MA Bisa Batalkan Surat Edaran
Hak Uji Materi

MA Bisa Batalkan Surat Edaran

Putusan ini dianggap sebagai bukti bahwa MA mulai meninggalkan cara berpikir legalistik.

Oleh:
Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
MA buat putusan uji materi yang membatalkan surat edaran.<br> Foto: Sgp
MA buat putusan uji materi yang membatalkan surat edaran.<br> Foto: Sgp

Mahkamah Agung (MA) baru saja membuat putusan yang lain dari biasanya. Dalam perkara uji materi, majelis hakim agung menyatakan sebuah surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum. Putusan ini dibuat pada 27 September 2010 lalu oleh Imam Soebechi (ketua), serta Ahmad Sukardja dan Marina Sidabutar masing-masing sebagai anggota. 

 

“Menyatakan penjelasan Jurnal Internasional angka 1, yang berbunyi: ‘Jurnal dalam bahasa asing yang diterbitkan di dalam negeri yang terakreditasi yang editornya sekurang-kurangnya 3 pakar dari tiga negara yang berbeda’ bertentangan dengan Pasal 6 ayat (4) Keputusan Mendiknas No.36/D/O/2001, dan dinyatakan tidak mengikat dan tidak berlaku umum,” demikian bunyi amar putusan dalam salinan putusan yang diperolehhukumonline.

 

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menilai Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama No Dj.I/PP.00.9/973/2009, tentang Tatacara Pengajuan Usul Penetapan Jabatan Guru Besar/Profesor di PTAI, tertanggal 30 Juli 2009 memang berformat seperti surat biasa. Namun, isinya memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur (regeling) dan berlaku umum bagi semua yang dituju dalam surat tersebut. Karenanya, surat ini memenuhi ketentuan yang dimaksud pada Pasal 1 Perma No.1 Tahun 2005.

 

“Dan karena itu dapat diajukan permohonan keberatan hak uji materiil (judicial review),” jelas majelis dalam pertimbangannya.

 

Putusan ini memang berbeda dari biasanya. Pasalnya, biasanya peraturan perundang-undangan yang diuji ke MA adalah yang bersifat ‘regeling’ atau pengaturan (umum-abstrak). Berdasarkan kewenangannya, MA hanya bisa menguji peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadapundang-undang.

 

UU No 10 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan peraturan perundang-undangan di bawah UU adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah (dari tingkat provinsi hingga desa). Biasanya, jenis peraturan semacam ini yang kerap diuji ke MA.

 

Sebagai informasi, uji materi surat edaran ini diajukan oleh sepuluh dosen yang berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka adalah Sudarnoto Abdul Hakim, Jaenal Arifin, Sangkot Sirait, Nurun Najwah, Syafa’atun Almirzanah, Sukamto, Syaifan Nur, Sekar Ayu Aryani, Alim Roswantoro dan Abdul Mustaqim.

 

Para pemohon yang sudah bergelar doktor merasa terancam tidak bisa menjadi guru besar dengan adanya surat edaran itu yang mensyaratkan, salah satunya, mewajibkan doktor yang ingin bergelar guru besar harus menulis di jurnal berbahasa asing.

 

Jurnal asing yang dimaksud tak sembarangan. Yakni, harusjurnal dalam bahasa asing yang diterbitkan di dalam negeri yang terakreditasi yang editornya sekurang-kurangnya 3 pakar dari tiga negara yang berbeda. Kalimat ini yang tercantum dalam surat edaran yang akhirnya dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat oleh MA karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

 

Pseudo Wetgeving

Pengajar Ilmu Perundang-Undangan Universitas Padjajaran (Unpad) Indra Perwira menyambut baik putusan MA ini. “Wah, ini putusan maju. Ini berarti MA kita sudah tidak lagi hanya berpikir legalistik,” ujarnya kepada hukumonline melalui sambungan telepon, Senin (16/5).

 

Indra menuturkan bahwa di dalam praktik banyak sekali keputusan atau surat edaran yang bersifat beschikking (individual-konkret) tetapi isinya bersifat regeling (umum-abstrak). Dalam teori, aturan semacam ini dinamakan ‘pseudo wetgeving’ atau peraturan perundang-undangan semu.

 

Pasal 7 ayat (4) UU No.10 Tahun 2004 membuka peluang jenis peraturan perundang-undangan lain di luar hierarki tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini yang akhirnya membuka peluang lahirnya banyak ‘pseudo wetgeving’ itu.

 

Ia mencontohkan surat edaran dirjen pajak yang menyangkut penentuan besaran dan penarikan pajak. Meski surat ini ditujukan untuk internal, tetapi ‘mau tidak mau’ surat ini juga mengikat orang lain atau wajib pajak sehingga bersifat umum. Karenanya, ia berharap MA juga mau memeriksa permohonan uji materi peraturan semacam ini.

 

“Saya rasa meski formatnya beschikking, tetapi isinya bersifat regeling, MA tetap boleh menguji dan menyatakan aturan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan di bawahnya,” tutur Indra.

Tags: