Membidik Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Kasus Gayus
Utama

Membidik Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Kasus Gayus

Di Indonesia, belum ada korporasi yang dipidana padahal peraturan perundang-undangan sudah memungkinkan sejak 1955. Kasus Gayus Tambunan diharapkan bisa menjadi ‘yurisprudensi’ pemidanaan korporasi.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Penyidik harus bisa memintai tanggung jawab pidana korporasi dalam<br> kasus Gayus Haloman Tambunan. Foto: Sgp
Penyidik harus bisa memintai tanggung jawab pidana korporasi dalam<br> kasus Gayus Haloman Tambunan. Foto: Sgp

Kasus dugaan mafia pajak dan mafia hukum dengan terdakwa Gayus Halomoan Tambunan masih berlangsung. Sejumlah kalangan, termasuk kuasa hukum Gayus, Adnan Buyung Nasution menyayangkan langkah penyidik dan penuntut umum yang hanya menyasar Gayus. Sementara, perusahaan yang diduga memberikan sejumlah uang kepada Gayus sejauh ini belum tersentuh.

 

Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Prof Mardjono Reksodiputro menyarankan kepada penyidik Mabes Polri yang sedang menangani kasus mafia pajak jilid kedua tidak hanya menyasar manusia. “Penyidik harus bisa memintai tanggung jawab pidana korporasi,” ujarnya dalam seminar di Jakarta, Kamis (16/12).

 

Mardjono menjelaskan secara konsep hukum yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah orang. Pengertian orang adalah manusia atau badan hukum. “Jadi, tak masalah bila nanti perusahaan yang menyuap Gayus dijadikan tersangka atau terdakwa,” tuturnya.

 

Lebih lanjut, Mardjono menjelaskan hukum Indonesia telah mengenal konsep pertanggungjawaban pidana korporasi sejak 1955 melalui UU Tindak Pidana Ekonomi. Sampai saat ini juga banyak undang-undang yang mengenal konsep pertanggungjawaban korporasi, seperti UU Lingkungan Hidup, UU Terorisme, UU Narkotika dan lain sebagainya. Namun, sayangnya, belum ada satu kasus pun yang bisa mempidanakan korporasi.

 

“Sejak 55 tahun yang lalu, belum ada satu kasus pun yang berujung kepada pemidanaan korporasi. Dulu ada korporasi yang sempat dijadikan terdakwa, PT Newmont Minahasa, dalam kasus pencemaran lingkungan. Namun, putusan pengadilan menyatakan PT Newmont Minahasa dibebaskan,” jelas Mardjono.

 

Karenanya, Mardjono berharap bila kasus Gayus ini bisa menjadi pintu masuk diterapkannya pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi di Indonesia. “Saya berharap ini bisa direspon positif oleh penyidik dan pengadilan. Sehingga bisa menjadi yurisprudensi,” tambahnya.

 

Mardjono mengaku sanksi pidana yang bisa dikenakan kepada korporasi memang hanya berupa denda. Namun, menurutnya, sanksi denda bagi korporasi ini bisa lebih besar dibanding denda kepada terpidana manusia. “Kalau perusahaannya yang disasar, bisa lima tahun mereka tidak melakukan pembagian keuntungan,” tuturnya.

 

Pada kesempatan yang sama, Dosen Psikologi Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengakui kasus Gayus ini sangat berkaitan dengan persoalan etika bisnis. Ia menyebutkan adanya kecenderungan psikologis perusahaan untuk terus mencari keuntungan dalam menjalankan usahanya.

 

“Bila pajaknya Rp2 Triliun, tapi dia bisa membayar suap Rp300 Miliar untuk menghilangkan kewajiban itu. Ya, mereka pasti mau. Tinggal dihitung saja seberapa besar resikonya,” ujar Hamdi. 

 

Bukti Permulaan      

Penasehat Kapolri, Kastorius Sinaga mengaku bisa saja penyidik Mabes Polri menyasar badan hukum atau perusahaan untuk membongkar kasus pajak. “Saya rasa usulan Prof Mardjono itu cukup bagus,” tuturnya. Namun, ia mengatakan secara teknis agak susah untuk mengumpulkan alat bukti dalam perkara Gayus.

 

Kastorius berharap koordinasi antara penyidik Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pajak dapat terus dilakukan. Selama ini, ia mengatakan penyidik kesulitan memperoleh data atau bukti dari PPNS Pajak. “Dalam UU Pajak memang tidak ada kewajiban, PPNS Pajak menyerahkan bukti-bukti ke penyidik polri,” tuturnya.

 

Ia menambahkan tantangan terbesar penyidik kepolisian untuk menyasar korporasi sebagai tersangka adalah menemukan dua alat bukti permulaan terlebih dahulu. “Ini baru bisa terlaksana bila PPNS Pajak mau menyerahkan dokumen-dokumen yang bisa dijadikan bukti oleh penyidik kepolisian,” jelasnya.

 

Saat ini, Kastorius mengungkapkan Mabes Polri terus berusaha untuk berkoordinasi dengan Ditjen Pajak dan sejumlah lembaga penegak hukum lainnya. “Dalam waktu dekat akan diadakan pertemuan. Bahkan, ada usulan untuk membentuk tim kecil agar penyidik kepolisian dan PPNS Pajak dapat berkoordinasi dengan baik,” pungkasnya.

Tags: