Kontroversi Gagasan Legalisasi Ganja dan Judi di Indonesia
Fokus

Kontroversi Gagasan Legalisasi Ganja dan Judi di Indonesia

Setelah judi, kini muncul gagasan legalisasi tanaman ganja. Gagasan sudah disampaikan secara terbuka. Mitos bahaya ganja dianggap tak sesuai kenyataan. Hukum positif tetap melarang.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Laman Lingkar Ganja Nusantara di situs jejaring sosial facebook.
Laman Lingkar Ganja Nusantara di situs jejaring sosial facebook.

Harapan Muzakir dan Sumanto untuk tetap berdinas di lingkungan militer pupus sudah. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi mereka. Kedua oknum tentara yang bertugas di Yonif 203/AK Tangerang itu sebelumnya dihukum masing-masing 1,5 tahun penjara plus dipecat dari dinas militer. Upaya mereka banding dan kasasi tetap tidak mengubah sanksi yang harus mereka hadapi.

 

Barang yang mengubah nasib Prajurit Kepala (Praka) Muzakir dan Prajurit Satu (Pratu) Sumanto  adalah tiga kilogram ganja. Mereka tertangkap petugas Polres Jakarta Utara di sebuah halte bus di Jalan RE Martadinata, Jakarta. Tiga tahun setelah penangkapan itu, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis tersebut.

 

Vonis ‘berat’ Mahkamah Agung kepada mereka yang kedapatan membawa, memiliki, memperjualbelikan, dan mengkonsumsi ganja bukan hanya menimpa Muzakir dan Sumanto. Puluhan bahkan mungkin ratusan orang harus berhadapan dengan aparat penegak hukum karena kesandung masalah ganja. Yang ikut terseret ke kursi terdakwa bukan hanya masyarakat biasa, tetapi juga aparat penegak hukum. Mereka terjerat pasal-pasal Undang-Undang Narkotika. Ganja dikualifisir sebagai narkotika Golongan I.

 

Hingga kini, pengadilan masih menjatuhkan hukuman relatif berat kepada orang yang membawa, mengirim, atau mengangkut ganja. Artinya, kepada siapapun yang memenuhi kualifikasi UU Narkotika, nyaris tidak ada ampun. Sebab, dalam hukum positif ganja masih dianggap sebagai barang haram.

 

Hukum positif itulah kini yang sedang ditantang Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Kelompok yang lahir dari pendukung legalisasi ganja di jaring sosial facebook ini tegas meminta agar ganja dilegalisasi. LGN berpendapat jika ganja dilegalisasi, Pemerintah lebih mudah mengawasi. LGN terus mengkampanyekan gagasan mereka. Bahkan gagasan legalisasi ganja tak lagi disampaikan diam-diam, melainkan secara terbuka.

 

Mereka juga membentuk Yayasan Penelitian Tanaman Ganja sebagai badan hukum tempat bernaung. Untuk memperkuat argumentasi, LGN mempublikasikan serangkaian studi perbandingan, termasuk mitos bahaya ganja dan kenyataan ilmiah.

 

Mitos tentang ganja dapat menyebabkan kecanduan yang sangat tinggi, misalnya. Dengan mengutip penelitian di Amerika Serikat dan diperkuat sejumlah referensi, LGN menjelaskan sedikit sekali pengisap ganja yang mengalami ketergantungan. LGN mengklaim Seorang pengguna berat ganja dapat berhenti dengan mudah tanpa mengalami kesulitan. Di mata LGN, tidak ada bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa ganja dapat menyebabkan kerusakan psikologis atau penyakit mental bagi remaja dan orang dewasa.

 

Sebagai sebuah gagasan, usul LGN langsung mendapat reaksi dari banyak pihak. Aliansi Masyarakat Peduli Generasi (AMPG), misalnya, mengecam aksi LGN sebagai ‘kampanye amoral’. Aliansi memandang apa yang dilakukan LGN sebagai upaya provokasi atas kemapanan tatanan hukum, budaya, dan sosial masyarakat.

 

AMPG mendesak kepolisian dan Badan Narkotika Nasional memeriksa para aktivis LGN. Sebab, apa yang dilakukan LGN bisa dikualifisir sebagai perbuatan pidana jika mengacu pada UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 1 angka 18 Undang-Undang ini mengatur tentang permufakatan jahat mengorganisir perbuatan jahat.

 

Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Boy Rafli Amar, ikut angkat suara. Menurut dia, sebagai bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, boleh saja LGN mengusung tema legalisasi ganja. “Silakan menyampaikan argumentasi dan alasan yang jelas kenapa dilegalkan,” ujarnya.

 

Boy menegaskan hukum positif Indonesia masih melarang peredaran ganja. Kalau ada yang berpendapat sebaliknya, Boy meminta untuk disampaikan kepada lembaga yang berwenang dan melalui mekanisme yang berlaku. Sepanjang syarat itu dipenuhi, polisi tak bisa melarang orang mengajukan gagasan untuk merevisi hukum positif. “Silakan kalau mau direvisi,” kata Boy.

 

Pengajar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir mengakui ada narkotika yang digunakan untuk tindakan kesehatan. Yang dikriminalisasi adalah penyalahgunaannya. Tetapi ia tegas menolak gagasan legalisasi ganja. “Segala sesuatu yang merusak, zat adiktif, semuanya dilarang. Tidak boleh ada toleransi,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Kalaupun ada negara, seperti Belanda, yang melegalkan konsumsi ganja di tempat-tempat tertentu, menurut Mudzakir, kurang pas dijadikan contoh. Filosofinya adalah tidak mengganggu ketertiban publik. Berbeda dengan Indonesia, yang filosofi pelarangan lebih karena mempertimbangkan dampak kerusakan akibat konsumsi ganja. Kalau ganja dilegalkan, dampak buruknya sampai pada generasi mendatang.

 

Legalisasi Judi

Gagasan untuk melegalisasi sesuatu yang selama ini ‘haram’ bukan kali ini saja muncul. Sebelum LGN mengusung legalisasi ganja, sudah ada gagasan melegalisasi perjudian. Bahkan gagasan itu diwujudkan dalam bentuk permohonan pengujian pasal perjudian dalam KUHP (pasal 303, dan 303 bis) dan UU No 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.

 

Adalah Suyud dan Liem Dat Kui, dua penduduk Jakarta Pusat, yang membawa persoalan perjudian itu ke Mahkamah Konstitusi. Hak konstitusional Suyud dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal perjudian yang terwujud dalam bentuk vonis empat bulan satu minggu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Liem Dat Kui merasa diperlakukan tidak adil. Pada masyarakat tertentu seperti Liem, permainan judi dan bermain taruhan sudah menjadi tradisi. Dengan demikian, tradisi itu juga harus mendapat perlindungan hukum.

 

Dalam permohonan yang disampaikan lewat pengacara mereka, Suyud dan Liem berargumen omzet perjudian sangat besar sehingga melihat perjudian jangan melulu secara hitam putih, baik buruk, melainkan juga kemanfaatannya bagi negara melalui pajak. Legalisasi perjudian dan lokalisasinya adalah solusi paling realistis di mata pemohon. Argumentasi Suyud dan Liem pada akhirnya ditepis, dan Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan mereka.

 

Sebenarnya, gagasan legalisasi perjudian bukan hanya datang dari Suyud dan Liem. Secara ilmiah, M Azis Syamsudin –kini anggota DPR—pernah mengajukan gagasan ‘dekriminalisasi perjudian’. Dekriminalisasi perjudian mengandung arti, proses menghilangkan sifat dilarang dan diancam pidana dari suatu tindak pidana yang semula merupakan tindak pidana menjadi tindakan yang tidak dilarang dan tidak diancam pidana.

 

Tak tanggung-tanggung, gagasan Azis disampaikan melalui disertasi doktornya dalam bidang ilmu hukum di Universitas Padjadjaran Bandung. Azis menggunakan teori hukum dan pembangunan sebagai dasar mengajukan gagasan dekriminalisasi perjudian. Dengan teori ini, hukum –termasuk hukum pidana-- harus dipandang sebagai sarana pembaruan masyarakat. Dalam konteks ini, perjudian telah melahirkan berbagai jenis bisnis seperti hotel, toko, jasa boga, transportasi, dan taman rekreatif lainnya.

 

Legalisasi ganja dan dekriminalisasi judi merupakan dua gagasan yang mengundang kontroversi. Meskipun banyak ditentang, satu hal yang pasti, gagasan itu berusaha disampaikan secara ilmiah dan terbuka.

 

Seperti kata Boy Rafli Amar, sah-sah saja menyampaikan gagasan. Tetapi hukum positif Indonesia sampai sekarang masih memandang mengkonsumsi ganja dan bermain judi sebagai perbuatan pidana.

 

Tags: