Sulit Menggugat Produsen Pesawat Akibat Cacat Produk di Indonesia
Berita

Sulit Menggugat Produsen Pesawat Akibat Cacat Produk di Indonesia

Korban atau ahli waris korban kecelakaan pesawat lebih memilih mediasi ketimbang litigasi.

Oleh:
CR-10
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi foto: www.nyebur.com
Ilustrasi foto: www.nyebur.com

Dengan menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan pembuat pesawat udara atau produsen wajib membayar ganti rugi kepada penumpang dalam hal terjadi kecelakaan akibat cacat produk. Baik karena cacat rancangandan cacat perakitan, maupun cacat akibat salah menetapkan instruksi yang memadai.

 

Tetapi berdasarkan penelitian Ahmad Sudiro, penumang pesawat Indonesia selaku konsumen sulit melayangkan gugatan ganti rugi kepada produsen akibat cacat produk. Dalam disertasi doktor yang dipertahankan di hadapan Senat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sabtu (15/1) pekan lalu, dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Jakarta ini memberikan dua alasan penting.

 

Pertama,  belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur ganti rugi kepada penumpang akibat cacat produk pesawat. Kedua, jika penumpang atau ahli waris korban kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk hendak mengajukan gugatan, mereka biasanya diminta menandatangani statement of release and discharge. Dokumen ini antara lain menyatakan “pihak yang menerima pembayaran ganti rugi telah melepaskan dan membebaskan tuntutan/gugatan kepada perusahaan penerbangan maupun perusahaan pembuat pesawat udara dari tanggung jawabnya untuk membayar ganti kerugian selanjutnya”.

 

Menurut Sudiro, ketentuan release and discharge itu sebenarnya tidak adil dan sangat merugikan penumpang atau ahli warisnya. Dalam praktik di Indonesia, kata Sudiro, mereka yang tidak melepaskan hak untuk menuntut ganti rugi akibat cacat produk dapat mengajukan ganti kerugian terhadap produsen pesawat udara ke pengadilan.

 

Selain produsen pesawat, menurut Sudiro, ada dua pihak lain yang punya tanggung jawab membayar ganti rugi kepada penumpang atau ahli warisnya akibat kecelakaan, yakni perusahaan penerbangan sebagai pengangkut dan perusahaan asuransi. Merujuk pada pasal 1365 KUH Perdata, maskapai penerbangan harus membayar ganti rugi kepada penumpang atau ahli waris, juga berdasarkan strict liability. Dalam praktik di Indonesia –juga dunia internasional—penumpang yang cacat, meninggal dunia, menderita kerugian mental berhak mendapatkan ganti rugi dari maskapai.

 

Menariknya, berdasarkan kajian pria kelahiran Februari 1967 itu, penumpang atau ahli warisnya lebih memilih jalur mediasi ketimbang litigasi untuk memperoleh ganti rugi. Penumpang, papar Sudiro, merasa jalur mediasi dapat meminimalisir biaya dan lebih bermanfaat. Dengan kata lain, jalur mediasi lebih efektif dan efisien bagi kedua belah pihak.

 

Ketiga, ganti rugi dari perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi dalam konteks ini merupakan penanggung yang menjamin pengalihan resiko kerugian penumpang udara sesuai dengan jumlah jaminan pembayaran yang dipertanggungkan. Sesuai Undang-Undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, penumpang atau agli waris berhak mendapat ganti rugi dari PT Asuransi Jasa Raharja. Premi dibayar pada saat penumpang membayar tiket.

Tags: