Kultur Polisi di Tengah Bingkai Reformasi dan Hasil Riset
Fokus

Kultur Polisi di Tengah Bingkai Reformasi dan Hasil Riset

Sejumlah jajak pendapat dan hasil penelitian menunjukkan reformasi polisi belum berhasil seperti yang diharapkan. Butuh perubahan pola pikir dan budaya.

Oleh:
Mys/M-10
Bacaan 2 Menit
Kultur Polisi di tengah bingkai Reformasi dan hasil riset,<br> Foto: Sgp
Kultur Polisi di tengah bingkai Reformasi dan hasil riset,<br> Foto: Sgp

Menduduki kursi Kapolri dalam hitungan minggu, Jenderal Timur Pradopo sudah harus menguras tenaga dan pikiran menyelesaikan segudang masalah. Dalam hitungan hari menjabat, ia sudah dihadapkan pada kasus kepergian Gayus Halomoan Tambunan ke Bali. Petugas Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob Kelapa Dua Depok membiarkan Gayus keluar sel dengan imbalan uang ratusan juta rupiah. Gara-gara kasus ini, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum –termasuk polisi-- kembali ke titik nadir.

 

Itu baru satu kasus. Masih banyak pekerjaan rumah kepolisian yang belum kelar. Perilaku oknum polisi di lapangan terus menjadi noktah bagi reformasi institusi kepolisian yang sudah digagas sejak 1999. Sebagai orang nomor satu di kepolisian, Jenderal Timur Pradopo mencoba bersikap tegas. Sembilan petugas Rutan Mako Brimob yang lalai menjaga Gayus dicopot dan dinyatakan sebagai tersangka. Ia juga berjanji dalam waktu 10 hari berkas pemeriksaan kesembilan oknum polisi itu rampung.

 

Di bidang lalu lintas, Timur juga mencoba mengubah pendekatan. Dalam Rapat Koordinasi Lalu Lintas (Rakorlantas) se-Indonesia, 18 November lalu, Kapolri menegaskan agar anggota lantas mengedepankan aspek pencegahan, imbauan, dan teguran ketimbang law enforcement. Tindakan hukum sebaiknya dilakukan jika pelanggaran lalu lintas bersifat esensial menyebabkan kemacetan atau kecelakaan.

 

Perubahan paradigma dan pendekatan dilakukan di bidang lain.  Di kampus Universitas Indonesia pekan lalu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, I Ketut Untung Yoga, menjelaskan ihwal reformasi yang kini gencar dilakukan kepolisian. Buku Biru Kepolisian telah memuat strategi besar reformasi Polri hingga 2025 mendatang. Kepercayaan masyarakat merupakan salah satu yang hendak dicapai. Menurut Ketut Untung Yoga, reformasi tak hanya berkutat pada struktur dan instrumen, tetapi juga kultur alias budaya dan mindset.

 

Akademisi Universitas Padjadjaran Bandung, Yesmil Anwar, berpendapat budaya buruk sudah mengakar pada sejumlah oknum kepolisian. Pelanggaran hukum seperti mengizinkan Gayus keluar rutan dengan imbalan uang dianggap sebagai perbuatan yang wajar. Kondisi itu makin diperparah karena pengawasan dari luar diri oknum polisi tidak jalan sebagaimana mestinya. “Kultur sosialnya sudah lemah. Inner controlnya dari polisi sendiri, dan external control dari lembaga, kurang,” kata Yesmil.

 

Ketut Untung Yoga tak menampik sinyalemen Yesmil. Mantan Kapolres Tangerang ini mengakui mengubah kultur merupakan salah satu yang tersulit dalam rangka reformasi kepolisian. Sebab, kultur melanggar hukum sangat tergantung moral dan mentalitas masing-masing anggota kepolisian. “Tidak dipungkiri, banyak anggota kepolisian yang kerap menganiaya, menyiksa sehingga tahanan mati, merekayasa BAP, dan menerima suap,” ujarnya.

 

Hasil Riset

Banyak faktor yang menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Survei opini publik yang dilaksanakan Lembaga Survei Indonesia (LSI) 10-12 Oktober lalu misalnya menunjukkan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dinilai publik memiliki nilai integritas yang buruk. Kepolisian dianggap masyarakat tidak mampu mencegah aparatnya dari tindakan korupsi dan dari tekanan atau suap oleh kelompok kepentingan dalam masyarakat. Dibanding kejaksaan dan pengadilan, kepolisian mendapat nilai terburuk dari sisi integritas. “Berdasarkan penilaian publik, hanya KPK yang aparatnya dinilai punya integritas,” papar Burhanuddin Muhtadi, peneliti LSI.

Tags: