah orangnya”.

 

Sudah menjadi rahasia umum, advokat menjadi bagian yang berkontribusi besar dalam menumbuhsuburkan praktik mafia peradilan. Anekdot dan cemoohan publik yang menggerus dan mencampakkan kedudukan advokat dari posisi yang mulia menjadi yang hina tidak juga mampu menggugah asosiasi advokat untuk mengambil langkah-langkah progresif untuk ambil bagian dalam pemberantasan pratik mafia hukum.

 

Para advokat turut serta menyuburkan praktik mafia hukum dimulai dari hal-hal yang paling sederhana seperti memberikan tips dan suap kecil-kecilan dalam hal-hal yang menyangkut birokrasi peradilan, sampai pada kongkalikong besar-besaran yang melibatkan polisi, jaksa dan hakim. Gambaran itu mungkin bisa kita saksikan sekarang dalam kasus Gayus Tambunan dan mafia pajak.

 

Praktik ini terus terjadi dan dilakukan setiap hari oleh oknum advokat.  Semua mungkin diawali oleh hal sederhana, yakni keenganan untuk bersusah-susah menghadapi birokrasi peradilan yang menyita waktu. Namun juga sebagian yang lain, alasannya adalah untuk menjaga relasi. Suap dengan nilai mulai dari Rp50.000 dimulai dari proses pendaftaran surat kuasa, biaya ektra untuk mempercepat pendaftaran gugatan, pendaftaran permohonan eksekusi, dan masih banyak pos-pos adminsitrasi lainnya. Demikianlah para advokat berkontribusi menyuburkan budaya korupsi di dunia peradilan. Kini dan ke depan pantaslah kiranya kita sebut mereka sebagai pengacara buruk. Para pengacara buruk ini bukan saja telah membangun image dirinya yang buruk, namun juga telah menghancurkan kredibilitas profesi advokat secara keseluruhan.

 

Memang masih ada sebagian kecil advokat yang menolak semua praktik ini. Walaupun, tentu saja dengan risiko kesulitan yang akan dihadapi selama proses peradilan berlangsung. Bagi para advokat yang juga aktivis bantuan hukum  di LBH mungkin sudah terbiasa dengan hal ini, dan para birokrat korup pun biasanya menghindari “membuat masalah” dengan para advokat pro bono ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: