Hakim Agung: Berbahaya Jika Opini Publik Mempengaruhi Putusan
Berita

Hakim Agung: Berbahaya Jika Opini Publik Mempengaruhi Putusan

Pendekatan restorative justice seharusnya mulai masuk sistem peradilan pidana.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Hakim Agung: Berbahaya Jika Opini Publik Mempengaruhi Putusan
Hukumonline

Tata ulang secara menyeluruh kekuasaan kehakiman merupakan kebutuhan. Hasil penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) terbaru merekomendasikan perlunya kebutuhan dalam jangka panjang menyusun ulang bangunan kelembagaan kekuasaan kehakiman. Termasuk mengenai penataan kewenangan melakukan judicial review terhadap semua tingkat perundang-undangan, pengadilan khusus, pengawasan eksternal, dan perluasan kewenangan peradilan tata usaha negara (TUN).

 

Namun dalam penataan ulang kekuasaan kehakiman tersebut politik hukum dalam bentuk intervensi eksekutif dan legislatif harus diwaspadai. Dalam pembentukan payung hukum kelembagaan kekuasaan kehakiman, pengaruh masyarakat luas tidak bisa dihindari. Menurut hakim agung Abdul Gani Abdullah, dalam penataan ulang itu akan terjadi pertarungan antara politik hukum dengan kepentingan penegakan hukum.

 

Ironisnya, politik hukum sering dipengaruhi opini publik. Politik hukum yang dibangun lebih banyak pada opini publik bisa berbahaya. Apalagi jika opini publik itu dijadikan landasan pengambilan keputusan oleh majelis hakim. Hakim jangan terlalu terpengaruh pada social trust. “Hakim bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada social trust,” tandas Gani di sela-sela Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) 2010 yang dilaksanakan Komisi Hukum Nasional di Jakarta, Selasa (09/11).

 

Tekanan terhadap majelis hakim berupa demonstrasi dan berteriak-teriak di ruang sidang terus terjadi. Misalnya aksi kekerasan yang dilakukan keluarga terdakwa kasus pembunuhan di PN Ambon. Keluarga terdakwa sampai merusak fasilitas pengadilan karena hakim menolak pelaksanaan upacara adat di ruang sidang sebelum putusan dijatuhkan. Polisi sampai harus mengevakuasi hakim dari ruang sidang.

 

Menurut Abdul Gani, kumulasi antara intervensi, politik hukum, dan opini publik yang menerobos ke dalam proses penegakan hukum melahirkan tiga keadaan. Pertama, politik kekuasaan dan politik hukum akan menjadi gangguan bagi proses penegakan hukum. Sebagian orang berpendapat bahwa keadaan ini melahirkan penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement). Opini publik lebih menekankan pada social justice, sedangkan penegakan hukum bertujuan menciptakan legal justice. Keadaan kedua, opini publik membentuk rasa tidak percaya –bahkan mungkin antipati—terhadap lembaga penegakan hukum. Keadaan ketiga adalah gambaran disharmoni antara lembaga-lembaga penegak hukum. Opini publik seolah menyimpulkan koordinasi antarlembaga penegak hukum sangat mengkhawatirkan.

 

Dalam konteks keadaan ketiga tadi, Indonesia pernah mengenal Mahkejapol, yaitu forum dialog antara Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian. Juga ada Mahdepag, yakni Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Forum koordinasi ini, kata Abdul Gani, tidak terjadi lagi sejak penyatuan atap kekuasaan kehakiman berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999. “Mahkamah Agung sudah dapat menjalankan sepenuhnya pembinaan teknis, administrasi, dan finansial seluruh lingkungan peradilan di bawahnya” papar mantan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan itu.

 

Kebebasan hakim dalam memutus perkara, lanjut Gani, harus benar-benar dijaga. Sekalipun misalnya Mahkamah Agung menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap peradilan di bawahnya, Mahkamah Agung tetap “tidak boleh mempengaruhi kebebasan hakim” dalam memutus perkara yang ditanganinya. Kebebasan hakim memutus perkara adalah pesan konstitusional pasal 24, pasal 24 A, dan pasal 24C UUD 1945.

Halaman Selanjutnya:
Tags: