MA Kembali Wacanakan Pembatasan Perkara
Berita

MA Kembali Wacanakan Pembatasan Perkara

Untuk mengurangi volume perkara, DPR diminta merevisi sejumlah undang-undang yang mengatur upaya hukum kasasi.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Tumpukan perkara yang tak kunjung terkikis mendorong MA kembali<br> pikirkan wacana pembatasan perkara. Foto: Sgp
Tumpukan perkara yang tak kunjung terkikis mendorong MA kembali<br> pikirkan wacana pembatasan perkara. Foto: Sgp

Tumpukan perkara yang tak kunjung terkikis mendorong Mahkamah Agung (MA) memikirkan kembali wacana pembatasan perkara. “Nanti konsep (pembatasan perkara) kita akan dibicarakan lewat pemerintah dan DPR untuk merevisi undang-undang karena menyangkut hukum acara yang harus dipahami semua orang,” kata Ketua MA Harifin A Tumpa di gedung MA, Jum’at (10/12).

 

Menurutnya, pembatasan perkara yang bisa diajukan kasasi sudah lama dikembangkan di beberapa maju. Kriterianya, kata Harifin, akan dikaji oleh tim yang akan dibentuk MA. “Kriteria pembatasan perkara yang bisa diajukan kasasi atau cukup sampai tingkat banding akan dikaji tim dari internal yang akan dibentuk tahun depan,” kata Harifin.

 

Kini, lanjutnya, undang-undang hanya mengatur pembatasan perkara pidana yang ancamannya kurang dari setahun yang tidak bisa diajukan kasasi. “Apa nanti berdasar nilai atau jenis, misalnya untuk kasus pencurian tidak sampai Rp1 juta akan dikaji oleh tim apa tidak perlu diajukan kasasi?"

 

Terkait hal ini, Harifin pun mengusulkan agar perkara pajak tidak perlu diajukan upaya hukum ke MA (peninjauan kembali, red). Akan tetapi, cukup hanya sampai tingkat banding. Hal ini juga dalam rangka mengurangi penumpukan jumlah perkara yang masuk ke MA.  

 

Sekedar mengingatkan, sepanjang 2010, Ditjen Pajak telah mengajukan 617 permohonan PK. Belum lagi, perkara pajak yang diajukan PK oleh wajib pajak. Sementara Ditjen Pajak hanya mengetahui satu putusan PK yang telah diputus oleh MA yakni perkara pajak atas banding yang diajukan PT Kaltim Prima Coal.

   

Harifin menegaskan ide pembatasan perkara ini muncul lantaran semakin banyaknya perkara yang masuk ke MA, sehingga terjadi penumpukan perkara yang belum tertangani. Menurut Harifin, tahun ini MA masih memiliki perkara yang sedang berjalan sebanyak 9.370 perkara.

 

Sejak Januari hingga November 2010 perkara yang masuk adalah 12.800 perkara, kemudian ditambah tunggakan 2009 sebanyak 8.893 perkara. Dengan demikian, total perkara masuk di tahun 2010 sebanyak kurang lebih 21 ribuan perkara. "Yang berhasil diputus ada sekitar 12 ribuan, sehingga perkara yang masih berjalan 9.370 perkara.”

 

Revisi undang-undang

Dihubungi terpisah, peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independesi Peradilan (LeIP) Arsil mengakui bahwa perkara yang masuk di MA setiap tahunnya bertambah. “Sejak lima tahun terakhir (2006-2010) telah terjadi peningkatan jumlah perkara di MA. Tahun 2006 perkara yang masuk sekitar 7.500-an, tahun 2010 sekitar hampir 13 ribuan, belum ditambah sisa perkara setiap tahunnya,” kata Arsil. 

 

Menurutnya, tunggakan perkara di MA terjadi lantaran DPR kerap membuat undang-undang yang mengatur hukum acaranya dimulai dari pengadilan tingkat pertama langsung kasasi. Karena itu, DPR mesti merevisi sejumlah undang-undang itu. “Tidak ada ‘filter’ di pengadilan tinggi terlebih dahulu, seperti perkara perselisihan hubungan industrial (PHI), kepailitan, pajak, konsumen,” katanya.

 

Selain itu, tunggakan perkara juga disebabkan dalam praktek putusan bebas bisa diajukan kasasi meski KUHAP melarang hal itu. “Saya usulkan putusan bebas bisa diajukan banding sebagai putusan tingkat terakhir,” sarannya. 

 

Selain itu, Arsil juga mengusulkan susunan beracara untuk perkara PHI atau perceraian diubah, cukup sampai pengadilan tingkat banding sebagai pengadilan judex jurist (tidak mengadili fakta) dan merevisi KUHAP soal aturan upaya hukum terhadap putusan bebas. “Seperti usulan MA agar pengadilan pajak cukup sampai tingkat banding,” sambungnya.

 

Menurut Arsil, merevisi hukum acara perdata khususnya untuk perkara perdata ringan (small claim court) juga perlu dilakukan. Misalnya, untuk gugatan wanprestasi (ingkar janji) yang nilai tuntutan ganti kerugiannya di bawah Rp100 juta atau Rp50 juta, beracaranya cukup sampai tingkat banding. 

 

“Ini dapat mengurangi arus perkara ke MA, karena hampir 90 persen jenis perkara yang masuk ke MA adalah perkara perdata dan pidana,” ungkapnya.

Tags: