Perpres Pengadaan Barang dan Jasa 2010 Dinilai Punya Kelemahan
Berita

Perpres Pengadaan Barang dan Jasa 2010 Dinilai Punya Kelemahan

Ada peluang korupsi berkaitan dengan batas maksimum penunjukan langsung. LKPP bantah penilaian itu.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) <br> Heni Yulianto. Foto: Sgp
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) <br> Heni Yulianto. Foto: Sgp

Hingga kini, modusw korupsi yang paling sering diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Pengusaha berkolaborasi dengan oknum instansi pemerintah. Setidaknya, dari seluruh penanganan perkara korupsi yang dilakukan KPK, sekitar 70% berasal dari pengadaan barang dan jasa.

 

Hal ini pula yang membuat pejabat pemerintahan baik di pusat dan di daerah takut untuk melakukan pengadaan barang dan jasa karena rentan terjadi korupsi. Atas dasar itu, pihak pemerintah  berinisiatif merevisi Keppres No. 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa dengan tujuan metode pengadaan dapat menjadi efisien, efektif dan akuntabel. Akhirnya, lahirlah Perpres No. 54 Tahun 2010 (Perpres 54) sebagai aturan baru tentang pengadaan barang dan jasa.

 

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Heni Yulianto melihat, penyusunan Perpres 54 terkesan terburu-buru. Hal ini terlihat dari masih banyaknya lubang di beberapa pasal dalam Perpres. Misalnya, Perpres ini tidak menjadikan UU yang berpihak ke publik sebagai rujukan atau dasar hukum dari dikeluarkannya Perpres. “Seperti UU Keterbukaan Informasi Publik, padahal, aturan pengadaan barang dan jasa selalu berkaitan dengan pelayanan pemerintah ke masyarakatnya,” katanya.

 

Selain itu, terdapat potensi besar terjadinya korupsi dari Perpres ini yang ditandai dengan tingginya batasan maksimum dari penunjukan langsung yaitu Rp100 milyar. Ini terdapat dalam Pasal 17 Ayat (2) huruf g Perpres No. 54 Tahun 2010. Padahal, dalam aturan sebelumnya Keppres No. 80 Tahun 2003, nilai maksimun proyek dengan metode penunjukan langsung adalah Rp50 juta. Dengan nilai anggaran yang besar, potensi terjadinya korupsi juga semakin besar.

 

“Penunjukan langsung ini ditetapkan oleh ULP (Unit Layanan Pengadaan), selaku unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan pengadaan barang dan jasa. Ini bisa berdampak kepada munculnya niat untuk korupsi karena pagu nilainya sangat besar, dengan begitu kesempatan otomatis tercipta sehingga niat korupsi terjadi,” tutur Heni saat dihubungi hukumonline.

 

Lebih dari itu, urai Heni, pada pasal 38 Perpres 54, mengizinkan Panitia Barang dan Jasa (PBJ) untuk melakukan penunjukan langsung. Ada beberapa bidang yang dibenarkan oleh pasal ini untuk dilakukannya penunjukan langsung, seperti sarana kesehatan, kendaraan dinas, akomodasi kegiatan dinas, kenadaraan bermotor dan perhotelan.

 

Di luar itu, Heni menyayangkan Perpres yang tak mengatur conflict of interest dalam persaingan pelelangan. Padahal, kemungkinan adanya hubungan khusus antara panitia lelang dengan peserta dapat terjadi. Misalnya, ada hubungan darah antara peserta lelang dengan panitia, jika tak ada aturan khusus mengenai ini, maka kemungkinan terjadinya kebocoran informasi rahasia seputar pelelangan dapat terjadi. “Harusnya ditegaskan panitia yang punya hubungan khusus dengan calon lelang dikomunikasikan ke publik. Ini bermaksud untuk menghindari terjadinya kebocoran informasi yang rahasia,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: