Menggugat Ketua Pengadilan Tinggi atas Penolakan Penyumpahan Advokat
Kolom

Menggugat Ketua Pengadilan Tinggi atas Penolakan Penyumpahan Advokat

Seharusnya Ketua Pengadilan Tinggi menyumpah semua advokat. Apapun organisasinya.

Bacaan 2 Menit
Menggugat Ketua Pengadilan Tinggi atas penolakan <br>  penyumpahan Advokat. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Menggugat Ketua Pengadilan Tinggi atas penolakan <br> penyumpahan Advokat. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 4 Ayat (1) menyebutkan: sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.

 
Dikarenakan menurut Mahkamah Agung masih terdapat konflik di tubuh organisasi advokat sehingga mengakibatkan perpecahan, maka Ketua Mahkamah Agung RI telah menerbitkan surat tertanggal 1 Mei 2009, No. 052/KMA/V/2009, dimana dalam surat tersebut pada intinya menyatakan: “........Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung terhadap adanya perselisihan, karenanya Ketua Pengadilan Tinggi tidak mengambil sumpah Advokat baru sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, karena akan melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.”

 

Terbitnya surat tersebut menimbulkan berbagai reaksi dari Advokat, salah satunya adalah dengan diajukannya permohonan uji materiil (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Pasal 4 Ayat (1) oleh HF. Abraham         Amos, SH., Djamhur, SH. dan Drs. Rizki Hendra Yoserizal, SH. kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana surat permohonannya tertanggal 27 Mei 2009 dan diregistrasi pada tanggal 24 Juni 2009 dengan nomor perkara: 101/PUU-VII/2009, dimana dalam petitum permohonannya : Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan UUD 1945, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi sebagaimana Putusan No. 101/PUU-VII/2009, tertanggal 29 Desember 2009, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 30 Desember 2009, amarnya antara lain berbunyi : Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”, karenanya Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”.

 

Pada tanggal 24 Juni 2010, antara Indra Sahnun Lubis, SH., yang mengatasnamakan KAI dengan Peradi, yang difasilitasi oleh Mahkamah Agung telah menandatangani Naskah Kesepahaman Bersama (MoU), maka Ketua Mahkamah Agung RI telah menerbitkan surat tertanggal 25 Juni 2010, No. 089/KMA/VI/2010, Perihal : Penyumpahan Advokat, dimana dalam surat tersebut pada intinya mencabut Surat Mahkamah Agung No. 052/KMA/V/2009, selanjutnya Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus Peradi, sesuai dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010.

 

Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 089/KMA/VI/2010 tersebut, secara hukum bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, karena yang dapat dilakukan pengambilan sumpah hanyalah Advokat yang diajukan oleh Pengurus Peradi saja, padahal Mahkamah Konstitusi sebagaimana Putusannya No. 101/PUU-VII/2009, tertanggal 29 Desember 2009 telah secara tegas menyatakan bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”.

 

Sebagai implikasi Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 089/KMA/VI/2010 tersebut, Pengadilan Tinggi Denpasar pada tanggal 24 Agustus 2010 telah melakukan pengambilan sumpah terhadap 38 (tiga puluh delapan) Advokat.

Tags: