Polri Bersikukuh Tolak Hakim Komisaris
Utama

Polri Bersikukuh Tolak Hakim Komisaris

Masih banyak juga kekhawatiran akan kinerja hakim komisaris.

Oleh:
MVT
Bacaan 2 Menit
Kapolda Jawa Timur Badrodin Haiti menolak konsep hakim komisaris.<br> Foto: Sgp
Kapolda Jawa Timur Badrodin Haiti menolak konsep hakim komisaris.<br> Foto: Sgp

Konsep hakim komisaris yang diwacanakan dalam rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kembali mendapat penolakan. Kali ini, suara sumbang datang dari Kapolda Jawa Timur, Badrodin Haiti. Ia menanggap perbaikan mekanisme praperadilan lebih baik dilakukan daripada membuat konsep baru yang belum familiar di Indonesia.

 

Badrodin mengatakan, revisi KUHAP menginginkan tiap kabupaten/kota memiliki dua orang hakim komisaris. Namun, ia menganggap jumlah ini tidak akan mencukupi. “Sebab, tugas hakim komisaris akan sangat luas,” ujarnya dalam Seminar Evaluasi dan Masukan Revisi KUHAP Terkait Upaya Paksa, di Jakarta, Selasa (30/11).

 

 

Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana

 

Hakim Komisaris

Pasal 72

Hakim Komisaris berwenang untuk memutus atau menetapkan:

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; perlu tidaknya dilakukan penahanan sebagaiman dimaksud dengan Pasal 53; ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang ditahan secara tidak sah; pelampauan batas waktu penyidikan dan penuntutan;dapat tidaknya dilakukan pemeriksaan tanpa didampingi oleh penasihat hukum;

 

Putusan Hakim Komisaris dilakukan atas permohonan tersangka atau korban, sedangkan penetapan Hakim Komisaris dilakukan atas prakarsa sendiri setelah menerima tembusan surat penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas.

 

Meski tidak jauh berbeda dengan kewenangan praperadilan saat ini, Badrodin menilai hakim komisaris harus melakukan investigasi tentang benar/tidak upaya paksa yang dilakukan penyidik. Hal ini yang membedakan dengan kewenangan praperadilan. Menurutnya, praperadilan hanya memeriksa kelengkapan administratif upaya paksa.

 

Jumlah hakim yang hanya dua orang tiap kabupaten/kota dinilai tidak layak oleh Badrodin. Sebab, tugas investigasi tersebut mengharuskan hakim komisaris untuk turun ke lapangan dan memeriksa banyak hal. “Tidak akan mampu,” tukasnya.

 

Penambahan jumlah hakim komisaris, menurut Badrodin, juga tidak menyelesaikan masalah. Sebab, jumlah hakim di Indonesia terbatas. Berdasarkan revisi KUHAP, seorang hakim komisaris diangkat oleh Menteri Kehakiman untuk masa jabatan dua tahun.

Ia diangkat dari pengadilan setempat. Selama diangkat jadi hakim komisaris, yang bersangkutan dibebaskan dari tugas mengadili semua jenis perkara dan tugas lain yang berhubungan dengan tugas pengadilan. “Jumlahnya terbatas,” ujarnya.

Tags: