Gelar Perkara Bagian dari Sistem Peradilan
Berita

Gelar Perkara Bagian dari Sistem Peradilan

Jika tak dilakukan sesuai peraturan, dapat dikategorikan Contempt of Court

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
advokat senior Frans Hendra Winarta. Foto: Sgp
advokat senior Frans Hendra Winarta. Foto: Sgp

Gelar perkara yang dilakukan lembaga penegak hukum tanpa disesuaikan dengan prosedur dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melecehkan kewibawaan peradilan (contempt of court).

 

Demikian diungkapkan advokat senior Frans Hendra Winarta. "Jika gelar perkara yang dilakukan tidak sesuai prosedur, dilakukan dengan sengaja, terhadap yang menangani masalah tersebut dapat dikategorikan melakukan contempt of court," ujar Frans usai didaulat memberikan keterangan sebagai ahli dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Jakarta, Senin (28/2).

 

Frans memandang gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Sementara secara formal, lanjut Frans, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. “Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat cacat hukum."

 

Lebih jauh dia menjelaskan, gelar perkara atau biasa disebut dengan ekspos perkara juga harus dihadiri langsung oleh pihak pelapor dan terlapor. Tak boleh diwakilkan oleh pihak lain.

 

Selain itu, masih menurut Frans, gelar perkara juga mesti dihadiri ahli yang independen, kredibel, dan tidak memiliki catatan hukum. "Dari gelar perkara yang menghadirkan pelapor, terlapor dan juga saksi ahli maka diharapkan dihasilkan kejelasan perkara," ujarnya.

 

Beberapa aturan dalam KUHAP mengatur mengenai kewenangan penyidik memanggil tersangka dan saksi serta kewajiban bagi yang dipanggil untuk mendatangi penyidik. Ketentuan itu antara lain diatur dalam Pasal 112 KUHAP.

 

Sekadar informasi, keterangan Frans itu disampaikan dalam perkara BLBI dengan terlapor Phillipus Darma Piong selaku Direktur PT Mekar Perkasa dan Takashi Yao yang menjabat Direktur PT Marubeni. Keduanya diburu kepolisian karena diduga memindahtangankan aset.

 

Karena tak kunjung memenuhi panggilan penyidik, Polri menetapkan Phillipus dan Takashi kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Pada Desember 2010 Mabes Polri juga memasukkan nama Phillipus dan Takashi dalam red notice alias daftar buruan internasional. Namun pada Januari 2011, red notice tersebut dicabut.

 

Menurut Frans, sesuai prosedur dan tata peraturan, red notice hanya bisa dicabut jika tersangka sudah tertangkap dan atau penyidikan diberhentikan.

 

Sementara dalam perkara ini, Phillipus dan Takashi belum tertangkap dan kasusnya juga belum dihentikan. Bahkan, tiga kali gelar perkara yang dilakukan Bareskrim Polri dilakukan tanpa kehadiran Philipus dan Takashi.

 

“Proses due procces of law ini harus dijalankan secara fair dan adil. Kalau ada keberpihakan, keraguan, korupsi judicial, maka muter-muter terus. Tidak bisa selesai,” tutup Frans.

 

Tags: