Pekerja Meteran Uji Aturan Outsourcing
Berita

Pekerja Meteran Uji Aturan Outsourcing

Hakim Konstitusi mempertanyakan uraian permohonan ini menyangkut implementasi atau konstitusionalitas norma.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Pekerja pembaca meteran listrik uji aturan Outsourcing.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)
Pekerja pembaca meteran listrik uji aturan Outsourcing.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)

Maraknya praktik sistem kerja kontrak oleh perusahaan penyedia jasa pekerjaan atau lazim disebut outsourcing membuat Didik Suprijadi prihatin terhadap nasib pekerja kontrak. Keprihatinan Didik terutama ditujukan kepada para pekerja pembaca meteran. Sistem kerja outsourcing dinilai sangat merugikan buruh, tetapi tidak demikian bagi pengusaha.   

 

Outsourcing dari sisi pengusaha/pebisnis sangat diuntungkan, namun dari sisi pekerja sangat merugikan dan tidak adil,” kata Didik Suprijadi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Pasal 59 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Gedung MK Jakarta.       


Didik mengungkapkan pekerja pembaca meteran listrik yang tergabung dalam Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) lebih dari 20 tahun telah terjebak dalam sistem kerja kontrak yang mengabaikan hak normatif para pekerja. “Para pekerja meteran yang sudah bekerja 20 tahunan harus dihitung masa kerja nol setiap dilakukan kontrak kerja baru, ini sama saja dengan sistem perbudakan,” kata Ketua Umum AP2ML Indonesia itu.       

 

Sistem kontrak yang diperbarui setiap satu tahun sekali, kata Didik, mengakibatkan tidak dipertimbangannya masa kerja seseorang. “Yang masa kerja 20 tahun tidak ada bedanya dengan yang baru,” kata Didik yang juga bekerja sebagai pekerja outsourcing di PT PLN (persero) itu.

 

Menurutnya, setiap pelaksanaan item pekerjaan di PT PLN termasuk pekerja pembaca meteran merupakan pekerjaan yang bersifat tetap. Namun, kenyataannya seluruh petugas pembaca meteran berstatus tenaga kontrak. “Seharusnya para petugas pembaca meteran listrik merupakan pekerjaan stategis pada industri jasa      

 

Menurutnya, adanya aturan sistem kerja kontrak itu sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan itu telah mengakibatkan kesenjangan sosial, terutama antara pemilik modal/usaha (pengusaha) dan pekerjanya. Oleh sebab itu, Pasal 59 ayat (1) dan ayat (8) UU Ketenagakerjaan dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.   

 

Pasal 59

 

(1)  Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a.     pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b.    pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c.     pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d.    pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.


Menanggapi permohonan, Ketua
 Majelis Panel Achmad Sodiki mempertanyakan legal standing (kedudukan hukum) Pemohon. Sebab, dalam permohonan belum tergambar apakah pemohon bertindak sebagai perseorangan atau badan hukum.

 

“Pemohon juga masih belum tajam mengurai kerugian konstitusionalnya. Kalimat, frasa, atau kata mana yang merugikan Anda?” tanya Sodiki. Apa itu bertentangan dengan demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, prinsip berkeadilan, prinsip berkelanjutan yang dirumuskan dalam Pasal 33 yang Anda maksud?”  

  
Hamdan Zoelva pun mempertanyakan uraian permohonan ini menyangkut implementasi atau konstitusionalitas norma. Hamdan juga menyarankan agar pemohon menggunakan pasal batu uji yang lebih spesifik. Sebab, Pasal 33 UUD 1945 yang digunakan oleh Pemohon rumusannya masih umum, sehingga kerugian konstitusional pemohon belum nampak.

 

“Misalnya Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang hak mendapat imbalan serta perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Permohoan ini mesti diperbaiki,” sarannya.

Tags: