Menjadi Dosen Lebih Nikmat Ketimbang DPR
Jeda

Menjadi Dosen Lebih Nikmat Ketimbang DPR

Ketua MK Mahfud mengaku sering “berbohong” selama menjadi anggota DPR.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Perayaan ulang tahun ketua MK Mahfud MD yang ke 54 tahun.<br> Foto: Sgp
Perayaan ulang tahun ketua MK Mahfud MD yang ke 54 tahun.<br> Foto: Sgp

Di Indonesia sepertinya lazim jika seorang gonta-ganti jabatan. Moh Mahfud MD adalah salah satu yang “beruntung” sempat menduduki sejumlah jabatan penting di negeri ini. Bayangkan, sebelum sampai pada jabatannya sekarang yakni Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud sudah pernah merasakan kursi menteri dan anggota Dewan.

 

Mahfud mengaku sederet jabatan atau profesi yang pernah diembannya merupakan jalan yang telah ditentukan oleh Tuhan. “Allah sangat kasih kepada saya yang menuntun menduduki beberapa jabatan penting tanpa harus berjibaku habis-habisan,” kata Mahfud saat merayakan ulang tahunnya yang ke-54 di Gedung MK Jakarta, Jum’at (13/5) kemarin.

 

Perayaan ulang tahun Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini digelar secara sederhana di Gedung MK. Tak ada pejabat negara atau elite politik yang hadir dalam acara itu. Yang terlihat hanya delapan orang hakim konstitusi, Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Gaffar, para pejabat eselon II, dan wartawan yang sehari-hari bertugas di MK.   

 

Hidangan yang disediakan pun sederhana, sekedar nasi bungkus dengan lalap petai yang dibeli di rumah makan Padang, tak jauh dari Gedung MK.  

 

“Saya ini orang desa, dulu-dulunya nggak pernah ngerayain ulang tahun. Pertama kali ngerayain ulang tahun saat menjadi Menhan yang dilaksanakan oleh Kesekjenan Menhan di Kepulauan Seribu yang sebelumnya saya juga tidak tahu, setelah itu biasanya ngerayain kecil-kecilan sama keluarga di rumah,” ujar pria yang pernah menjabat Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2002-2005 itu.

 

Menginjak usia 54 tahun, Mahfud mengaku tak memiliki impian apapun dalam hidupnya saat ini. “Jadi guru agama pernah, sekarang sekarang saya hakim dan dosen. Dari situ masih lebih lagi pernah jadi menteri, anggota DPR. Jadi tidak ada impian saya yang tidak tercapai, semua sudah tercapai. Impian akhir saya, mudah-mudahan saya khusnul khatimah, berakhir dalam keadaan baik sampai mengakhiri tugas,” harapnya.    

 

Bagi pria kelahiran Sampang, Madura 13 Mei 1957, cita-citanya untuk menjadi hakim sebenarnya tidak datang begitu saja. Sebab, Mahfud pernah mengenyam Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan milik Departemen Agama di Yogyakarta, selama tiga tahun. Namun, cita-cita menjadi hakim berubah ketika Mahfud kuliah strata I di Fakultas Hukum UII Yogyakarta. Saat kuliah, ia berkeinginan menjadi seorang dosen.   

 

Dari beberapa jabatan yang pernah diembannya, hanya jabatan hakim konstitusi yang dirasa paling menyenangkan. Sebab, sikap independensi dan kebebasan hakim benar-benar bisa diwujudkan lewat putusannya. “Saat jadi hakim, prinsip hakim harus bebas dan independen bisa diterapkan,” kata Mahfud. “Kalau profesi dosen, saya paling menikmati.”      

 

Tidak demikian saat dia menjadi anggota DPR. Dia merasa sedih karena selama menjadi anggota DPR terdorong untuk sering berbohong. Sebab, ia tidak bisa membantah pendapat fraksi ketika keputusan fraksi tidak sesuai pendapatnya. Dia sering mengatakan setuju terhadap terhadap satu hal, padahal hati kecilnya sebenarnya tidak setuju.

 

“Kalau menjadi hakim konstitusi tidak setuju dengan pendapat delapan hakim konstitusi lain, saya bisa ajukan dissenting opinion (pendapat berbeda), yang bisa dikemukakan pada publik, alasannya,” aku pria yang gelar master dan doktoralnya diperoleh dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

 

Menanggapi rumor pencalonannya sebagai presiden berpasangan dengan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Mahfud malah berkelakar. “Saya tidak pernah bermimpi untuk mencalonkan diri menjadi presiden. Apalagi saya tidak punya Parpol. Saya ini, nggak punya potongan jadi Presiden. ‘Jahitannya’ sudah begini, nggak cocok, biar yang lain saja,” ujar Mahfud sambil tergelak.

 

Tags: