Kurator: Pengurus Boedel yang Masih Menunggu
Edisi Lebaran 2010:

Kurator: Pengurus Boedel yang Masih Menunggu

Meski sering menghadapi Debitor nakal, berurusan dengan kepolisian dan mendapat tekanan dari Kreditor yang hak-haknya tak terpenuhi, profesi Kurator masih diminati.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Pemilik kantor Law Firm Ricardo Simanjuntak & Partners <br> ini berprofesi sebagai Kurator. Foto: Sgp
Pemilik kantor Law Firm Ricardo Simanjuntak & Partners <br> ini berprofesi sebagai Kurator. Foto: Sgp

Banyak orang tidak tahu apa itu Kurator. Dalam ensiklopedia bebas, Kurator diartikan sebagai ketua akuisisi dan penjaga barang-barang koleksi sebuah museum, perpustakaan atau lembaga serupa. Namun arti itu berbeda jika diterjemahkan dalam perspektif hukum. Sebelum mengenal jauh tentang profesi ini, ada baiknya memahami arti pailit. Soalnya, tugas Kurator berkaitan erat dengan masalah kepailitan.

 

Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Ricardo Simanjuntak, menjelaskan pailit adalah status hukum dimana harta seorang Debitor diletakkan dalam sita umum akibat dari tidak membayar suatu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Debitor tersebut juga memiliki paling tidak satu Kreditor lain atau minimal dua Kreditor.

 

Adapun tujuan harta itu diletakkan dalam sita umum agar tidak memberikan kesempatan kepada Kreditor untuk berebut harta tersebut. Nantinya, harta yang berada dalam status sita umum ini akan digunakan atau dijual untuk membayar kewajiban Debitor kepada para Kreditor sesuai dengan jabatan masing-masing. Dari sinilah muncul istilah Kurator.

 

Menurut UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU), Kurator adalah profesional yang diangkat oleh Pengadilan Niaga untuk melakukan pengurusan dan pemberesan. Maksud pengurusan di sini yaitu mencatat, menemukan, mempertahankan nilai, mengamankan, dan membereskan harta dengan cara dijual melalui lelang.

 

“Orang yang bertugas memastikan barang yang disita bisa diindentifikasi, dimanage, dipertahankan, bahkan dikembangkan nilainya untuk dijual dan dibagikan hasilnya kepada kreditor,” kata Racardo.

 

Meski ditunjuk oleh pengadilan, Kurator tetap diusulkan oleh pemohon pailit. Namun dalam bertugas, Kurator tidak bertindak untuk kepentingan pemohon melainkan untuk kepentingan budel pailit. Intinya, Kurator tidak melulu lebih mendahulukan kepentingan Kreditor, tapi harus fair juga terhadap Debitor. Di sinilah muncul mekanisme renvoi.

 

Menghitung aset perusahaan pailit adalah salah satu tugas Kurator. Untuk itu, Kurator harus memahami betul cara membaca laporan keuangan perusahaan agar bisa mendapatkan informasi tentang harta yang menjadi kewenangannya tersebut. Tapi ingat, Kurator tidak sama dengan Auditor. Dalam bertugas, Kurator justru bisa membutuhkan Auditor.

 

Ricardo mengatakan, jasa independen Auditor sangat diperlukan jika Kurator tidak mampu membaca laporan keuangan perusahaan. Bahkan, Kurator bisa saja mengundang appraisal atau konsultan pajak bila memang dibutuhkan. Yang pasti, itu semua menambah biaya. Padahal, Kurator harus berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menambah beban ke budel pailit agar nilai harta untuk Kreditor tidak berkurang.  

 

“Kurator memang melakukan tindakan audit, tapi itu hanya salah satu rangkaian dari tindakan lainnya,” tambah Ricardo.

 

Tanpa Kepastian Hukum

Secara kasat mata mungkin tugas Kurator terlihat mudah. Padahal, banyak hambatan yang ditemui di lapangan, antara lain terkait kepastian hukum terhadap profesi ini. Menurut Ricardo, belum ada jaminan hukum yang jelas untuk melindungi tugas Kurator. Bahkan, katanya, pengadilan seperti tidak peduli dengan putusannya yang telah memailitkan perusahaan.

 

Ricardo yang juga berprofesi sebagai Kurator mencontohkan, saat seorang Debitor dinyatakan pailit maka hartanya harus berada dalam suatu sita umum dan orang tidak boleh mengambil apa pun dari harta itu. Pada saat itu juga pengadilan menunjuk Kurator untuk mengamankan budel pailit tersebut. Sekecil apapun aset dalam budel pailit itu hilang, Kurator harus bertanggungjawab.

 

Namun bukan itu yang jadi persoalan. Dikatakan Ricardo, meski telah diputus pailit oleh pengadilan, banyak Debitor yang tidak mengizinkan Kurator untuk mengurus aset dan harta perusahaannya. Ironisnya, tidak ada tindakan tegas dari pengadilan mengenai hal ini. “Seakan-akan pengadilan membiarkan saja putusannya itu diabaikan orang,” ketusnya.

 

Kemudian masalah time frame. Dalam hal ini, Ricardo mengkritisi kinerja Mahkamah Agung (MA) yang selalu telat dalam memutus perkara pailit. Ia menilai lembaga ini tidak memiliki kedisiplinan. Atas dasar itu, Ricardo menganggap tidak ada institusi hukum yang peduli dengan UU PKPU.

 

“Bila diperhatikan, putusan-putusan MA paling tidak ada disiplinnya soal time frame. Seakan-akan sesukanya,” tambah pemilik kantor Law Firm Ricardo Simanjuntak & Partners ini.

 

Pendapat Ricardo setali tiga uang dengan Tommy S Siregar, Kurator yang tergabung dalam Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI). Menurutnya, ada beberapa masalah yang dihadapi Kurator dalam melaksanakan tugas. Dalam menghadapi Debitor nakal, misalnya. Dalam hal ini Debitor tidak mau bekerjasama dengan Kurator dalam rangka pengurusan dan pemberesan harta pailit.

 

Bila hal demikian yang terjadi, jelas, Debitor telah melanggar Pasal 41 UU PKPU. Pasal 41 UU tersebut menyatakan, Kurator mempunyai hak untuk membatalkan seluruh tindakan-tindakan dari Debitor yang tidak seharusnya dilakukan, tapi tindakan itu merugikan Kreditor.

 

Masalah lainnya adalah pelaksanaan lelang harta pailit yang dihambat serta dilaporkannya Kurator kepada instansi kepolisian. Bahkan, tak jarang Kurator mendapat tekanan dari Kreditor yang hak-haknya tidak terpenuhi. “Ini menunjukkan perlindungan terhadap kurator belum maksimal,” ungkap Tommy.

 

Sekadar ingatan, pada tahun 2005, Tommy bersama kurator lainnya, Suwandi Halid pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap 8 pasal dalam UU PKPU. Permohonan mereka di antaranya didasari oleh rasa keberatan dengan bunyi pasal 127 ayat 1 yang menyatakan, jika terdapat perselisihan maka hakim pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak yang berselisih untuk menyelesaikan masalahnya di tingkat pengadilan.

 

“Kita keberatan dengan bunyi pasal itu karena jika perkara perselisihan dimasukkan ke pengadilan negeri bukan ke pengadilan niaga, maka bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Tommy.

 

Namun permohonan mereka ditolak. Majelis hakim konstitusi menyatakan, pasal itu sudah memberikan kepastian hukum karena yang dimaksud oleh pasal tersebut sebenarnya adalah pengadilan niaga sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh pasal 1 angka 7 UU PKPU.

 

Selebihnya, majelis menganggap dalil-dalil yang diajukan pemohon untuk pasal lain yang diujimateriilkan tidak cukup beralasan untuk menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945.

 

Masih Diminati

Meski terkadang harus berurusan dengan kepolisian atau mendapat tekanan dalam bertugas, profesi Kurator rupanya cukup diminati. Dalam catatan AKPI, saat ini ada lebih dari 350 Kurator di Tanah Air. Maklum, pendapatan Kurator tak kecil-kecil amat. Setidaknya, 2,5-5 persen dari budel pailit sudah pasti hinggap ke kantong Kurator. “Itu sudah ada aturannya,” kata Ricardo Simanjuntak.

 

Namun, sambungnya, jumlah Kurator saat ini tak sebanding dengan kasus pailit yang ada. Di Indonesia, kasus pailit banyak terjadi pada 1999 atau tepatnya setelah krisis moneter. Saat itu terdapat 198 kasus pailit. Sedangkan pada 2000-an, terjadi penurunan jumlah kasus. “Setiap tahunnya paling di bawah 100 kasus,” terangnya.

 

Jumlah itu sangat berbeda jika dibandingkan dengan luar negeri. Seperti di Amerika, misalnya. Di negara bagian Amerika seperti Florida atau Los Angeles, per bulan bisa terjadi 600 sampai 700 kasus kepailitan.

 

Lantas, apa saja syarat menjadi Kurator? Tommy S. Siregar menjelaskan, Pasal 2 Peraturan Menkumham No. M.01-HT.05.10 Tahun 2005 tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus, merinci secara gamblang apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin berprofesi sebagai Kurator.

 

Syarat-syarat tersebut adalah; Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesia, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Sarjana Hukum atau Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi, telah mengikuti pelatihan calon Kurator dan Pengurus yang diselenggarakan organisasi Profesi Kurator dan Pengurus bekerja sama dengan Kemenkumham.

 

Syarat lainnya adalah tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, dan membayar biaya pendaftaran.

 

“Di samping itu semua, ia harus memiliki keahlian khusus, profesional dan jujur dalam melaksanakan tugas,” pungkas Tommy.

 

Jadi bagaimana, Anda tertarik atau tertantang terjun ke profesi ini? 

Tags:

Berita Terkait