Bagaimana Membuat Kontrak Sulit Digugat
Berita

Bagaimana Membuat Kontrak Sulit Digugat

Kontrak yang baik akan sulit digugat secara formil.

Oleh:
David (HOLE)
Bacaan 2 Menit
Kontrak atau akta adalah alat bukti yang kuat dalam hubungan<br> masyarakat. Foto: Projeckt (Sari)
Kontrak atau akta adalah alat bukti yang kuat dalam hubungan<br> masyarakat. Foto: Projeckt (Sari)

Kontrak atau akta adalah alat bukti yang kuat dan memiliki peranan penting di dalam hubungan masyarakat. Kontrak merupakan bukti bahwa telah terdapat suatu perbuatan hukum yang terjadi dalam masyarakat. Karena itu perlu persiapan matang para pihak ketika hendak merancang kontrak. Merancang kontrak tak ubahnya membuat sebuah cerita.

 

Pentingnya persiapan untuk membuat kontrak disampaikan Brigitta I Rahayoe, saat menjadi pembicara dalam seminar “Teknik Merancang Kontrak Yang Tanpa Celah dan Tahan Gugatan” di Surabaya, Kamis (10/2). Perhelatan ini merupakan bagian dari legal roadshow kerjasama Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan hukumonline.

 

Saat membuat kontrak, perancang dan para pihak memerlukan nalar logis, termasuk memikirkan kemungkinan yang terjadi di masa mendatang. “Perancang kontrak harus menulis kontrak bagaikan sebuah ‘cerita’ yang dituliskan dengan baik,” ujar Brigitta.

 

Meskipun kontrak sudah disusun bak sebuah cerita dengan alur yang runut dan kisah yang logis, bukan berarti kontrak lepas dari persoalan. Menurut Brigitta, sebagus apapun isi suatu kontrak, gugatan tetap saja mungkin terjadi. “Apalagi salah satu pihak pada kontrak melakukan wanprestasi,” ujar partner pada kantor hukum Brigitta I. Rahayoe & Partners ini.

 

Untuk meminimalisir potensi gugatan, Brigitta menyarankan agar kontrak disusun dengan baik dari segala aspek. Kontrak yang disusun dengan baik, akan sulit digugat. “Yang mungkin terjadi adalah, perancangan kontrak yang baik akan membuat kontrak itu sulit digugat secara formil,” imbuhnya.

 

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menjadi dasar bagi pihak-pihak yang menjanjikan prestasi, cenderung memunculkan posisi yang tidak seimbang. Seringkali para pihak mengikatkan diri dengan pemikiran yang penting mendapatkan kontraknya dahulu, pelaksanaan belakangan. “Hal inilah yang menjadi cikal bakal suatu gugatan dilayangkan,” ujarnya.

 

Untuk menghindari gugatan, Brigitta menambahkan, para pihak dalam perjanjian harus benar-benar memperhatikan syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. “Dalam kata lain, para pihak harus memperhatikan syarat formil subyek dan juga syarat formil obyek dalam sebuah kontrak,” ujarnya sambil memberikan beberapa contoh kasus mengenai wanprestasi dalam sistem hukum Anglo-Saxon yang pernah dia tangani.

Tags: