Pasal 226 KUHAP Ganjalan Bagi Lapas
Berita

Pasal 226 KUHAP Ganjalan Bagi Lapas

SEMA No 4 Tahun 2009 sudah memberikan arahan kepada pengadilan. Acapkali terhambat masalah administratif.

Oleh:
Rfq/Mys
Bacaan 2 Menit
Petugas lapas hadapi problema masa tahanan terpidana habis<br> tetapi belum ada salinan putusan pengadilan. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Petugas lapas hadapi problema masa tahanan terpidana habis<br> tetapi belum ada salinan putusan pengadilan. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Salah satu masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas pemasyarakatan narapidana adalah regulasi. Selain faktor regulasi, dua hal lain yang sering menjadi masalah adalah keterlambatan administrasi dan geografis, serta faktor individu narapidana. Masalah regulasi dapat dilihat antara lain dari pertentangan KUHAP dengan peraturan teknis mengenai penahanan.

 

Petugas rutan atau lembaga pemasyarakatan (lapas) menghadapi problema ketika masa tahanan tersangka atau terpidana habis tetapi belum ada salinan putusan pengadilan. Petugas lapas tidak mungkin begitu saja melepas terpidana karena tidak punya dasar hukum. Padahal, undang-undang menyatakan kalau masa tahanan habis, demi hukum tersangka atau terpidana harus dibebaskan.

 

Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiyono, dalam sebuah seminar di Graha Pengayoman bulan lalu, mengatakan posisi petugas pemasyatakatan menjadi dilematis. Di satu sisi, diharuskan melepas tahanan demi hukum, dan di sisi lain aparat penegak hukum lain tak segera menyampaikan salinan putusan kepada petugas sebagai dasar membebaskan narapidana. Salinan putusan penting bagi petugas sebagai dasar pengubahan status seseorang dari tahanan menjadi narapidana.

 

Untung menyebut Pasal 266 KUHAP sebagai salah satu masalah regulasi. Tiga ayat pasal 226 menegaskan petikan putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan. Penyidik dan jaksa penuntut umum juga diberikan secara otomatis. Orang lain boleh dapat salinan putusan atas izin ketua pengadilan.

 

Peneliti Center for Detention Studies (CDS) Gatot Oei sependapat dengan Untung. Berdasarkan penelitian CDS, Pasal 266 KUHAP telah menjadi ganjalan bagi pelaksanaan tugas pemasyarakatan. Berdasarkan pasal ini, seharusnya tahanan mendapatkan salinan putusan ‘segera setelah’ putusan diucapkan. Frasa ‘segera setelah’ putusan diucapkan tak jelas batas waktunya. Penelitian CDS menemukan fakta lain. “Para tahanan yang akan berubah statusnya menjadi narapidana tidak mendapatkan petikan putusan,” jelas Gatot.

 

Ganjalan lain, sesuai Pasal 226, hanya terdakwa atau penasihat hukum, penyidik, dan penuntut umum yang mendapatkan salinan putusan. “Pihak lain” baru bisa mendapatkan salinan putusan setelah mendapat izin ketua pengadilan. Dengan kata lain, petugas pemasyarakatan tidak otomatis memperoleh salinan putusan meskipun penahanan seseorang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan.

 

Kalau petugas lapas hendak mendapatkan salinan putusan, harus ada izin ketua pengadilan. Ini, kata pengamat hukum pidana Mudzakkir, menempatkan petugas pemasyarakatan seolah-olah berada di bawah aparat penegak hukum lain.

 

Gatot berpendapat salinan putusan pengadilan seharusnya juga diserahkan ke Lapas agar petugas bisa mengecek sendiri –sambil menunggu jaksa selaku eksekutor— berlebih tidaknya masa tahanan seseorang. “Harus diserahkan. Kalau tidak, orang lapas tidak berani melakukan perubahan status seseorang,” ujarnya.

 

Hasil penelitian CDS memperlihatkan seringkali jaksa selaku eksekutor terlambat menyampaikan salinan putusan. Jaksa juga punya dalih serupa: terlambat mendapatkan salinan putusan dari pengadilan. Ada keterlambatan administratif yang berpengaruh pada masa tahanan seseorang. Ketidakjelasan posisi pihak rutan dan lapas dalam Pasal 226 KUHAP itulah yang berdampak serius pada overstay (masa tahanan berlebih). “Padahal overstay itu merupakan pelanggaran hak asasi terpidana”.

 

Solusinya, petugas lapas proaktif menanyakan status putusan kepada jaksa. Mahkamah Agung pernah berusaha mengantisipasi masalah ini melalui Surat Edaran No. 4 Tahun 2009 tentang Penyerahan/Pengiriman Petikan dan Salinan Putusan. SEMA ini menegaskan ketua pengadilan negeri diimbau untuk memberikan petikan putusan ke rutan atau lapas apabila terdakwa ditahan. “Fakta di lapangan tetap ditemukan keterlambatan pengiriman petikan putusan atau salinan putusan,” begitu temuan CDS.

 

Karena itu, Gatot mengusulkan, agar ke depan mekanisme penyerahan petikan atau salinan putusan ke petugas pemasyarakat diperjelas. Selain itu, posisi pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu perlu dikaji ulang. Pemasyarakatan mestinya merupakan subsistem yang sama kedudukannya dengan subsistem lain dalam sistem peradilan pidana terpadu.

Tags: