Ramai-ramai Matikan Demokrasi Daerah
Kolom

Ramai-ramai Matikan Demokrasi Daerah

Dua bulan terakhir, media nasional memberitakan tiga kejadian menarik yang punya potensi bahaya bagi demokrasi di tingkat daerah.

Bacaan 2 Menit
Ramai ramai matikan Demokrasi daerah, Foto: Sgp
Ramai ramai matikan Demokrasi daerah, Foto: Sgp

Kejadian pertama adalah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendiskualifikasi salah satu pasangan kandidat sekaligus menetapkan kemenangan pasangan kandidat lainnya pada perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Kotawaringin Barat.

 

Kedua adalah wacana penunjukan gubernur oleh presiden yang dikemukakan oleh mantan petinggi lembaga negara. Dan ketiga, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal pemilukada sebagai pelaksanaan demokrasi berbiaya tinggi. Paling tidak bagi penulis, ketiganya menunjukkan gejala yang tidak baik dalam praktik demokrasi yang kini sedang berkembang di daerah. Samar-samar, semangat sentralistik tergambar dari putusan, pernyataan, dan pidato tersebut.

 

Awal bulan Juli, MK membuat putusan yang menimbulkan banyak tanggapan kontra dari para pengamat. Putusan pada perkara perselisihan hasil pemilihan umum daerah (PHPUD) Kabupaten Kotawaringin Barat tersebut dinilai telah melampaui kewenangan yang dimiliki MK. Putusan itu kontroversial karena—hingga kini—menjadi satu-satunya putusan PHPUD yang mendiskualifikasi salah satu kandidat peserta pemilukada sekaligus memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk menetapkan kandidat lainnya sebagai pemenang.

 

Apa yang dilakukan oleh MK melalui putusan itu berada di luar koridor kewenangannya untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum seperti diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Penentuan pemenang pemilukada sendiri telah diatur jelas oleh dua peraturan, yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

 

UU Pemda dan PP Pemilukada menyatakan bahwa pemenang pemilukada ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak. Lebih lanjut, Pasal 5 huruf e PP Pemilukada menyebutkan bahwa KPU—di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota—diberikan tugas dan wewenang untuk menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara serta mengumumkan hasil pemilihan.

 

Bukan negative legislator

MK, yang dalam tiga tahun terakhir menyidangkan hampir dua ratus perkara PHPUD, justru mengabaikan norma-norma yang telah diatur jelas. Berbeda dengan peran MK sebagai negative legislator pada perkara pengujian undang-undang yang dapat menguji ketentuan serta menghilangkan keberlakuan suatu norma dalam undang-undang, dalam sidang PHPUD, MK tidak dapat menggunakan peran negative legislator karena dituntut untuk menggunakan norma yang sudah ada sebagai dasar pijakan mengambil keputusan.

 

Berdasarkan rekapitulasi perkara PHPUD yang dimuat di situs resmi MK, lima belas permohonan dikabulkan dari total 182 perkara PHPUD yang diterima MK sejak 2008 hingga 20 Agustus 2010. Dari kelima belas putusan yang mengabulkan itu, bentuk putusan yang paling sering ditemukan adalah yang amarnya menyebutkan dua hal. Pertama, menyatakan tidak sah hasil penghitungan suara yang telah ditetapkan oleh KPU tingkat daerah. Kedua, memerintahkan KPU tingkat daerah untuk melakukan pemungutan suara ataupun penghitungan suara ulang.

Halaman Selanjutnya:
Tags: