Membubarkan Kebencian
Kolom

Membubarkan Kebencian

Ketika Presiden SBY berbicara tentang pembubaran Ormas, sesungguhnya presiden sedang bicara tentang selembar kertas yang disebut SKT itu.

Bacaan 2 Menit
Eryanto Nugroho (tengah) ilustrasi Foto: Sgp
Eryanto Nugroho (tengah) ilustrasi Foto: Sgp

Setelah terjadi rentetan tindak kekerasan, di Cikeusik dan di Temanggung, Presiden SBY memerintahkan pada aparat penegak hukum agar “mencarikan jalan yang sah atau legal” untuk membubarkan Ormas perusuh.

 

Ada suatu kerumitan tersendiri dalam melaksanakan perintah “mencari jalan yang sah atau legal” itu. Pasalnya peraturan yang ada masih berupa peraturan usang peninggalan rezim Orde Baru yang represif. Ormas, kependekan dari Organisasi Kemasyarakatan (bukan organisasi masa), masih diatur dengan UU No 8 Tahun 1985 tentang Ormas.

 

Dengan UU Ormas, perintah Presiden untuk membubarkan Ormas perusuh menjadi problematik karena langsung berhadapan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh konstitusi. Pasalnya,  UU Ormas dan peraturan pelaksanaannya memungkinkan Pemerintah untuk membekukan dan membubarkan Ormas secara sepihak tanpa melalui suatu proses peradilan.

 

Senjata Usang Warisan Orba

Sebelum lebih jauh membahas soal pembubaran Ormas, perlu diketahui terlebih dahulu konteks terkait UU Ormas ini. UU Ormas lahir tahun 1985 dengan semangat kontrol dan represi khas rezim Orde Baru. Dalam berbagai pasalnya, kental sekali semangat untuk mengontrol dinamika organisasi kemasyarakatan yang mulai marak saat itu.

 

Salah satu upaya kontrol ialah dengan memaksakan konsep “wadah tunggal”. Konsep wadah tunggal ini bermaksud untuk melokalisir satu kelompok yang dianggap sejenis dalam satu wadah yang “sah” sehingga hanya ada satu wadah untuk setiap jenis kelompok. UU Ormas dalam penjelasannya mencontohkan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) untuk wadah pemuda, dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) untuk tani.

 

Selain mencoba menerapkan konsep wadah tunggal, UU Ormas juga memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif.

 

Paling tidak ada lima hal pokok yang bisa membuat suatu Ormas dibekukan atau dibubarkan secara sepihak oleh Pemerintah.

 

Pertama, bila Ormas tidak mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam anggaran dasarnya. Kedua, bila dianggap mengganggu ketertiban umum. Ketiga, bila menerima bantuan asing tanpa persetujuan Pemerintah. Keempat, bila memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan bangsa. Kelima, Ormas juga dapat dibubarkan dan dinyatakan sebagai sebagai organisasi terlarang bila dianggap mengembangkan dan menyebarkan paham Komunisme, Marxisme-Leninisme serta ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

 

Kelima hal tersebut dapat berujung pada pembubaran tanpa proses peradilan. Pembubaran dengan cara ini tentu membuka peluang kesewenang-wenangan yang membahayakan bagi kebebasan berserikat berkumpul. Dengan UU Ormas, kebebasan berserikat berkumpul sebetulnya berada dalam ancaman serius.

 

UU Ormas memang lahir lebih dengan argumentasi politik, bukan hukum. Dari segi hukum, pengaturan mengenai organisasi yang berisi sekumpulan orang sebenarnya lebih tepat diatur dengan UU Perkumpulan. Sampai saat ini badan hukum Perkumpulan masih diatur dengan peraturan kuno yaitu Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen). Sudah ada inisiatif untuk merevisi Staatsblad tersebut dengan RUU Perkumpulan, namun nasibnya masih belum jelas.

 

RUU yang naskahnya sudah siap di Departemen Hukum dan HAM sejak tahun 90an ini terus saja tergeser oleh RUU lain yang daya dorong politiknya lebih kuat. Tahun 2001, RUU Perkumpulan diceraikan dari RUU Yayasan. Sebelumnya, judul awal naskahnya adalah “RUU Yayasan dan Perkumpulan”. Karena desakan untuk membereskan berbagai yayasan milik mantan Presiden Soeharto saat itu, UU Yayasan dibentuk lebih dahulu meninggalkan RUU Perkumpulan yang hingga kini teronggok di Departemen Hukum dan HAM.

 

Pada 30 Agustus 2010, DPR mengadakan rapat gabungan dengan pemerintah untuk merespon maraknya berbagai tindak kekerasan yang diduga terkait Ormas. Rapat itu dihadiri antara lain oleh Wakil Ketua DPR, Menkopolhukam, Mendagri, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala BIN. Rapat itu menghasilkan kesepakatan untuk bersama mendorong revisi UU Ormas.

 

Kesepakatan itu semakin terlihat nyata ketika dalam Program Legislasi DPR tahun 2011 tercantum revisi UU Ormas sebagai salah satu prioritas tahun ini. Sementara RUU Perkumpulan yang sebetulnya secara hukum lebih benar, walau masuk dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014, tergeser lagi entah sampai kapan.

 

Bila situasi ini diteruskan, kita akan terus terbelenggu dalam kerangka hukum yang salah dan represif. UU Ormas dan segenap peraturan turunannya harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, bukan direvisi. Pemerintah dan DPR kini sebetulnya berkesempatan untuk mengembalikan pengaturan pada kerangka hukum yang benar dengan mendorong RUU Perkumpulan.

 

Pembubaran Lewat Pengadilan

Lalu bagaimana menyikapi keberadaan berbagai organisasi yang nyata-nyata telah meresahkan masyarakat karena melakukan berbagai tindak kekerasan?

 

Tentu saja jalan pembubaran haruslah dimungkinkan. Karena kebebasan berserikat juga bukan tanpa batas. Suatu organisasi yang terbukti mengorganisir suatu tindak kriminal haruslah bisa dibubarkan. Namun untuk melaksanakan pembubaran tersebut perlu dilakukan beberapa pembenahan terlebih dahulu terhadap kerangka hukum yang ada.

 

UU Ormas perlu segera dicabut. Pilihan untuk membubarkan organisasi dengan mekanisme UU Ormas adalah pilihan buruk. Menggunakan UU Ormas untuk membubarkan organisasi tanpa proses peradilan seperti membangunkan macan tidur. Hari ini giliran mereka dibubarkan, esok-lusa bisa jadi kita.

 

RUU Perkumpulan perlu didorong untuk segera dibentuk. Dalam draft RUU Perkumpulan yang ada saat ini, pembubaran secara paksa hanya dimungkinkan melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kejaksaan bisa diberi kewenangan melakukan penuntutan di muka pengadilan atas nama kepentingan umum. Perkumpulan yang dituntut bubar harus diberi kesempatan membela dirinya di muka pengadilan.

 

Dengan pembubaran melalui proses peradilan, kesewenang-wenangan lebih bisa dihindari. Segala upaya pembubaran paksa harus didasarkan bukti dan argumentasi kuat yang dihadirkan di muka pengadilan.

 

Tegas Menindak Pelaku Kekerasan

Dengan segala kompleksitas hukum soal pembubaran ini, maka sebetulnya perintah SBY untuk membubarkan Ormas perusuh bisa mengalihkan fokus dari masalah sesungguhnya. Masyarakat maupun aparat bisa sibuk berwacana soal teknis pembubaran yang problematik itu. Padahal, masalah pokoknya ada pada ketegasan aparat penegak hukum untuk menindak pelaku kekerasan yang nyata-nyata hadir di hadapan kita semua.

 

Tindakan tegas ini sama sekali tidak terkait dengan revisi UU Ormas ataupun RUU Perkumpulan.

 

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum. Seringkali tindak kejahatan itu bahkan tampil gamblang ditayangkan di layar kaca, sehingga seharusnya tidak lagi ada alasan bagi Kepolisian untuk tidak menindak tegas para pelaku.

 

Pembubaran tentu penting, namun organisasi itu isinya orang-orang. Tanpa ada tindakan tegas terhadap orang-orang yang terbukti melakukan ataupun memerintahkan tindak kejahatan, pembubaran organisasi bisa nyaris tak bermakna.

 

Langkah pembubaran menjadi semakin absurd ketika kita lihat bahwa menurut undang-undangnya sendiri, Ormas bukanlah suatu badan hukum. Ormas dalam praktiknya hanyalah suatu status terdaftar yang diberikan oleh Departemen Dalam Negeri, tepatnya oleh Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Status terdaftar ini tertuang dalam satu lembar kertas yang diberi nama Surat Keterangan Terdaftar (SKT).

 

Oleh karena itu kita perlu cermat memahami bahwa ketika Presiden SBY berbicara tentang pembubaran Ormas, sesungguhnya Presiden sedang bicara tentang selembar kertas yang disebut SKT itu. Selembar kertas yang bisa coba didaftarkan ulang, keesokan hari setelah Ormas itu dibubarkan.

 

Tentunya kita tak ingin Presiden hanya tegas di atas, dan terhadap kertas.

 

-----------

*Direktur Eksekutif PSHK – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

 

 

Tags: